Merindu Negarawan
Oleh: Alissa Wahid
Bagai banjir bandang, publik mengalami pendidikan literasi
legislatif yang luar biasa dalam beberapa waktu terakhir ini. Rancangan
regulasi dari berbagai sektor mengalir deras melalui semua kanal media
informasi. Rancangan UU Pesantren, UU Pertanahan, UU Siber Kreasi, UU
Penghapusan Kekerasan Seksual, Revisi UU Perkawinan dan Revisi UU KPK, serta
berbagai regulasi lain mendadak menjadi terminologi yang populer.
Perdebatan sengit terjadi antara pemerintah, partai politik,
kelompok-kelompok pendukung pemerintah, gerakan masyarakat sipil termasuk
akademia, serta media massa luring dan daring. Sebagai sebuah fenomena, ini
adalah momen pendidikan politik rakyat.
Parlemen yang selama lima tahun ini dikritik tidak produktif
menghasilkan legislasi sebagai bangunan dan tatanan hidup berbangsa bernegara,
dalam sebulan terakhir masa jabatannya terlihat kejar tayang menyelesaikan
begitu banyak rancangan legislasi.
Publik memprotes fakta bahwa sebagian rancangan tersebut diproses
tanpa kajian yang berimbang dan komprehensif, kurang melibatkan, untuk tidak
menyebut dengan mengabaikan, pihak-pihak yang berkepentingan, dan
tergopoh-gopoh sehingga banyak pasalnya menimbulkan kontroversi.
Masyarakat menyaksikan secara gamblang akrobat parlemen tersebut
dan memahaminya sebagai pemenuhan hasrat partai politik melalui mekanisme
demokrasi yang ada. Agaknya, para politisi di parlemen ini tidak lebih dari
pekerja politik. Yang konon berjuang untuk kepentingan rakyat, nyatanya justru
bekerja untuk kepentingan dirinya dan partai politik.
Sebagai pekerja politik, mereka memperhitungkan investasi dalam
kampanye dan keuntungan yang akan mereka peroleh. Mereka memanfaatkan dan pada
saat yang sama mengkhianati janji-janjinya kepada rakyat.
Di saat-saat demikian, sosok para negarawan melintas di kesadaran
kolektif kita.
Masyarakat mendambakan Bung Karno, yang mampu membangun visi
bangsa yang berdaulat dan jaya, bersatu di tengah keberagaman bangsa.
Masyarakat mendambakan Bung Hatta, yang sama sekali tak memikirkan
keuntungan ekonomi personal, selaras dengan gagasan besarnya tentang ekonomi
yang adil sosial.
Masyarakat mendambakan Gus Dur, yang tak kenal lelah
memperjuangkan demokrasi hakiki di atas prinsip kesetaraan warga negara, tak
hanya memikirkan kepentingan Nahdlatul Ulama, organisasi besar yang
dipimpinnya.
Masyarakat mendambakan Jenderal Soedirman, yang dalam kondisi
sakit dan harus ditandu pun masih memimpin tentara Indonesia untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Masyarakat mendambakan para ulama dalam BPUPKI, yang mengikhlaskan
tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi cita-cita persatuan Nusantara.
Apa yang membuat mereka layak disebut sebagai negarawan? Walaupun
area juang mereka beragam, dalam diri semua tokoh tersebut muncul beberapa
karakteristik yang sama.
Yang pertama adalah komitmen kebangsaan, yang membuat mereka
bertindak demi keutuhan negara. Yang kedua adalah komitmen perjuangan untuk
kemaslahatan masyarakat, yang tecermin dalam kebijakan yang adil bagi seluruh
rakyat. Nilai keadilan serta kongruensi antara pemikiran dan tindakan menjadi
ciri karakter yang menjiwai kedua komitmen tersebut.
Walhasil, rakyat benar-benar dapat melihat dan merasakan
integritas pribadi sang negarawan, juga iktikad untuk mewujudkan kemaslahatan,
jauh dari sikap dan tindakan manipulasi, eksploitasi dan pengkhianatan terhadap
komitmen kerakyatan. Menjadi negarawan adalah tentang pengabdian, bukan
pekerjaan. Potret negarawan tersebut melekat kuat dalam kesadaran kolektif
masyarakat (collective
consciousness) dan menjadi tolok ukur mereka untuk menilai para
politisi.
Di tengah situasi Indonesia yang kewalahan menghadapi berbagai
tantangan yang memberikan dampak cukup besar dalam kehidupan kita, seperti
geopolitik dan pertarungan raksasa ekonomi dunia, pemberantasan korupsi,
kontestasi ideologi yang menimbulkan kebencian antarkelompok, serta indeks
pembangunan manusia yang masih belum memuaskan, kita sangat membutuhkan figur
negarawan.
Ironisnya, sistem politik yang berlangsung di Tanah Air adalah
sistem yang menghasilkan pekerja politik. Sulit mengharapkan lahirnya
negarawan-negarawan dalam sistem politik yang seperti ini. Jika pun ada,
terpinggirkan di dalam partai politiknya atau dalam parlemen.
Dalam kata-kata Winston Churchill: the difference between a politician
and statesman is that a politician thinks about the next election, while the
statesman thinks about the next generation—beda politisi dengan
negarawan: politisi berpikir sampai pemilu berikutnya, sedangkan negarawan
memikirkan generasi masa depan bangsanya.
Maka, kejutan ontran-ontran beberapa waktu terakhir yang telah
menyadarkan masyarakat akan ketidakhadiran negarawan di tengah mereka
membuahkan kerinduan. Indonesia surplus politisi, miskin negarawan, kata Buya
Syafii Maarif.
Kapankah krisis negarawan akan berakhir? Sampai kapan bangsa ini
harus menunggu? Adakah satrio piningit yang akan hadir? Atau barangkali, satrio
piningit bukanlah sosok seseorang, tetapi adalah karakter yang sedang kita
harapkan. Sepertinya, kerinduan masyarakat terhadap lahirnya para negarawan
disimbolkan melalui kerinduan terhadap satrio piningit. Akankah ia menjelma
dalam diri para politisi? []
KOMPAS, 22 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar