Bagaimana Sujud Shalat
Orang yang Dahinya Diperban?
Suatu ketika, terkadang seorang yang shalat
berada di luar kondisi normal. Misalnya sedang menderita luka sehingga
mengalami kendala yang mengharuskannya bersikap khusus dan mendapat keringanan
khusus dari syara’ (rukhshah) ketika menjalankan ibadah wajib.
Di antara kasus yang muncul dalam persoalan
ini adalah seorang yang menderita luka di bagian dahinya sehingga harus dibalut
dengan perban yang menutup salah satu anggota sujud, yaitu dahi. Pertanyaan
yang sering terlontar adalah apakah sah sujud dengan kondisi ada balutan
tersebut? Apakah perlu qadha (mengganti di waktu lain) shalat atau bahkan
i'adah (mengulang) shalat bilamana kondisinya sudah sembuh?
Para pembaca yang budiman, alangkah beratnya
syariat ini bila kondisi yang sedemikian rupa ini mengharuskannya untuk
mengulang shalat saat kondisi mushalli (orang yang shalat) sudah sembuh.
Demikian juga, alangkah beratnya bila ia harus melakukan qadha’ sejumlah shalat
selama ia sakit. Padahal, ada prinsip yang harus dipegang dalam agama, yaitu:
يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi
kalian dan Ia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS Al-Baqarah: 185)
Di dalam ayat lain, Allah berfirman:
يُرِيدُ
اللَّهُ أن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ الإنسَانُ ضَعِيفًا
Artinya: “Allah menghendaki untuk meringankan
kalian. Telah diciptakan manusia dengan sifat lemah.” (QS. Al-Nisa’: 28)
Kedua ayat ini secara tidak langsung
menggambarkan bahwa yang dikehendaki syariat adalah kemudahan seorang hamba di
dalam menjalankannya, dan di dalam menyatakan diri tunduk beribadah kepada
Allah dalam segala kondisi. Allah Maha-Mengetahui bahwa manusia adalah lemah.
Oleh karenanya, berlaku syariat rukhshah (keringanan) bagi seorang hamba untuk
hal/kondisi yang memang ia harus mendapatkan perlakuan khusus dalam syara’.
Menjawab contoh permasalahan di atas adalah
kita harus mengingat kembali dengan topik permasalahan shalatnya orang yang
tidak bisa melakukan gerakan shalat dengan sempurna. Ketika shalat orang yang
tidak bisa bergerak sama sekali dan harus dalam kondisi terbaring sakit, maka
boleh baginya melakukan shalat dengan jalan memberi isyarat. Demikian pula
dengan shalat orang yang terpaksa harus melaksanakan dengan tanpa bisa
melakukan ruku’ dan sujud, maka ia diharuskan melakukan gerakan ruku’ dan sujud
dengan jalan menunduk. Untuk posisi sujud, kondisi menunduk sedikit lebih
rendah dibanding menunduk untuk posisi ruku’.
Shalat dengan tata cara sebagaimana
dijelaskan di atas dipandang sah oleh syariat, sehingga tidak perlu lagi
melakukan qadha’ shalat, atau bahkan i’adah shalat. Lantas bagaimana dengan
shalatnya orang yang dahinya diperban? Bilamana gerakan shalat sambil isyarat saja
dipandang sah, tentu gerakan shalat orang dengan perban menutup dahi adalah
lebih sah. Logika semacam ini dalam usul fiqh disebut qiyas aulawi.
Alasan inilah kemudian yang mendorong Syekh
Taqiyuddin Abu Bakar al-Husni dalam kitab Kifâyatul Akhyâr menyebutkan bahwa:
لو
كان على جبهته جراحة وعصبها وسجد على العصابة أجزأه ولا قضاء عليه على المذهب لأنه
إذا سقطت الإعادة مع الإيماء بالسجود فهنا أولى ولو عجز عن السجود لعلة أومأ برأسه
فإن عجز فبطرفه ولا إعادة عليه
Artinya: “Seandainya ada luka menutup dahi seseorang
sehingga mengharuskan diperban, kemudian ia melakukan gerakan sujud dengan
tetap di atas perban itu, maka hal tersebut adalah mencukupi. Menurut mazhab
Imam Syafi’i, ia tidak perlu qadha’ sebab jika mengulang shalat (i’adah) saja
tidak diperlukan untuk orang yang shalat dengan isyarat ketika sujud, maka
kondisi mushalli dengan perban seperti ini adalah lebih utama untuk mendapatkan
keringanan gugurnya wajib i’adah. Bahkan disebutkan seandainya ada seseorang
terkendala melakukan sujud disebabkan karena adanya penyakit, lalu ia sujud
dengan memberi isyarat dengan tundukan kepalanya, atau dengan kedipan matanya,
maka baginya tidak ada keharusan i’adah shalat.” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar
bin Muhammad al-Hushni, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr,
Surabaya, Al-Hidayah, 1993: 1/108)
Dengan bahasa lain, apabila i’adah shalat
saja tidak diperlukan bagi “mushalli dengan gerakan isyarat”, apalagi qadha’
shalat. Tentu lebih tidak diperlukan. Dengan demikian, kesimpulan hukum dari
permasalahan orang yang shalat dengan kondisi luka balutan menutupi anggota
sujud, namun ia tidak atau belum bisa melakukan gerakan sempurna ruku’ dan
sujud, adalah boleh dan sah shalatnya. Lakukanlah ruku’ atau sujud dengan cara
sesuai kemampuan. Baginya juga tidak perlu qadla’ shalat setelah sembuh serta
tidak perlu i’adah (mengulangi shalat). Wallâhu a’lam bish shawâb. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar