Jumat, 28 Juni 2019

(Do'a of the Day) 24 Syawwal 1440H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma innii a'uudzu bi wajhikal kariimi wa bikalimaatikat taammati min syarri maa anta aakhidzun bi naashiyatihi.

Ya Allah, aku berlindung dengan kemuliaan wajah-Mu dan kesempurnaan kalam-Mu dari kejahatan yang sebenarnya telah Engkau pegang ketetentuannya.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 51.

Mudik


(Ngaji of the Day) Fiqih Transaksi: Sertifikat sebagai Jaminan Transaksi dan Efek


Fiqih Transaksi: Sertifikat sebagai Jaminan Transaksi dan Efek

Saat ini kepemilikan atas suatu barang tidak hanya berwujud sebagai klaim kepemilikan, klaim pembelian, dan klaim-klaim yang lain. Seiring pesatnya kemajuan teknologi, klaim ini memerlukan bukti sebagai sebuah jaminan atas legalnya kepemilikan tersebut. Sudah pasti Anda pernah melihat wujud kuitansi pembayaran, nota bukti transfer, sertifikat tanah, sertifikat-sertifikat yang lain, bukan? Pernahkah Anda bertanya, untuk apa semua sertifikat itu?

Semua orang sudah tahu dan punya pemahaman yang sama. Semua sertifikat tadi, baik bukti pembayaran (kuitansi), bukti transfer, sertifikat tanah, dan sejenisnya, adalah diperuntukkan tidak hanya sebagai bukti kepemilikan dan transaksi muamalah, melainkan juga sebagai jaminan keamanan (sekuritas) resmi dan diakui oleh negara. Keberadaan jaminan keamanan aset dan kepemilikan inilah yang menjadi prinsip dasar diperlukannya ia dalam praktik muamalah. Nota yang berisi jaminan keamanan ini—dalam fiqih transaksi— selanjutnya disebut sebagai “efek” (sekuritas).

Karena sebuah efek selalu menyatakan hak atas suatu aset (mâl), maka dalam dunia keuangan dikenal istilah Efek Beragun Aset (EBA), artinya adalah sebuah surat jaminan kebolehan mendapatkan hak serta memiliki kewajiban atas suatu aset (mâl). Dengan demikian, berdasarkan definisi ini, maka EBA senantiasa memiliki dua peran:

1. Sebagai jaminan mendapatkan hak, yang berarti adalah hak memanfaatkan dan hak mengelola atas suatu aset (mâl).

2. Sebagai jaminan adanya kewajiban pemegang atas suatu aset, yang berarti adalah pemegang memiliki kewajiban melaksanakan ketentuan terhadap aset (mâl).

Contoh dari “efek” sebagai jaminan mendapatkan hak misalnya adalah ijazah, Bukti Pembelian Kendaraan Bermotor (BPKB), saham, cek (syukuk), dan sebagainya. Orang yang memiliki ijazah pada dasarnya memiliki hak untuk berperan sebagai tenaga ahli di bidang sebagaimana tertulis dalam ijazahnya. Demikian pula, BPKB secara tidak langsung menyatakan bahwa orang yang memegangnya memiliki hak untuk mendapatkan manfaat dari kendaraan yang dibelinya. Saham merupakan bukti bahwa pemegangnya berhak untuk mendapatkan bagi hasil atau bagi untung rugi atas suatu usaha yang dilakukan oleh perusahaan. cek/syukuk merupakan bukti bahwa pemegangnya memiliki hak atas suatu keuangan yang dititipkannya pada sebuah bank. Selebihnya, pembaca bisa mengembangkan sendiri dalam memaknai sebuah sertifikat atau nota lain.

Efek dengan jaminan pemegang bisa mendapatkan hak manfaat atas suatu aset ini dikenal sebagai efek unjuk. Sekarang, coba bayangkan bahwa pembaca tengah memegang sebuah sertifikat saham. Saat dilakukan rapat tahunan oleh sebuah badan usaha, lalu saudara tidak dipanggil untuk mendapatkan jatah bagian pembagian hasil tersebut. Apa yang akan saudara lakukan? Pasti saudara akan melakukan “unjuk rasa” ke jajaran direksi atau komisaris perusahaan bahwa Anda memiliki hak mendapatkan bagi hasil dan sisa hasil usaha (deviden) dari perusahaan namun hak saudara tengah diabaikan oleh mereka. Keberadaan bisanya saudara menggunakan hak melakukan unjuk rasa (protes) dengan disertai bukti kepemilikan saham, menjadikan efek berupa saham ini disebut sebagai efek unjuk atau sertifikat unjuk.

Adapun efek yang berperan sebagai jaminan bahwa pemegang memiliki kewajiban atas suatu aset contohnya adalah nota tagihan, buku tabungan, buku deposito, buku reksadana, giro, obligasi, dan lain sebagainya. Nota tagihan, dalam dunia keuangan, sering disebut dengan istilah obligasi, yaitu surat berharga yang diperuntukkan bahwa pemegang memiliki hak untuk menagih suatu manfaat dari aset (mâl) yang berada di pihak ketiga. Dengan demikian, maka di dalam obligasi dan nota tagihan ini bisa berlaku akad hawalah, yaitu pengalihan tanggung jawab utang kepada pihak lain selaku pemegang obligasi/nota tagihan. Karena sifatnya adalah pengalihan, maka nota pengalihan tagihan ini sering disebut juga dengan istilah nota tagihan atas nama. Dalam dunia ekonomi keuangan, nota tagihan atas nama ini dikenal dengan istilah “sertifikat atas nama.”

Sebuah gambaran dari akad hawalah ini, adalah misalnya Pak Tono memiliki tagihan utang kepada Pak Toni sebesar 1 juta rupiah. Pak Tono punya utang kepada Pak Roni, juga sebesar 1 juta rupiah. Agar Pak Tono tidak pusing-pusing lagi menagih kepada Pak Toni, maka dia bilang ke Pak Roni dan Pak Roni: “Pak Roni, utang saya ke Anda adalah sebesar 1 juta rupiah. Pak Toni punya utang ke saya juga sebesar 1 juta rupiah. Nah, saya ingin mengalihkan tanggung jawab penagihan utang saya ke Pak Toni kepada Pak Roni. Apakah Pak Roni menerima?” Pak Roni menjawab: “Iya, saya terima.” Akad sebagaimana yang Pak Tono lakukan dengan Pak Roni dan Pak Toni ini disebut akad hawalah atau pengalihan tanggungan. Untuk menjaga agar Pak Toni tidak mangkir dari akad yang sudah dilakukan tersebut maka dibutuhkan saksi (syuhud) dan bukti (bayyinah). Bukti inilah yang selanjutnya disebut sebagai obligasi atau nota tagihan. Apakah akad seperti ini bertentangan dengan syariat?

Dalam kitab tafsirnya, Syekh Muhammad bin Jarir Al-Thabary meriwayatkan dari shahabat Ibnu Juraih, bahwasannya:

عن ابن جريج قوله (يا أيها الَّذِين آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلى أجَلٍ مُسَمّى فَاكْتُبُوْهُ) قال : فمن أَدَانَ دَيْنًا فَلْيَكْتُب , ومن باع فليشهد

Artinya: Dari Ibnu Juraih, Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, ketika kalian saling berutang sampai batas suatu tempo tertentu, maka catatlah”. Maksud dari ayat ini adalah barangsiapa yang memberikan utang suatu aset (kepada orang lain), maka sebaiknya ia mencatat, dan barang siapa melakukan jual beli, maka sebaiknya mengambil saksi. (Lihat Muhammad bin Jarir Al-Thabary, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wili al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994, hal: 48)

Berdasarkan bunyi ibarat dari kitab tafsir di atas, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan pentingnya:

1. Pencatatan transaksi. Catatan transaksi ini dalam dunia ekonomi modern dikenal sebagai efek.

2. Pentingnya mengambil saksi dalam jual beli. Dalam obligasi maka akad hawalah ini bisa berupa lembaga resmi dan diakui oleh negara.

Demikian, sekelumit ulasan mengenal efek dalam dunia transaksi keuangan. Semoga ulasan singkat ini bermanfaat sebagai dasar kita memasuki kajian yang lebih mendalam dan rumit kelak di kemudian hari! Wallahu a’lam. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Kilas Balik 1962 (2): Kesaksian Tragedi Shalat Id Berdarah


Kilas Balik 1962 (2): Kesaksian Tragedi Shalat Id Berdarah

Belakangan, kesaksian percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno tatkala sedang khusyuk melaksanakan sholat Idul Adha 14 Mei 1962 yang melukai politisi Partai NU KH Zainul Arifin mulai bermunculan di media massa dan buku-buku sejarah. Sebelumnya, insiden tersebut terkesan agak ditutupi.

Hal ini berlangsung karena kala itu pemerintahan Sukarno berusaha keras mencegah media massa asing menyoroti masalah Islam radikal di Indonesia dan menganggap negeri ini memiliki ancaman keamanan serius, sementara Indonesia sedang diambang menjadi tuan rumah perhelatan olahraga paling akbar di benua Asia, Asian Games.

Akibatnya, pemberitaan percobaan pembunuhan terhadap Kepala Negara dari jarak yang begitu dekat cenderung spekulatif. Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden lebih memilih tutup mulut  mengenai hal itu.

Kesaksian Mangil Martowijoyo

AKBP Mangil Martowijoyo dalam autobiografinya Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967(1999: 331) sebagaimana dikutip tirto.id bersaksi, sehari sebelum Idul Adha yang jatuh pada 14 Mei 1962, Kapten CPM Dachlan datang ke rumahnya melaporkan sinyalemen adanya usaha pembunuhan dari kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terhadap Presiden Sukarno tepat di hari umat Islam melaksanakan solat Idul Adha. Sukarno dan tokoh agama dijadwalkan akan  solat Id di halaman Istana—yang boleh diikuti pula oleh masyarakat luas.

Besoknya, pada 14 Mei 1962, Mangil sengaja datang ke lapangan antara Istana Merdeka dengan Istana Negara tempat Sukarno akan solat bersama rakyat. Setelah melakukan penyisiran ke setiap sudut lokasi, Mangil mengatur strategi pengamanan menjadi enam pos dengan dua pengawal presiden berjaga dengan bersenjatakan Senapan AR-15 (versi sipil M-16) . 

Tembakan Rakaat Kedua

Ketika Imam solat KH Idham Chalid baru mau bertakbir setelah ruku terdengarlah seruan lantang, "Allahu Akbarrr.." disusul letusan peluru dari baris keenam (versi lain menyebut dari barisan ketiga). Komisaris Soedarjat berbalik berusaha melundungi Presiden, namun malah jatuh terkena tembakan. Sedangkan Pembantu Letnan Wahid langsung meringkus penembak gelap.

Belakangan terungkap, komplotan pembunuh Presiden itu terdiri dari anak-anak muda DI/TII. Mereka adalah: Sanusi alias Fatah alias Soleh (32), Harun alias Kami alias Karta (27), Djaja Permana bin Embut alias Hidayat alias Mustafa (35), Tapbi alias Ramdan alias Jahaman bin Mahadi alias Iding (30), Abidin alias Hambali bin Tajudin (22), Cholil alias Pi'I bin Dachroj (20), Dachja bin Candra alias Musa (28), dan Nurdin bin Satebi (19)

Kesaksian Bambang Wijanarko

Sebagai penganut Katolik, ajudan Sukarno, Bambang Wijanarko pagi itu tidak solat. Dia duduk di beranda belakang Istana dekat pantry. Dari sanalah ia menyaksikan peristiwa penembakan yang langsung membuat jemaah panik. Dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (1996, 115) Wijarnako menggambarkan kepanikan yang terjadi pasca tembakan pertama. "Ada yang berteriak, ada yang langsung tiarap, ada yang berdiri dan terus berlarian menjauhkan diri."

Diceritakannya pula bagaimana para anggota DKP dengan sigap langsung membagi pasukan menjadi dua, sebagian melindungi Presiden dengan menubruk Sukarno hingga tiarap dan tertutupi tubuh-tubuh para pengawal, sebagian lagi langsung meringkus pelaku penembakan. Pengawal-pengawal Kepala Negara kemudian mengelilingi Presiden dalam lingkaran sambil mengacungkan senjata dan mengamankan Sukarno ke kantor ajudan di bagian barat Istana.

Dalam suasana demikianlah, peluru penembak gelap mengenai Ketua DPRGR KH Zainul Arifin dari bahu ke arah dada, sampai dasinya terputus. Arifinpun tersungkur ke atas sajadah memegangi dadanya yang langsung bersimbah darah.

Kesaksian Guntur Soekarnoputra

Kala itu usia putra sulung Presiden Sukarno ini baru 18 tahun. Pagi itu dia tidak ikut solat Id. Ketika letusan terdengar, dikiranya itu suara knalpot motor besar para pengawal Kepala Negara.

Saya lihat dari jendela, pasukan pengawal menyeret orang yang kemudian saya ketahui sebagai pelaku penembakan Bapak. Ia diseret dan dipepetkan di sebuah pohon, persis di samping kamar Bu Mega (Megawati Soekarnoputri)," ungkap Guntur Sukarnoputra sebagaimana dilansir cowasjp.com.

Guntur menyaksikan penembak gelap sedang dihajar para pengawal di bagian perut dan wajah sampai lebam dan berdarah-darah. Sampai Mangil Martowijoyo datang mengingatkan agar pelaku jangan dipukuli sampai mati.

Media massa menahan diri dalam memberitakan peristiwa percobaan pembunuhan Presiden dari jarak dekat ini karena tidak ingin masyarakat internasional memandang rongrongan Islam ekstremis DI/TII sebagai masalah keamanan yang serius. Hal ini dilakukan karena beberapa bulan setelah peristiwa tersebut pesta olahraga akbar Asian Games ke-4 akan dilangsungkan di Jakarta. []

Ario Helmy, penulis buku “KH Zainul Arifin Pohan, Panglima Santri: Ikhlas Membangun Negeri” (2015)

(Ngaji of the Day) Mau Kredit di Bank Syariah, Kenali Dulu Jenis Agunan Anda!


Mau Kredit di Bank Syariah, Kenali Dulu Jenis Agunan Anda!

Salah satu peran lembaga perbankan syariah adalah sebagai lembaga intermediasi  keuangan. Intermediasi maksudnya bahwa bank berperan selaku “wakil nasabah” dalam menerima dan sekaligus menyalurkannya ke unit-unit pembiayaan. Unit pembiayaan bisa terdiri atas suatu badan usaha, unit usaha menengah dan usaha kecil (UMKM) dan atau bahkan personal. Jika bank tersebut berbasis syariah, maka langkah penyaluran ini senantiasa berusaha memenuhi  prinsip-prinsip syariah. 

Dalam sistem perbankan konvensional, fungsi intermediasi ini dimainkan dengan jalan mengumpulkan dana masyarakat nasabah kemudian bank berperan menyalurkannya ke unit-unit pembiayaan melalui penyaluran bantuan kredit perbankan. Selanjutnya bank memberikan bunga kepada nasabah yang keuangannya ditasharufkan oleh perbankan.

Terkait dengan penyaluran pembiayaan/perkreditan, selain bank melakukan survei ke nasabahnya dan mengadakan studi kelayakan nasabah, kadang bank juga mengharuskan adanya peran jaminan. Jaminan ini selanjutnya disebut sebagai agunan. Ada dua jenis prinsip agunan yang dikenal dalam syariah, yaitu agunan berbasis aset (rahn) dan agunan berbasis personal (kafâlah). 

Fungsi dari agunan ini sebenarnya ada banyak sekali, salah satunya sebagai jaminan kembalinya pinjaman dana nasabah ke bank. Mengapa harus ada jaminan? Selain karena faktor nasabah yang beraneka ragam kondisi sosial dan karakteristiknya, juga dalam rangka sekuritisasi (jaminan keamanan) dana investor dan/atau nasabah yang sudah menabung ke bank tersebut. Dalam hal ini, yang diputar adalah dananya nasabah. Karena dan investor bisa menarik dananya sewaktu-waktu, maka pihak perbankan harus membuat sistem yang mudah untuk mencairkan dananya (liquiditas). Caranya, adalah dengan keberadaan agunan tersebut. 

Untuk agunan berbasis personal (kafâlah bin nafs) dalam perbankan syariah umumnya diterapkan melalui skema kafîl (Institusi penjamin pembiayaan/kredit) akan menjamin bahwa pihak kedua/nasabah yang mengajukan kredit (makfûl ‘anhu) akan mengembalikan hutangnya (al-makfûl) kepada pihak ketiga, yaitu bank syariah (al-makfûl lahu). 

Misalnya Pak Tono (pihak 1) menjamin bahwa Pak Toni (pihak 2) akan melaksanakan kewajiban mengembalikan hutang-hutangnya (al-makfûl) kepada Pak Roy (pihak 3). Dalam sistem perbankan syariah, peran Pak Tono (pihak 1) ini diperankan oleh sebuah institusi penjamin kredit. Untuk mengetahui keberadaan dan peran institusi tersebut, pihak yang mengajukan bisa menanyakannya di bank syariah yang bersangkutan. Jenis pembiayaan dengan agunan personal (kafâlah bin nafs) ini umumnya diberikan dengan istilah pembiayaan tanpa agunan. Praktiknya bagaimana? Biasanya, nasabah akan diajak melakukan skema jual beli murabahah. 

Adapun agunan berbasis aset (kafâlah bil mâl), maka salah satu cara yang dibenarkan oleh syariah adalah dengan sistem rahn (gadai). Dewasa ini, ruang lingkup aset sudah sangat berkembang sekali. Menurut ulama jumhur selain ulama dari madzhab Hanafi, bahwa yang dimaksud dengan aset adalah: 

وأما المال عند الجمهور غير الحنفية: فهو كل ما له قيمة يلزم متلفه بضمانه

Artinya: “Pengertian aset menurut ulama Jumhur selain Hanafiyah adalah mencakup segala sesuatu yang memiliki nilai dan mewajibkan dlaman bila merusaknya.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamu wa Adillatuh, Juz 7, Beirut: Daru al-Fikr, 1985, hal: 385)

Berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud sebagai aset adalah kadang berupa barang wujud, barang yang memiliki nilai dan barang yang jika rusak, maka yang merusakkan wajib menanggungnya.

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 18/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Syukuk, Pasal 3, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan barang (aset) yang bisa dijadikan jaminan (agunan) sehingga disebut juga sebagai aset dasar (underlying asset), terbagi menjadi beberapa macam: 

• Aset berwujud tertentu (a’yan maujudat); misalnya pekarangan rumah, mobil, sepeda motor.

• Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; misalnya: surat tanah, BPKB kendaraan, saham, hak paten dan lain-lain

• Jasa (al-khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada; misalnya hak paten, hak produksi, dan lain-lain

• Aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); misalnya hak pendirian franchise,  hak guna bangunan, hak sewa, hak kontrak dan/atau 

• Kegiatan investasi yang telah ditentukan dalam jangka panjang (nasyath ististmarin khashah).

Masih dalam peraturan di atas, aset sebagaimana yang dimaksud dalam ta’rif madzhab Syafi’i dijadikan sebagai syarat minimal aset, yaitu memiliki nilai dan memiliki status kepemilikan.

Dengan mengenali beberapa aset di atas, maka seseorang yang ingin mengajukan pembiayaan beragun aset – pembiayaan dengan jaminan barang -, maka ia terlebih dahulu harus mengenali jenis aset yang dimilikinya. 

Dewasa ini mulai diperkenalkan istilah Efek Beragun Aset. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini? Dan bagaimanakah perannya dalam dunia perekonomian syariah? Tunggu tulisan berikutnya! Wallahu a’lam. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim