Pemikiran dan
Pengalaman Imam Ghazali Berzikir dan Berdoa
Judul
: Metode Zikir dan Doa al-Ghazali
Penulis
: Kojiro Nakamura
Penerbit
: Mizan
Cetakan
: I, Juni 2018
Tebal Buku
: 206 hal.
ISBN
: 978-602-441-040-7
Peresensi
: Ach. Khalilurrahman, pecandu
buku yang kini bermukim di Sumenep
Imam Ghazali adalah
salah seorang pemikir Muslim terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah
Islam. Sebagian besar kaum Muslim menempatkan Imam Ghazali sebagai pemikir
genius yang berhasil memadukan fiqih dan tasawuf secara mengesankan dan paling
luas diterima. Semasa hidup, ia telah menuangkan pemikirannya ke dalam beberapa
karya monumentalnya. Selain itu, tulisan dari orang lain sesudahnya juga tak kalah
banyak.
Jika demikian, lalu
apa yang membedakan buku ini dengan karya lain?
Meski pemikiran Imam
Ghazali telah banyak dikaji, namun karya yang satu ini tetap memiliki
beberapa kebaruan. Pertama, buku Metode Zikir dan Doa al-Ghazali ditulis bukan
oleh seorang Muslim. Kojiro Nakamura adalah seorang pemeluk agama Buddha
berkebangsaan Jepang yang bergiat dalam bidang studi Islam. Buku ini tak lain
merupakan revisi dari desertasinya tahun 1970 di Universitas Harvard. Kini ia
mengajar di Universitas Obirin dan menjadi profesor di sana.
Kedua, Metode Zikir
dan Doa al-Ghazali secara ekstensif mengkaji pemikiran dan pengalaman Imam
Ghazali tentang zikir dan doa. Dari penelitian Nakamura, ditemukan bahwa
Imam Ghazali menggolongkan penggunaan zikir ke dalam lima kategori. Kategori
pertama, zikir sebagai upaya untuk selalu mengingat Tuhan, kemudian mengalihkan
perhatian utama kita dari dunia kepada Tuhan dan akhirat.Kategori kedua, zikir
sebagai semacam olah meditasi atau mental yang memupuk kondisi jiwa tertentu atau
sikap batin yang saleh.
Zikir kategori ketiga
melibatkan pelafalan kalimat suci secara terus-menerus sambil selalu
mengingatnya untuk memupuk cinta seperti yang dilafalkan dan diingatnya.
Kategori zikir keempat menggambarkan situasi manusia ideal yang dicapai melalui
praktik zikir mental dan lisan yang panjang. Kategori zikir kelima sekaligus
terakhir merupakan metode pengonsentrasian pikiran yang paling intensif dengan
cara pengulangan frasa suci yang sederhana, tanpa melibatkan aktivitas lain
yang bisa mengganggu konsentrasi ini (hal. 98-99).
Tak beda dengan
zikir, Imam Ghazali berpendapat bahwa doa merupakan elemen esensial dalam
hubungan manusia dengan Tuhan. Maka dari itu, sudah semestinya manusia
melakukannya sesering mungkin tanpa menunggu datangnya musibah. Sebab selama
seseorang masih manusia, ia tidak bisa mengenyahkan doa kepada Tuhan.
Meski begitu, Imam
Ghazali menetapkan sejumlah persyaratan bagi pendoa untuk bersikap rendah
hati (tadharru’), rindu (raghbah), takut (rahbah), kemutlakan, ketulusan, serta
kemurnian hati dan penyesalan atas dosa-dosa (hal. 107-110).
Mengingat posisinya
yang cukup vital ini, berbagai doa indah telah diturunkan dari para nabi,
sahabat nabi, dan para wali. Lafal-lafal doa yang mereka ajarkan sangat
dianjurkan untuk kita gunakan setiap kali memohon pada Allah. Karena dengan
demikian, paling tidak kita dapat belajar tentang sikap batin yang benar.
Namun, Imam
Ghazali pun mengakui bahwa pada tingkatan tasawuf yang tertinggi, tidak
ada lagi doa karena tidak ada perbedaan antara pemohon dan Tuhan. Pada tahap
ini, doa dalam pengertian yang kaku tidak diperlukan lagi (hal. 105).
Buku ini, selain
cocok dibaca para pengagum sosok dan pemikiran Imam Ghazali, sangat pas pula
dimiliki oleh mereka yang sedang konsen melakukan studi komparatif antara Islam
dengan Buddha. Nakamura telah melakukan perbandingan antara ritual ibadah pada
kedua tradisi agama yang sekilas tampak berbeda dari segi doktrin namun
terdapat sedikit kemiripan bila ditinjau dari praktik utama dan basis
psikologis dari suatu ibadah.
Di sini, Nakamura
memfokuskan penelitiannya pada zikir dalam tasawuf, kóan dalam Buddhisme Zen,
dan nembutsu dalam tradisi Jodo-shu (Tanah Murni) yang ternyata
merepresentasikan praktik inti dari masing-masing tradisi.
Kóan adalah metode
yang sangat efektif untuk mengarahkan orang-orang yang baru belajar Zen pada
situasi Pencerahan atau penyatuan dengan cara mendorong akal pada titik ekstrem
hingga ia mengalami kebuntuan total. Sekilas, kondisi konsentrasi ini sama
dengan kondisi yang berusaha dicapai oleh sufi melalui zikir sebagai persiapan
untuk menerima berkah dan kasih Tuhan (hal. 118). Namun dalam zikir, titik
puncaknya ada pada kebisuan konsentrasi pemikiran dan harapan untuk mendapat
nikmat tuhan melalui penyerahan diri.
Lain halnya dengan
nembutsu yang secara teknis berarti terus mengingat Buddha yang ideal dan
meditasi tentang kebaikan-Nya, jasa-jasa-Nya, atau sosok-Nya, dan kemudian
menancapkan nama tersebut dalam pikiran dengan “hasrat untuk mengalihkan
perhatian tentang Buddha yang mulia kepada hamba yang bergelimang dosa” (hal.
121).
Nembutsu lebih
menyerupai cara berpikir orang-orang yang mempraktikkan sesuatu karena yakin
akan kegunaannya. Sedangkan zikir sendiri menurut Imam Ghazali adalah
metode menggapai keyakinan sejati. Dengan demikian, dapat ditarik persamaan
bahwa keduanya sama-sama menolak memberikan nilai positif pada dunia fana ini
dan menganggapnya sebagai sesuatu yang nista.
Selain berkutat pada
metode, kelebihan berikutnya dari buku ini adalah disajikannya praktik wirid
yang biasa dibaca ketika Imam Ghazali berzikir dan berdoa dalam
kesehariannya. Pembahasan tentang wirid-wirid Imam Ghazali tersebut
terbilang cukup lengkap karena meliputi segala aktivitas manusia dari bangun
tidur sampai tidur lagi yang disarikan langsung dari kitab Ihya’ Ullumuddin.
Lalu seperti apa
zikir dan doa tersebut serta bagaimana pula cara mengamalkannya dalam kehidupan
kita sehari-hari? Biarkanlah ia menjadi alasan mengapa Anda harus membaca buku
ini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar