Kepastian Hukum “Itsbat
Nikah” Terhadap Status Perkawinan, Anak dan Harta Perkawinan
Oleh: Prof Dr H Asasriwarni, MH.
(Rais Syuriyah PW Nahdlatul Ulama Sumatera
Barat)
Pendahuluan
Kepastian hukum disebut juga dengan istilah principle of legal security dan
rechtszekerheid. Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu
menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum
(rechtszekerheid) juga diartikan dengan jaminan bagi anggota masyarakat, bahwa
semuanya akan diperlakukan oleh negara/penguasa berdasarkan peraturan hukum,
tidak dengan sewenang-wenang.
Sedangkan Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab yang terdiri isbat dan nikah.
Itsbat berasal dari bahasa arab yaitu الاثبات yang
berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi
istilah dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan isbat
nikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah penetapan
tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah adalah pengesahan atas
perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi
tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung
RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan).
Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan
perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang
telah memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa Dengan
perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum
rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2
Ayat 1 UUP dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk
mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan
kepercayaan para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUP.
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan
menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan
kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun
efek lain dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah
pengawasan atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan
mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.
Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan
di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan
pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat
Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan
Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti
perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak
mempunyai Kutipan Akta Nikah. Kemungkinan yang jadi penyebab tidak adanya
Kutipan Akta Nikah disebabkan oleh beberapa faktor seperti; (a) kelalaian pihak
suami isteri atau pihak keluarga yang melangsungkan pernikahan tanpa melalui
prosedur yang telah ditentukan pemerintah. Hal ini kelihatan semata-mata karena
ketidaktahuan mereka mereka terhadap peraturan dan ketentuan yang ada (buta hukum);
(b) Besarnya biaya yang dibutuhkan bila mengikuti prosedur resmi tersebut; (c)
Karena kelalaian petugas Pegawai Pecatat Nikah/wakil seperti dalam memeriksa
surat-surat/persyaratan-persyaratan nikah atau berkas-berkas yang ada hilang;
(d) Pernikahan yang dilakukan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan (e)
Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya
persetujuan dari isteri sebelumnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal
100 KUH Perdata tersebut, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan
akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan,
akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan.
Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah
merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta perkawinan
yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akta Nikah dan
pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan
perkawinan, karena itu walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat
bukti yang menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang
menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah dan
ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam memberikan
penegasan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974 tentang perkawinan. Pasal 5 KHI
merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatanperkawinan tersebut pada ayat
(1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Selanjutnya Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah; (2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. Pasal 7 menyebutkan bahwa: (1)
perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah; (2) dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat
Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama; (3) itsbat nikah yang
dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; (b)
Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan; (d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4) yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan
itu.
Itsbat nikah yang dilaksanak oleh Pengadilan Agama karena pertimbangan
mashlahah bagi umat Islam. Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk
mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen
pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan
perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, dewasa ini permohonan itsbat nikah yang
diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai alasan, pada umumnya perkawinan
yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pengadilan Agama selama ini menerima, memeriksa dan memberikan
penetapan permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 - kecuali untuk kepentingan
mengurus perceraian, karena akta nikah hilang, dan sebagainya – menyimpang dari
ketentuan perundang-undangan (Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan
penjelasannya). Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi
tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan
Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam. Apabila perkawinan yang
dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan
itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Padahal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak termasuk dalam hierarki
Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena
itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya
sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat
nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Eksistensi kepastian hukum istbat nikah terhadap status perkawinan dalam
hubungannya dengan pencatatan perkawinan dapat ditinjau dengan putusan Mahkamah
Konstitusi atas permohonan judicial review UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pemohon I adalah Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahim dan Pemohon II adalah Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.
Pokok permohonan menurut para Pemohon ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43
ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan
kerugian bagi para Pemohon, khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan
dan status hukum anak yang dihasilkan dari hasil perkawinan Pemohon I; Bahwa
hak konstitusional para Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam
Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena
perkawinan Pemohon I adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam islam.
Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD
1945 maka perkawinan Pemohon I yang dilangsungkan sesuai rukun nikah adalah sah
tetapi terhalang oleh Pasal 2 UU Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah
menurut norma hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap
status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon I
menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini
sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka
hukum menjadi tidak jelas dan sah.
Pendapat Mahkamah Konstitusi mengenai pokok permohonan adalah bahwa ketentuan
Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan bahwa
sesuai penjelasan umum angka 4 huruf b UU Nomor 1 Tahun 1974 Mahkamah
Konstitusi menyimpulkan (1) pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan
sahnya perkawinan (2) pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang
diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Kewajiban administrasi tersebut
dapat dilihat dari dua prespektif, yaitu ; pertama dari prespektif negara,
pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka memenuhi fungsi negara untuk
memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak
asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus
dilakukan sesuai prinsip negara hukum sebagaimana yang dimuat pada Pasal 281
ayat 4 dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencatatan tersebut dianggap
pembatasan, maka pembatasan yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan
konstitusi karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua pencatatan secara
administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan
hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dan
dikemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna
dengan suatu akta autentik. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan
konstitusi.
Keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkembangannya ternyata disikapi
dengan berbagai pandangan, di antaranya memunculkan kontroversi. Kontroversi
yang menonjol adalah dalam memaknai apa yang dimaksud dengan “anak luar kawin”.
Sebagian ada yang berpendapat bahwa anak luar kawin adalah anak yang lahir dari
perkawinan yang memenuhi syarat syar’i namun tidak dicatatkan (anak yang lahir
dari perkawinan di luar ketentuan undang-undang. Pendapat lain menyebutkan
bahwa makna anak luar kawin sesuai dengan pemahaman yang umumnya berkembang
adalah anak zina. Terhadap makna pendapat kedua akan memunculkan bahaya, karena
memberi peluang untuk melegalkan perbuatan zina.
Sebagai upaya mengurai missing link pemahaman tentang sah perkawinan menurut
peraturan perundang-udangan, sangat menarik untuk dikemukakan fatwa Mantan
Syekhul Azhar (Guru Besar) DR. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq tentang al-zawaj
al-‘urfy adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syakh Jaad al-haq
mengklasifikasikan ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua katagori,
yaitu peraturan syara’ dan peraturan yang bersifat al-tawtsiqiy.
Peraturan syara’ adalah peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah
pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan Syari’at Islam
seperti yang telah dirumuskan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab
yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua
orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang
sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul
yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk
melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang
telah baligh berakal lagi beragama Islam, di mana dua orang saksi itu
disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua
orang saksi tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta
syarat-syarat lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih, dan
tidak terdapat larangan hukum syara’.
Peraturan tersebut di atas merupakan unsur-unsur pembentuk akad nikah. Apabila
unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam Syari’at Islam telah secara
sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu secara syar’i telah dianggap
sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami istri yang sah dan anak
dari hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.
Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar
pernikahan di kalangan ummat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku
register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur
dalam peraturan perundangan administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah
lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis
dalam masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Misalnya sebagai upaya antisipasi dari
adanya pengingkaran akad nikah oleh seorang suami di kemudian hari, meskipun
pada dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi, tetapi sudah tentu
akan lebih dapat dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang
berwenang untuk itu. Menurut Undang-Undang Perkawinan Republik Arab Mesir Nomor
78 Tahun 1931 menyatakan tidak akan didengar suatu pengaduan tentang perkawinan
atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkan
adanya dekumen resmi pernikahan. Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali
Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’iy
nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun
seperti diatur dalam Syari’at Islam.
Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan
seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu negara, sebab dalam fatwa
beliau tetap mengingatkan pentingnya pencacatan nikah, beliau mengingatkan agar
pernikahan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga
menegaskan bahwa perauran perundangan yang mengatur pernikahan adalah hal yang
mesti dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai antisipasi
bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika
dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau
pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli waris.
Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, dengan tegas
membagi syarat nikah kepada syarat syar’iy dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy
adalah suatu syarat tentang keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung
kepadanya, yang dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan syarat tawtsiqiy merupakan suatu
yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu
tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan di kemudian hari.
Syarat tawtsiqiy tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi
sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam
setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadiran
dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’iy,
karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang menentukan
pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai syarat
tawtsiqiy.
Contoh syarat tawtsiqiy dalam al-Qur’an adalah syarat pencatatan jual beli
dengan tidak secara tunai, sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Baqarah ayat
282, “Ya ayyuhalladzina aamanuu idza tadayantum bidaidin illa ajalin musamma
faktubuh” dan pada ayat setelahnya dinyatakan “wa in kuntum ‘ala safarin wa lam
tajidu katiban farihanumm maqbuudlah” Apabila penggalan dua ayat ini, dipahami
secara tektual belaka tanpa mengaitkannya dengan ajaran pada ayat berikutnya,
maka kesimpulan yang segera diperoleh adalah adanya kemestian pencatatan utang
piutang dan kewajiban memberikan barang tanggungan sebagai jaminan utang.
seolah-olah utang-piutang tidak dianggap sah apabila tidak dicatatkan dan atau
tidak ada barang jaminan. Pemahaman seperti ini tidak sejalan dengan pemahaman
para ulama yang ahli dibidangnya. Sebab menurut kesimpulan para ulama,
kedudukan pencatatan dan barang jaminan, hanyalah sebagai alat bukti belaka dan
sebagai jaminan bahwa utang tersebut akan dibayar sesuai waktu yang
dijanjikannya. Kesimpulan para ulama tersebut adalah karena pemahaman ayat di
atas dihubungkan dengan ayat setelahnya “fa in amina ba’dlukun ‘ala ba’dlin
falyuaddi alladzi u’tumina amanatahu” ayat terakhir ini menunjukkan pencatatan
dan barang jaminan adalah alat tawtsiqiy, apabila tautsiqiy atau kepercayaan
itu telah ada pada masing-masing pihak, maka pencatatan dan barang jaminan itu
tidak diperlukan lagi dan utang piutang merupakan amanah yang wajib dibayar.
Perkembangan pemikiran tentang dasar perintah pencatatan nikah, setidaknya ada
dua alasan, yaitu qiyas danmaslahah mursalah.
a. Qiyas
1). Diqiyaskan kepada pencatatan kegiatan mudayanah yang dalam situasi tertentu
diperintahkan agar dicacat. Firman Allah QS. al-Baqarah ayat 282:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ ......
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
...
2). Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan,
mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk
dicatatkan.
3). Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat,
seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
وَكَيْفَ
تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ
مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat.
b. Maslahah Mursalah.
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan
juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan
masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu
prinsip dalam penetapan hukum Islam. Dalam hal ini, itsbat nikah dipandang
sebagai suatu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status
Anak
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa itsbat nikah hanya dimungkinkan bagi
perkawinan yang tidak ada bukti dicatatkan oleh lembaga berwenang yang memenuhi
peraturan syara’, tentunya itsbat nikah yang dilaksanakan akan memberikan
kepastian hukum terhadap status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
dalam hal ini, kepastian hukum tentang status anak di antaranya dapat dilihat
dari peraturan berikut ini:
a. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu:
"Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah";
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu :
"Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah";
c. Pasal 2 ayat (1), yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu";
d. Pasal 2 ayat (2), yaitu :"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku"
e. Pasal 99 KHI, Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah di
luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Dilihat dari alasan pengajuan itsbat nikah, alasan utama para pemohon
mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama adalah dalam rangka
mengurusan Akta Kelahiran anak-anak mereka di samping untuk mendapatkan
kepastian hukum perkawinan para pemohon itu sendiri. Ini berarti para orang tua
(ayah-ibu) ingin memperjelas status anak-anak mereka yang lahir dari perkawinan
yang tidak tercatat atau tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
tercatat/dicatatkan, pada Akta Kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan
Sipil hanya akan mencantumkan nama ibunya sama dengan Akta Kelahiran anak-anak
yang lahir di luar nikah. Konsekuensi hukumnya, kalau anak perempuan ayahnya
tidak dapat menjadi wali nikah apabila akan menikah karena mereka hanya
dinisbahkan kepada ibunya dan/atau keluarga ibunya, sehingga secara yuridis
mereka hanya akan menjadi ahli waris dan mewarisi harta peninggalan ibunya
apabila ibunya telah meninggal dunia, sedangkan kepada ayahnya sulit untuk
menjadi ahli waris dan mewarisi harta ayahnya karena secara yuridis tidak ada
bukti otentik bahwa ia anak ayahnya. Terlebih lagi apabila ayahnya memiliki
anak lain dari isteri yang dikawini atau dinikahi secara sah dan dicatatkan
pada Pegawai Pencatat Nikah. Penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama
antara lain bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan.
Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) menyebutkan aturan hukum
perlindungan anak dalam Pasal 41, 42, 45, 47, 48, dan 49, antara lain berupa
status - hubungan hukum, pendidikan dan perawatan, pemeliharaan dan tindakan
hukum, dan pemelihraan hak dan harta bendanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) perlindungan anak disebutkan dalam Pasal-pasal 98, 99, 104, 105, dan 106.
Dan upaya mempertegas dalam memberikan perlindungan anak, negara telah
melakukannya secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Ada beberapa hal penting yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,
antara lain tentang anak, perlindungan anak dan tujuannya, hak dan kewajiban
anak serta kewajiban dan tanggung jawab. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan, “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa batasan tentang anak
tersebut menunjukkan bahwa status anak sudah ditentukan sejak usia dini
keberadaannya di dalam kandungan. Dengan perlindungan anak yang disebutkan
dalam Pasal 1 Ayat (2) harus diberikan sejak saat itu pula. Bunyi ketentuan
hukum dimaksud adalah, :”Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Sehubungan dengan keharusan memberikan perlindungan kepada anak, Pasal 20
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan,
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”. Di antara organ
dan/atau komponen yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana tersebut di atas, adalah negara
dan pemerintah. Kewajiban negara dan pemerintah dalam penyelenggaraan
perlindungan anak, Pasal 21 Undang-Undang Nomo1 23 Tahun 2002 dinyatakan,
“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan
menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran,
dan kondisi fisik dan/atau mental”.
Itsbat nikah oleh Pengadilan Agama oleh para pemohon digunakan sebagai alas
hukum untuk mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan akan mengeluarkan Buku
Kutipan Akta Nikah sebagai bukti otentik bahwa suatu perkawinan telah tercatat,
untuk selanjutnya Buku Kutipan Akta Nikah itu akan digunakan oleh yang
bersangkutan untuk mengurus Akta Kelahiran Anak pada Kantor Catatan Sipil yang
mewilayahinya dengan dilampiri penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama dengan itsbat nikah mempunyai andil dan kontribusi yang sangat
besar dan penting dalam upaya memberikan rasa keadilan dan kepastian serta
perlindungan hukum bagi masyarakat. Mereka yang selama ini tidak memiliki Kartu
Keluarga karena tidak mempunyai Buku Nikah, setelah adanya penetapan itsbat
nikah oleh Pengadilan Agama mereka akan mudah mengurus Kartu Keluarga dan Akta
Kelahiran anak-anaka mereka sehingga sudah tidak kesulitan untuk masuk sekolah.
Bahkan, calon jamaah haji yang tidak mempunyai Buku Nikah sangat terbantu
dengan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama untuk mengurus paspor.
Ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam) dan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) sebagai instrumen
kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai bukti otentik adanya
perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi
pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak
sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang
lahir dari perkawinan itu.
Terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial sehingga akan
tercipta keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat. Berkaitan dengan itu,
pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, merupakan salah satu produk politik
sosial sebagai deposit politik sosial modern. Oleh karena itu, pasangan suami
istri yang telah melakukan perkawinan menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak
tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat
nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus melakukan nikah ulang atau nikah baru
(tajdid an-nikah) karena hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pemecahan masalah agar anak yang dilahirkan dari perkawinan yang demikian agar
mendapatkan status hukum dapat ditempuh sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “bila akta kelahiran tersebut
dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat”. Bukti-bukti dalam hal ini
harus dikembalikan kepada asas umum pembuktian sesuai Pasal 284 Rbg dan 164 HIR
untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah ditambah bukti lain berupa bukti
hasil pemeriksaan tes DNA untuk membuktikan bahwa anak tersebut benar-benar
dilahirkan dari suami istri itu. Solusi ini juga sebenarnya mengandung
konsekwensi apabila seorang anak dinyatakan sebagai anak sah dari hasil
perkawinan poligami di bawah tangan tersebut, walaupun tidak dinyatakan secara
tegas, akan berakibat secara tersirat pengadilan telah mengakui adanya
perkawinan yang menurut undang-undang terdapat halangan.
Akibat hukum terhadap anak-anak yang dilahirkannya dari perkawinan yang telah
memenuhi peraturan syara’ tidak dapat dinyatakan sebagai anak zina yang identik
dengan anak di luar perkawinan, melainkan sebagai anak yang sah dengan segala
konsekwensi hukumnya, seperti akibat pekawinan tidak tercatat itu menyebabkan
anak-anak yang dilahirkan nasabnya dihubungkan kepada kedua orang tuanya itu,
demikian pula hak dan kewajiban orang tua terhadap anak-anak seharusnya
berjalan sebagai mana mestinya, di antara mereka dapat saling mewarisi satu
dengan yang lainnya dan apabila anak yang dilahirkan itu perempuan, maka
ayahnya berhak menjadi wali anak perempuannya berlaku secara natural (alamiah)
saja. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kepastian hukum harus dilakukan itsbat
nikah di pengadilan Agama.
Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Harta Perkawinan
Sejalan dengan kepastian hukum itsbat nikah terhadap status perkawinan, status
anak, maka itsbat nikah juga akan memberikan kepastian hukum terhadap stutus
harta perkawinan. Dengan adanya itsbat nikah, penyelesaian sengketa harta
perkawinan dapat merujuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
ada, seperti ketentuan Bab VII UU Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang harta
benda dalam perkawinan. Pada pasal 35 disebutkan bahwa (1) Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah penguasan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Dalam pasal 36 dirumuskan bahwa: (1) Mengenai harta bersama, suami atau istri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; (2) Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai hartanya. Apabila pasangan suami istri itu
perkawinannya putus karena perceraian, maka masing-masing pihak akan
mendapatkan separoh dari harta bersama (gono gini) yang mereka peroleh selama
dalam ikatan perkawinan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin
(Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 97
Kompilasi Hukum Islam).
Kesimpulan
Itsbat nikah menurut peraturan perundang-undangan hanya dimungkinkan terhadap
perkawinan yang memenuhi syarat syar’i baik pelaksanaannya sebelum maupun
sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perkawinan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum adalah perkawinan yang
sesuai peraturan syar’i dan peraturan tawtsiqiy. Dalam upaya adanya
pertanggungjawaban perkawinan dimaksud, perkawinan yang sesuai dengan peraturan
syar’i agar juga memenuhi syarat tausiqy, maka itsbat nikah merupakan hal yang
mutlak demi tertibnya administrasi perkawinan di wilayah hukum Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berimplikasi pada
kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak, dan status harta
perkawinan.
*) Tulisan ini dipresentasikan pada
Penelitian dan Diskusi Terbatas Dihadapan Kalangan Hakim Lingkungan Peradilan
Agama di Wilayah Padang, 24 Mei 2012