Kamis, 29 Maret 2018

(Do'a of the Day) 09 Rajab 1439H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Laa ilaaha ilaa anta. Subhaanakal laa humma astaghfiruka li dzanbii. Wa as'aluka rahmataka. Allaahumma zidnii ilmaa wa laa tuzigh qalbii ba'da an hadaitanii. Wa hablii min ladunka rahmatan, innaka antal wahhaan.

Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Maha Suci Engkau, ya Allah. Aku memohon maghfirah-Mu karena dosaku. Aku memohon rahmat-Mu. Ya Allah, tambahkanlah ilmu pengetahuan kepadaku. Janganlah Engkau sesatkan hatiku setelah Engkau berikan hidayah kepadaku. Berilah rahmat kepadaku dari sisimu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 2.

(Khotbah of the Day) Kebaikan dan Keburukan Sekecil Apa Pun Dibalas Allah


KHOTBAH JUM'AT
Kebaikan dan Keburukan Sekecil Apa Pun Dibalas Allah

Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surah Az-Zalzalah, ayat 7 dan 8 sebagai berikut:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Artinya: "Barang siapa berbuat kebaikan sebesar zaroh pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan keburukan sebasar zaroh pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula."

Zaroh adalah bagian terkecil dari sesuatu, yang di dalam Ilmu Fisika disebut atom. Allah SWT menegaskan bahwa tak satu pun perbuatan manusia, meski sekecil atom, lepas dari perhatian dan pengawasan Allah SWT. Perbuatan baik, betapapun kecilnya, pasti akan mendapat balasan. Demikian juga perbuatan jelek pasti akan mendapat balasan. Balasan bisa diterima di dunia ini, dan bisa pula di akhirat kelak. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada balasan yang tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari pergaulan sesama manusia. Dalam pergaulan itu, disadari atau tidak, kita sering melakukan sesuatu yang jelek, seperti bicara ceplas ceplos tak terkendali dan menyakiti orang lain. Orang-orang yang memiliki masalah ADHD, misalnya, biasanya berperilaku impulsif

Perilaku impulsif ditandai dengan ketidakmampuan atau kegagalan mengendalikan gejolak hati. Apa kata hati selalu dituruti, padahal dorongan hati tidak selalu baik. Orang-orang impulsif biasanya sangat emosional. Emosinya seringkali mengalahkan pikirannya meskipun mereka mungkin orang-orang yang sangat cerdas. Jika kita termasuk orang seperti ini, kita harus belajar bagaimana mengendalikan ucapan-ucapan yang tidak baik dan menyakiti orang lain. Kita harus bicara yang baik karena segala sesuatu yang baik merupakan sedekah sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA sebagai berikut:

 كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَ قَةٌ 

Artinya: “Setiap kabaikan adalah sedekah.”

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Oleh karena perkataan yang baik termasuk sedekah, maka perkataan itu pasti akan mendapatkan balasan yang baik dari Allah SWT. Untuk itu, orang-orang emosional atau pemarah harus belajar mengendalikan lisannya agar tidak bicara seenaknya yang dapat merusak hubungan antar personal. Orang-orang seperti ini biasanya memiliki konflik dengan orang lain. Di dalam keluarga mereka berkonflik dengan anggota keluarga lainnya, seperti dengan isteri atau suami, dengan anak atau orang tua, dan dengan kakak atau adik. Di lingkungan tetangga, mereka juga sering menjadi masalah. Di tempat bekerja, mereka juga sering cekcok dengan teman-teman sendiri. Di tempat-tempat ibadah, mereka juga sering membuat ketidak nyamanan orang lain. 

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Silaturrahim bisa terganggu disebabkan oleh perkataan-perkataan yang menyakitkan dari orang-orang emosional. Orang-orang yang sering kita sakiti baik dengan sikap maupun ucapan yang emosional pasti mengalami kesulitan untuk bersaksi bahwa kita orang baik. Padahal kita membutuhkan kesaksian seperti itu ketika kita telah meninggal dunia, misalnya pada saat dibacakan mahasinul mayyit kita dalam upacara takziyah atau layatan. Biasanya, kiai atau ustadz menanyakan kepada pelayat apakah si mayit orang baik. Bagaimana mungkin mereka yang sering kita sakiti akan bersaksi tanpa hambatan bahwa kita orang baik kalau setiap hari di masa hidup kita, kita sering melukai hati mereka? Kalau tokh mereka menjawab bahwa kita orang baik, mungkin mereka mengatakan hal itu hanya di lisan saja karena etika memang menuntut demikian. Padahal di dalam hati, mungkin mereka mengatakan yang sebaliknya. 

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِا للهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْلِيَصْمُتْ

Artinya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” ( HR Muslim)

Jadi bicara yang baik itu sangat perlu dan kita harus bisa. Jika tidak, sebaiknya kita memilih diam. Mengapa demikian? Sebab setiap amal baik, sekecil apa pun, pasti akan di balas Allah SWT. Perkataan yang baik tidak saja mendapat pahala dari Allah SWT, tetapi juga secara sosial menciptakan suasana kondusif yang memungkinkan masyarakat untuk hidup bersama dengan damai dan tentram. Orang-orang tua kita sering berpesan, “podho-podho sing ngomong, mbok ngomongo sing apik.” Artinya, sama-sama mengeluarkan energi, yakni berbicara, bicaralah yang baik. Maka haruslah kita hindari ucapan-ucapan kotor seperti misuh-misuh, ucapan-ucapan kasar seperti menghujat atau menghardik sebab kesemuanya itu bisa menimbulkan ketidak nyamanan bagi orang lain. Ucapan-ucapan seperti itu pasti akan dicatat malaikat dan kita harus mempertanggung jawabkannya kelak. Pasti akan ada balasan, yakni siksa dari Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam ayat yang di awal telah disampaikan, yakni:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًا يَرَهُ

Artinya: “Dan barang siapa mengerjakan keburukan sebasar zaroh, atau sekecil apa pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.”

Jamaah Jumat rahimakumullah,

Hidup di dunia ini hanyalah sebentar. Maka hendaknya hidup yang sangat singkat ini kita manfaatkan sebesar-besarnya untuk menyiapkan bekal yang sebanyak-banyaknya untuk hidup abadi di akhirat nanti. Barangsiapa yang bekal akhiratnya sangat banyak, pasti akan hidup bahagia di surga bersama orang-orang saleh yang di ridhai Allah SWT. Barangsiapa yang bekal akhiratnya sedikit atau bahkan kurang, pasti akan sengsara di akhirat. Mereka akan menjadi geladangan yang mondar-mandir kesana kemari meminta pertolongan. Maka sisa hidup ini marilah kita isi dengan amal-amal saleh sekecil apa pun kesalehan itu agar kita selamat di dunia dan akhirat. Amin, amin, ya rabbal alamin.                                              

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

(Hikmah of the Day) Kisah Pengamal Shalawat yang Dimudahkan Naik Haji


Kisah Pengamal Shalawat yang Dimudahkan Naik Haji

Ada keinginan yang sangat kuat untuk menunaikan ibadah haji pada pasangan Yazid, salah seorang warga Todipan, Solo, Jawa Tengah. Untuk meraih mimpinya ini, Yazid berusaha menjual tanah yang ia miliki sebagai sarana untuk membayar ongkos naik haji (ONH).

Berbagai macam usaha telah ia tempuh, namun belum kunjung berhasil. Tanah yang ia tawarkan kesana kemari belum kunjung laku. Sehingga timbul inisiatif, ia berniat ingin menawarkan tanahnya kepada KH Abdul Muid Ahmad, Pesantren Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo.

Sebetulnya, tanah yang ditawarkan Yazid tidak begitu mahal. Ia hanya butuh uang 70 juta. Sejumlah uang yang sekira cukup untuk membayar ONH dirinya sendiri bersama istri tercinta.

Meski hanya ditawarkan di angka 70 juta, karena Kiai Muid waktu itu sedang banyak kebutuhan, termasuk di antaranya juga ingin membayarkan biaya haji anaknya sendiri, Kiai Muid tidak bisa mengabulkan penawaran Yazid.

Karena keinginan Yazid yang tampak kuat untuk menunaikan ibadah haji, Kiai Muid kemudian memberikan amalan supaya Yazid dan istri mengamalkan bacaan shalawat yang telah diterima sanadnya dari KH Ahmad Baedlowie Syamsuri, Brabo, Grobogan, dengan syarat shalawat ini dibaca satu kali setiap habis shalat Isya’ dan dibaca 40 kali setiap malam Jum’at.

Shalawat itu sebagai berikut:
 
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُبَلِّغُنَا بِهَا حَجَّ بَيْتِكَ الْحَرَامِ، وَزِيَارَةَ حَبِيْبِكَ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ اَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلاَمِ، فِي صِحَّةٍ وَعَافِيَةٍ وَبُلُوْغِ الْمَرَامِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ.

Sepulang Yazid dari Kiai Muid, ia lalu ditanya oleh sang Ibunda, “Dari mana tadi, Zid?”

“Ini Bu, dari sowan Mbah Muid, mau jual tanah tapi beliau nggak bisa bantu. Aku dikasih amalan shalawat haji,” begitu kira-kira sahut Yazid.

“Oh.... , lha apa coba aku ikut mengamalkan, barangkali bisa ikut membantu kamu?”

Yazid kemudia turut memberikan. Hingga, ijazah shalawat tersebut diamalkan oleh Yazid, istrinya beserta Sang Ibunda. Justru ibunya yang tidak langsung mendapat ijazah dari Kiai Muid langsung ini, malah yang paling rajin mengamalkan dari pada Yazid sendiri yang tak begitu rajin.

Tidak sampai jeda waktu yang lama, setelah mereka mengamalkan shalawat, Yazid ditakdirkan Allah bertemu dengan kakaknya yang berprofesi sebagai makelar tanah atau bisnis properti.

Ia meminta tolong kakaknya ini untuk dijualkan tanah dengan sebuah ikat janji bahwa yang dibutuhkan Yazid hanya uang 70 juta saja. Selebihnya ia tak mau tahu, silakan kalau mau ambil untung. Untung berapa pun di atas 70 juta, ia serahkan menjadi hak milik sang adik.

Tanah, yang semula ia tawarkan ke berbagai macam orang dengan patokan harga 70 juta tidak kunjung terjual itu sekarang berubah justru laku pada kisaran angka 100 juta melalui tangan kakaknya.

Sesuai dengan janji yang telah ia sampaikan, Yazid tidak berkenan menerima kelebihan dari harga yang ia butuhkan. Bagaimanapun pula, ia sudah mengikat janji. Begitu pula kakaknya, sebagai saudara, ia ikhlas tak menginginkan balasan apapun dalam hal ini. Ia hanya ingin membantu kelancaran cita-cita sang adik yaitu menunaikan rukun Islam ke-5 berupa ibadah haji.

Akhirnya uang sisa dari 70 juta yang ditolak masing-masing kedua belah pihak, oleh sang kakak  mengusulkan bagaimana kalau kelebihan uang 30 juta ini dibuat membiayai sang ibunda menunaikan ibadah haji sekalian. Sehingga akhirnya mereka telah mencapai kata sepakat.

Jadi, karena keberkahan shalawat itu setelah dibaca oleh orang tiga, ketiga orang itu pula dipanggil oleh Allah Ta'ala untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah.

Semoga mereka mabrur, kita mendapatkan barakahnya, amin. Wallahu a'lam. []

(Ahmad Mundzir)

Yudi Latif: Kehilangan Indonesia


Kehilangan Indonesia
Oleh: Yudi Latif

Menjadi pemerintah itu memang harus bisa meramalkan (to govern is to foresee). Karena tak seorang pun tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, cara terbaik untuk menghadapi masa depan adalah dengan mengendalikannya. Dengan berlandaskan basis data yang sahih, berbagai kecenderungan positif ataupun negatif bisa diantisipasi untuk memastikan agar gerak sejarah masa depan tetap berjalan pada jalur keselamatan.

Bagaimana kalau seseorang yang berpotensi mencalonkan diri dalam bursa pemilihan presiden ”membeli” skenario negatif yang meramalkan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030? Ya, tentu sah-sah saja. Namun, pernyataan seorang pemimpin untuk hal-hal seserius masa depan negaranya tentu harus diperhitungkan masak-masak. Pertama, apakah prakiraan itu berlandaskan basis data dan argumen memadai. Kedua, seburuk apa pun skenario masa depan yang mungkin terjadi, tugas pemimpin menumbuhkan optimisme. Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew berkata, ”Tugasku adalah untuk memberikan harapan kepada rakyat, bukan untuk membuatnya mengalami demoralisasi.”

Dengan kepelikan yang menghadang Indonesia di masa depan, yang diperlukan memang bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme dengan mata terbuka. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat. Meskipun demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membelenggu kita dalam penjara pesimisme. Pemikiran konvensional beranggapan kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong pada kesuksesan.

Namun, optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komit- men hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan.

Pertama-tama, hendaklah disadari Indonesia negeri pejuang, bukan negeri para begundal. Dalam ungkapan Bung Hatta, ”Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Berjuang, ”berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan” itulah urat nadi keindonesiaan, yang membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan dalam tentang arti kemanusiaan, persatuan, dan keadilan.

Jika Indonesia ada karena etos kejuangan menegakkan cita-cita kemanusiaan, persatuan, dan keadilan, Indonesia terancam karam seiring pemudaran nilai-nilai dasar tersebut. Indonesia telah lolos berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan, sejauh masih ada semangat perjuangan dan solidaritas kemanusiaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan justru goyah saat ketamakan dan pertikaian elite menari di atas penderitaan rakyat.

Dengan keserakahan dan pertikaian elite, kita terancam ”kehilangan Indonesia”. Hal ini mengingatkan pada pernyataan PM Belanda Hendrik Colijn pada 1938. Ketika menanggapi Petisi Soetardjo, anggota Parlemen Hindia Belanda, yang menuntut kemerdekaan Indonesia, Colijn mengatakan, ”Indie verloren, rampspoed geboren” (Kehilangan Indonesia, timbul bencana). Kehilangan Indonesia merupakan bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Untuk menghindari hal itu, para elite di Ibu Kota harus banyak belajar dan berempati kepada rakyatnya. Pergilah ke seluruh pelosok Tanah Air. Di mana pun titik bumi negeri ini dipijak akan dijumpai keragaman manusia yang menanti pengharapan dengan kegigihan daya juang.

Melihat Indonesia dari pinggir seperti melihat pendaran cahaya yang lebih terlihat indah dari lingkar terluar. Apa yang terlihat muram di Ibu Kota tampak lebih cerah di tepian. Bukan karena kehidupan di tepian lebih makmur, melainkan karena kesederhanaan yang membuat harapan hidup lebih mudah didekati dengan kebersahajaan. Di kesuburan tanah pinggiran masih tertanam kesuburan jiwa. Kepolosan wajah perdesaan bak cermin bening yang bisa memantulkan ketulusan pengabdian secara setimpal.

Ada dua sisi waktu yang tak bisa kita perbuat: masa lalu dan masa depan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah berbuat di masa kini. Kita mesti merebut hari ini dengan menanam benih kebaikan meski tampak sebagai misi ketidakmungkinan. Tidak perlu putus asa sebab tugas hidup bukanlah meraih keberhasilan, melainkan memperjuangkan keberhasilan. Dengan ketulusan pengabdian, setiap amal tidaklah sia-sia.

Di sinilah Tanah Air pengabdian kita. Di sepanjang untaian zamrud khatulistiwa, anak-anak negeri hidup damai saling mengasihi, tiada kebinatangan saling menginjak dan mengusir sesama. Syukur pada Ilahi dengan turut merawat dan memakmurkan ibu pertiwi. Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. []

KOMPAS, 29 Maret 2018
Yudi Latif | Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila