Rabu, 21 Maret 2018

Gus Sholah: Tak Sembarang Orang Bisa Menjadi Guru


Tak Sembarang Orang Bisa Menjadi Guru
Oleh: Salahuddin Wahid

Ketika calon presiden Joko Widodo berkunjung ke Pesantren Tebuireng pada Mei 2014 dalam kaitan kampanye, saya sampaikan bahwa masalah kita banyak, tetapi masalah utama kita ialah penegakan hukum, reformasi birokrasi, peningkatan pertumbuhan dengan pemerataan hasil pembangunan dan penyediaan pelayanan pendidikan yang bermutu dan tersebar ke semua wilayah.

Kalau keempat masalah itu bisa doselesaikan dalam 10 tahun, kita akan lari membalap negara lain. Dari keempat hal di atas hanya pemerataan pembangunan wilayah yang bisa dijalankan dengan cukup baik, tetapi pertumbuhannya kurang. Sebetulnya pendidikan adalah yang paling penting bagi masa depan Indonesia tetapi itu hanya bisa diwujudkan dengan mewujudkan terlebih dulu yang lain.

Kita memberi penghargaan terhadap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang telah melakukan oto-kritik terhadap kinerja pemerintah, dengan mengatakan bahwa mutu pendidikan Indonesia di dunia internasional termasuk yang rendah. Bahkan di lingkungan ASEAN, Indonesia berada di papan tengah, kini sudah di bawah Vietnam yang dulu berada di belakang kita.  Padahal, anggaran pendidikan kita sejak 2010 sudah naik tajam dan kini sudah mencapai Rp 400 triliun. Sebenarnya kita mengalami kemajuan tetapi negara lain seperti Vietnam jauh lebih maju.

Masa lalu
Dengan kondisi seperti di atas seorang jurnalis di London bernama Elizabeth Pisani membuat tulisan berjudul “Indonesian kids don’t know how stupid they are”. Kondisi seperti di atas sudah berlangsung lama sekali, sudah berganti menteri berkali-kali, tetapi tidak banyak terjadi perbaikan. Penyakitnya sudah diketahui, tetapi belum ada perbaikan memadai.

Kalau dibandingkan soal ujian pada masa 40-50 tahun lalu dengan soal ujian masa sekarang akan terlihat bahwa soal ujian masa lalu lebih berat. Juga kalau dibandingkan soal ujian masa kini di Indonesia dengan Singapura, Thailand, Malaysia, kita lebih mudah. Tetapi kita tahu bahwa hasil ujian nasional kita untuk matematika secara nasional rata-rata tidak memuaskan, angkanya di bawah 50. Kemungkinan besar untuk mata pelajaran IPA juga seperti itu.

Beberapa bulan lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membuat tulisan bersama di majalah Tempo yang mengungkap keberhasilan mereka amat dibantu oleh kehebatan SMA di mana mereka belajar. Generasi saya (20 tahun lebih tua dari pada kedua menteri hebat itu) punya kesan yang sama. Artinya guru-guru kami saat itu secara nasional rata-rata bagus.

Saya mempunyai seorang sahabat, Ir Abdul Kadir Baraja. Setamat SMP pada 1963 dia mendaftar masuk SGA karena ingin menjadi guru. Ternyata dia tidak lulus ujian masuk. Dia bisa masuk tanpa tes ke salah satu SMA terbaik di Surabaya lalu masuk ke ITS.  Setelah menjadi insinyur dia menjadi pengusaha yang berhasil dan mendirikan sekolah yang menjadi salah satu sekolah terbaik di Surabaya. Artinya pada saat itu untuk menjadi guru diperlukan syarat yang tidak ringan. Tidak sembarang orang boleh dan bisa menjadi guru. Di sejumlah negara hanya peringkat 1-10 yang bisa menjadi guru.

Saya teringat sebuah tulisan Prof Dr Slamet Iman Santoso sekian puluh tahun lalu tentang hebatnya guru-guru beliau yang orang Belanda. Guru-guru itu mampu membangkitkan rasa ingin tahu yang kuat di dalam diri para murid sehingga mau belajar tanpa disuruh. Ini membuat siswa akan belajar seumur hidup.

Guru-guru Belanda itu mampu menanamkan rasa tanggung jawab dan percaya diri di dalam diri murid tetapi tahu batas kemampuan. Satu-satunya kekurangan Belanda ialah terlalu sedikit mencetak guru-guru yang hebat itu, yang terdiri dari bangsa Indonesia. Kesimpulannya untuk bisa menghasilkan  guru yang hebat seperti itu, hanya orang berbakat dan punya kemampuan hebat yang bisa menjadi guru.

Masa kini

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Desember 2016 mengungkap jumlah keseluruhan guru mencapai 2.922.826 orang terdiri dari 1,43 juta (49 persen) guru PNS dan 1,49 juta (51 persen)  guru swasta. Dari guru non PNS, 812.000 (54,5 persen) adalah guru honorer, yang sistem perekrutan dan juga pengelolaannya belum jelas. Kurun 2016-2020 diperkirakan ada 317.000 guru akan pensiun.

Di samping itu ada informasi yang menyebutkan, pada 2016 dan tahun-tahun selanjutnya akan terdapat lebih dari 250.000 sarjana pendidikan yang akan lulus. Selain 24 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) eks IKIP serta 24 fakultas keguruan dan ilmu pendidikan yang menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), juga terdapat LPTK swasta sebanyak 410 lembaga. Terdapat 5.579 program studi pendidikan di lembaga negeri dan swasta dengan jumlah mahasiswa sekitar 1,18 juta dan lebih dari 100.000 lulusan per tahun. Ketua Asosiasi Rektor LPTK Negeri se-Indonesia Syawal Gultom menyatakan lulusan LPTK kurang kompetensinya menjadi guru.

Sejumlah besar guru (PNS) mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG). Dengan nilai kelulusan 80, terdapat sekitar 41.000 guru tidak lulus. Terpaksa dilakukan UKG ulang dengan nilai kelulusan diturunkan menjadi 65. Guru yang lulus UKG ulang mendapat sertifikat profesi guru. Yang belum lulus menjalani program belajar mandiri untuk ikut UKG ulang berikutnya. Materi UKG terkait dengan kemampuan pedagogik (kependidikan) dan profesional (keilmuan sesuai mata pelajaran yang dipegang.

Ir  Abdul Kadir Baraja yang mendapat Dr Honoris Causa dari Universitas Negeri Surabaya, memahami betul masalah utama kita ialah kurangnya jumlah guru yang baik. Maka dia berjuang mewujudkan niat mulia untuk menghasilkan guru yang baik. Dia mendirikan STKIP berasrama untuk mewujudkan cita-citanya itu. Dia mencari calon guru yang bisa lolos ujian masuk setara ujian masuk ke ITB, Universitas Indonesia dan lain-lain.

Mereka tidak usah membayar biaya apapun. Ternyata tidak mudah mencari calon seperti itu. Dari kebutuhan 50 orang hanya diperoleh tidak sampai 30. Masalah lain yang akan timbul ialah bagaimana memberi kesejahteraan yang memadai bagi guru-guru yang baik itu seperti negara-negara lain menghargai guru-guru mereka.

Dugaan saya, sekitar sepertiga jumlah guru memenuhi syarat, sekitar sepertiga jumlah guru tidak memenuhi syarat tetapi bisa dilakukan pembinaan untuk bisa memenuhi syarat dan sekitar sepertiga amat sulit untuk bisa diperbaiki. Kalau mau lebih ketat, yang amat sulit untuk diperbaiki bisa mencapai sekitar separuh.

Pertanyaannya, bagaimana cara kita membina mereka yang masih mungkin dibina. Lalu bagaimana nasib mereka yang tak memenuhi syarat dan bagaimana mencari pengganti mereka yang harus diganti dan tak bisa dibina, karena jumlahnya amat banyak.

Jadi kita akan menghadapi masalah yang sama seperti yang dihadapi oleh sejumlah profesi. Setiap tahun, pasokan tenaga cukup banyak dan kebutuhannya juga cukup banyak. Tetapi kebutuhan itu tidak terpenuhi karena dari sekian banyak pasokan itu, hanya sedikit yang memenuhi standar internasional. Ketidakmampuan kita memenuhi kebutuhan akan guru yang baik akan berdampak pada masa depan bangsa. Bonus demografi tidak akan banyak manfaatnya. []

KOMPAS, 16 Maret 2018
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar