Aib
Dibuka di Mana-mana
Oleh:
Mohamad Sobary
Seorang
pemuda yang hidup sukses diwawancarai sebuah media. Hasil wawancara dicetak dan
diedarkan di pasaran bebas.
Sebagian disiarkan di televisi, disertai latar
belakang rumah mewah, kolam renang, mobil-mobil mewah, dan anjing-anjing mahal.
Dalam sekejap anak muda yang sukses itu menjadi sangat terkenal di seluruh
Tanah Air.
Tak mengherankan, para tetangga, sahabat, dan kenalan
orang tuanya di kampung, di seberang lautan yang jauh dari sini, bahkan yang
sebetulnya tidak kenal pun, ikut hiruk-pikuk, seolah hidup mereka juga harus
diabdikan untuk turut “merayakan” kebanggaan orang tua yang anaknya mampu
mengguncang dunia, hanya melalui satu kali penampilan di media cetak sekaligus
di layar televisi.
Martabat orang tuanya mendadak naik tajam seperti
harga saham di bursa efek yang gampang goyah, gampang berubah, dan
kaget-kagetan secara dadakan. Seperti kejutan di bursa saham, sebentar
kemudian, rumah orang tuanya dirombak total, diganti bangunan megah, dan paling
modern di kota kecilnya. Jantung para tetangganya harus kuat untuk menghadapi
kejutan demi kejutan berikutnya.
Di arisan, di pengajian, di pestapesta, ibunya
menyebarkan berita kehebatan anaknya tanpa tedeng aling-aling lagi. Kemajuan anaknya
dan sukses gilang gemilang yang memancarkan cahayanya hingga di seberang laut
itu menjadi seperti dongeng: tanpa proses, tanpa jerih payah, tahu-tahu kejutan
besar muncul. Sejak siaran media nasional, terutama siaran televisi yang hebat
itu, sang ibu ikut menjadi sejenis bintang yang kerlap-kerlip di langit.
Sang ibu sadar bahwa kemajuan anaknya membawa
pengaruh dan kewibawaan besar baginya. Para tetangga pun terkagum-kagum. Media
lokal yang membebek media Jakarta rajin mendatangi ibu yang berbahagia itu
untuk melakukan wawancara mengenai suasana hati dan kehidupan keluarganya.
Sebagian sekadar wawancara “gosip-gosipan” yang tak keruan ujung pangkalnya.
Tapi, sang ibu jelas bangga bukan kepalang. Masuk koran tanpa susah payah
dianggap suatu berkah tak terhingga.
“Bagaimana perasaan ibu punya anak yang sukses besar
di Jakarta?’
“Alhamdulillah,
ya gimana ya Dik wartawan? Allah mahamengabulkan cita-cita saya. Alhamdulillah
deh. Bangga ibu rasanya.”
“Oh, jadi hal ini memang dirancang, dan dicita-citakan
oleh ibu?”
“Saya yang mengandungnya selama sembilan bulan, tak
pernah lupa membentenginya dengan doa-doa dan permohonan supaya dia sukses. Dia
sudah sukses. Alhamdulillah. Allahu Akbar. Kita bersyukur. Ini sukses besar.
Anak saya memang sudah kelihatan pintar sejak kecil. Ibu bangga.”
“Bangunan rumah itu nilainya pasti lebih satu miliar
rupiah ya?”
“E, eeee…jangan remehkan kami. Belum separuh selesai
saja sudah habis tiga miliar. Mungkin nanti bisa habis barang tujuh atau
delapan miliar.” Media lokal ini pun mengguncang masyarakat setempat.
Wawancara itu ditulis sebagai reportase, judulnya
besar, mencolok, dengan huruf-huruf tebal. Foto sang ibu, yang berjilbab dan
jari-jari kanannya tak henti-hentinya memutar-mutar tasbih, tampak disengaja betul
untuk dijadikan fokus. Foto itu besar, mencolok, dan memancarkan daya tarik
mengagumkan bagi kaum ibu, teman-teman pengajian, di mana sang ibu menjadi
anggota.
Bangunan yang belum jadi juga ditaruh di latar
belakang, melengkapi gambaran sukses keluarga itu. Sejak hari penerbitan media
itu, ibu dan keluarganya mandi puja-puji dan kekaguman massa. Mereka dianggap
ikon kemajuan di kota kecilnya dan para tetangganya yang kekagumannya tak
mungkin disembunyikan. Bukan bagian dari masyarakat kita kalau kekaguman itu
berhenti di sana.
Gunjingan pun berkembang. Bahkan ada orang tua yang
menjadikan anak sang ibu sebagai model. Anak-anak yang harus bermigrasi ke
Jakarta harus juga meneladani sukses hebat itu. Keluarga sang ibu lalu menjadi
seperti sebuah “kitab”’ yang ajarannya dijadikan panutan para tetangganya. Apa
sebenarnya kerja anak sang ibu yang begitu mentereng hidupnya? Tidak ada orang
yang tahu secara persis.
Dia ada di mana-mana di kalangan atas. Juga di antara
para tokoh partai. Di pengajian, di seminarseminar, dan di tempat golongan
intelektual berkumpul, dia selalu ada. Pergaulannya luas. Dunia bisnis pun
menerimanya. Tapi, apa sebenarnya pekerjaannya? Di mana kantornya? Berapa anak
buahnya? Mengenai hal ini tak ada orang yang tahu persis.
Bukankah tak penting, apa pekerjaannya? Bukankah yang
penting orang bisa melihat hasil-hasilnya? Dia sukses. Sukses besar. Apa yang
lebih penting dari itu, di mata masyarakat kita yang kagum akan materi, bangga
melihat kesuksesan, tanpa peduli bagaimana sukses itu diraih. Orang sekarang
tampaknya memandang hidup secara sederhana: sukses ya sukses. Di balik itu yang
penting duit. Kantong tebal. Mobil mewah, rumah mewah.
Latar belakang sejarahnya bahwa dulunya miskin, orang
tua miskin, kakek, dan kakek buyut juga miskin? Tak menjadi masalah. Yang
miskin itu bukankah leluhurnya? Kalau dia sendiri sukses dan kaya apa salahnya?
Dia juga gemar pidato tentang apa salahnya kaya. Di mana-mana dia bicara: apa
salahnya kaya. Tentu saja tak ada salahnya.
Tapi, kalau orang miskin tiba-tiba kaya, tanpa
sejarah, tanpa proses, apakah tidak salah? Logika bisnis seperti apa yang bisa
membuat dalil pembenarannya? Moralitas agama dan tradisi macam apa yang bisa
menerimanya sebagai kebenaran dan wujud keluhuran? Dia juga dermawan. Kaum
miskin, anak-anak yatim piatu disumbang, dan disantuni.
Masjid-masjid disumbang. Tidakkah ini cukup
menegaskan kebaikan yang dilandasi kesalehan agamais? Ini semua dimuat juga di
media. Orang kampungnya sana kaget lagi mendengar kemuliaan ini. Sukses dan
kesalehan tergabung dalam hidup seorang anak muda. Kejutan muncul tiap saat,
meneguhkan kebahagiaan hidup orang tuanya, saudara-saudara, dan sanak kerabat
di kampung.
Tapi sekali lagi, jantung para tetangganya, yang
sudah menjadi pengagum fanatik itu, haruslah sekuat baja menghadapi banyak
kejutan yang silih berganti. Sekarang kejutan baru muncul: media cetak, media
“online”, televisi, dan radio, serentak menyiarkan berita baru yang
mengejutkan; anak sang ibu, yang sukses luar biasa tanpa kerja keras itu,
terlibat korupsi.
Ulahnya mengakibatkan kerugian besar bagi negara.
Sejumlah angka disiarkan. Bersama siapa, dalam proyek apa, dan dengan taktik
bagaimana korupsi itu dilakukan, semua disiarkan secara detil, jelas, tanpa
menyisakan pertanyaan. Para tetangga di kampung yang jauh di mata, jauh dari
Jakarta, juga mendengar siaran itu.
Bahkan ada televisi Jakarta yang datang ke kampung,
mewawancarai ibunya, dan memotret bangunan yang belum selesai, dan tampaknya
tak akan selesai itu. Para tetangga, pengagum, dan pemuja, yang menjadikan
keluarga itu, terutama sang anak yang sukses sebagai teladan? Semua, ibaratnya,
pingsan. Semua bisu.
Semua begitu malu telah mengagumi orang yang tak
layak diluhurkan budinya. Aib pribadi, aib keluarga, aib tetangga, dan terbuka.
Aib macam ini sekarang terbuka lebar di banyak pribadi yang korup, di banyak
keluarga. Pendeknya, aib dibuka di mana-mana. []
KORAN
SINDO, 27 Januari 2014
Mohamad
Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi