Kamis, 31 Oktober 2019

(Do'a of the Day) 03 Rabiul Awwal 1441H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Mar ra-aa wajhaka yas'ad,
Yaa kariimal waalidaini.
Haudhukash shaafil mubbarrad,
Wirdunaa yauman nusyuuri...

Maa ra-ainal 'iisa hannat,
Bis suraa illaa ilaika.
Wal ghamaamah qad azhallat,
Wal malaa shalluu 'alaika...

Siapa saja yang melihat wajahmu, ia akan bahagia,
Wahai Nabi yang penuh hormat kepada orang tua.
Air telaga yang bening dan segar,
Adalah minuman kami kelak di hari kiamat.

Belum pernah saya melihat onta berjalan di kegelapan malam,
Yang meminta belas kasihan selain kepadamu.
Awan telah melindungimu dari terik matahari,
Dan para malaikat mengucapkan shalawat untukmu.

Allaahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaihi.
Ya Allah, limpahkanlah rahmat, salam dan berkah kepada Nabi SAW.

[]

Dari Kitab iqdl al-Jawahir ditulis oleh Syekh Jafair Al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim

Tahun Pernikahan


(Ngaji of the Day) Uang Kembalian Ditukar dengan Permen, Bolehkah?


Uang Kembalian Ditukar dengan Permen, Bolehkah?

Sering berlaku dalam transaksi jual beli di masyarakat, seorang penjual memberikan permen kepada pembeli sebagai ganti nominal uang kembalian seorang pembeli. Terkadang pihak penjual melakukan praktik ini secara langsung tanpa meminta persetujuan dari pihak pembeli, namun kadang pula penjual menanyakan terlebih dahulu kepada pembeli akan penggantian dengan permen tersebut. Jika pembeli berkenan maka penjual pun meىyodorkan permen sesuai dengan nominal kembalian. Namun jika pembeli tidak berkenan maka penjual memberi kembalian berupa nominal uang sesuai dengan jumlah kembalian dari harga barang yang dibeli.

Sebenarnya, legalkah praktik penukaran uang kembalian dengan permen tersebut?

Patut dipahami sebelumnya bahwa penukaran uang kembalian dengan permen seperti yang berlaku di masyarakat secara umum, merupakan sebuah akad istibdal an-dain (barter atas sebuah tanggungan) yang sudah keluar dari konsep jual beli yang pertama. Dalam artian, dengan selesainya pembeli membayar barang yang dibelinya dengan nominal uang yang sesuai harganya, maka transaksi jual-beli sudah dianggap selesai. Lalu ketika uang yang dibayar oleh pembeli melebihi dari harga barang yang dibeli, maka dalam keadaan demikian penjual memiliki tanggungan (dain) pada pembeli—tanggungan inilah yang dijadikan sebagai objek akad istibdal. 

Para ulama berpandangan bahwa akad istibdal dari sebuah tanggungan adalah hal yang sah dan dilegalkan secara syara’. Namun seperti halnya umumnya akad-akad muamalah yang lain, istibdal butuh sebuah shighat (ucapan serah terima), sebab shighat inilah yang dapat mendeteksi kerelaan (ridha) dari kedua belah pihak atas akad yang dilakukan.

Sehingga jika dalam praktik yang terjadi penjual menanyakan pada pembeli “Mas, kembaliannya saya ganti permen ya?” dan pembeli bersedia, maka dalam praktik demikian para ulama sepakat mengabsahkan akad tersebut sebab sudah terdapat shighat.

Sedangkan jika dalam praktik yang terjadi penjual tidak mengucapkan kata-kata apa pun yang berkaitan dengan penukaran uang kembalian dengan permen, maka dalam hal ini akad tetap bisa sah jika berpijak pada pendapat ulama yang melegalkan mu’athah. Dalam menjelaskan pengertian dari mu’athah ini, Sayyid Abi Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha’ memaparkan:

ـ (والحاصل) المعاطاة: هي أن يتفق البائع والمشتري على الثمن والمثمن، ثم يدفع البائع المثمن للمشتري، وهو يدفع الثمن له، سواء كان مع سكوتهما، أو مع وجود لفظ إيجاب أو قبول من أحدهما، أو مع وجود لفظ منهما لكن لا من الالفاظ المتقدمة

“Kesimpulan. Mu’athah adalah sepakatnya penjual dan pembeli atas harga dan barang yang dihargai lalu penjual memberikan barang pada pembeli dan pembeli memberikan nominal uang pada pembeli. Baik keadaan mereka berdua sama-sama diam ataupun terdapat ucapan serah terima dari salah satu dari penjual dan pembeli, atau terdapat perkataan dari keduanya namun bukan berupa perkataan yang biasa terlaku dalam jual beli.” (Sayyid Abi Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha’, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 3, hal. 8)

Secara umum mu’athah berarti proses jual beli atau akad muamalah yang lain dengan tanpa menyebutkan shighat dari kedua belah pihak. Dalam menyikapi transaksi model demikian, para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam hal sah-tidaknya akad yang dilakukan dengan cara mu’athah ini. 

Perbedaan pendapat dalam hal mu’athah juga bisa ditarik dalam permasalahan istibdal, sehingga praktik penukaran kembalian dengan permen tanpa adanya persetujuan dari pihak pembeli tetap dihukumi sah menurut pendapat ulama yang mengabsahkan akad dengan sistem mu’athah, selama tidak ada komplain dari pihak pembeli. Jika ternyata pembeli komplain dengan cara tidak mau jika uang kembaliannya ditukar dengan permen, maka dalam keadaan demikian tidak ada cara lain selain membayar kembalian sesuai dengan nominal uang yang harus diserahkan pada pihak pembeli. 

Terkait istibdal dengan cara mu’athah seperti dalam contoh tersebut, Syeikh Sulaiman al-Jamal menjelaskan:

ـ (وصح استبدال ولو في صلح عن دين غير مثمن بغير دين) كثمن في الذمة (ودين قرض وإتلاف) ـ
ـ (قوله وصح استبدال إلخ) بشرط أن يكون الاستبدال بإيجاب وقبول وإلا فلا يملك ما يأخذه قاله السبكي وهو ظاهر وبحث الأذرعي الصحة بناء على صحة المعاطاة ا هـ

“Istibdal dapat sah meskipun dalam permasalahan shuluh, atas tanggungan selain berupa barang yang dibeli dengan selain hutang (cash), seperti pada harga barang yang masih dalam tanggungan dan tanggungan hutang dan tanggungan karena telah merusak barang.”

“Keabsahan istibdal ini dengan syarat wujudnya ucapan serah terima. Jika tidak terdapat ucapan demikian maka seseorang tidak dapat memiliki barang yang diambil olehnya (dari orang lain). Penjelasan demikian seperti yang disampaikan oleh Imam as-Subki, dan hal tersebut dianggap jelas. Namun Imam al-Adzra’i berpandangan bahwa istibdal tetap sah dengan berpijak pada pendapat yang melegalkan mu’athah.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 11, hal. 229)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penukaran uang kembalian dengan permen bisa dihukumi sah sebab termasuk akad istibdal an-dain, selama tidak ada penolakan dari pihak pembeli. Jika ternyata pembeli menolak, maka penjual harus  memberi uang kembalian padanya berupa uang sesuai dengan nominal kembalian yang berhak bagi pembeli. Namun, penjual tak dianjurkan menganti uang kembalian dengan permen begitu saja dalam kondisi tersedia uang kembalian dan sekiranya pembeli belum dapat dipastikan benar-benar ridha dengan praktik tersebut. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Fenomena Hijrah Kaum Muda


Fenomena Hijrah Kaum Muda

Akhir-akhir ini marak istilah hijrah di kalangan umat Islam Nusantara. Istilah yang digunakan sebagai ungkapan dari fenomena orang yang baru mengenal atau memperhatikan Islam setelah sebelumnya kurang memperhatikannya. Di antara yang ramai di media sosial adalah fenomena hijrah di kalangan artis. Di sisi lain, gairah hijrah melanda kaum muda, pelajar, mahasiswa dan kalangan profesional.

Fenomena hijrah juga ditampakkan dalam atribut kesalehan lahiriah, semisal dari tidak berjilbab sama sekali menjadi berjilbab lebar-lebar, tidak berjenggot hingga memanjangkannya lebat-lebat, dan semisalnya. Lalu apa makna hijrah sebenarnya? Berikut ini penjelasannya.

Hijrah secara bahasa bermakna "at-tarku", meninggalkan sesuatu. Sementara dalam syariat Islam, hijrah dimaknai sebagai memisahkan diri atau berpindah dari negeri kufur ke negeri Islam karena mengkhawatirkan keselamatan agama, (Lihat Muhammad bin ‘Allan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Arabi: tanpa keterangan tahun], juz I, halaman 42).

Namun demikian sebenarnya dalam konteks yang disebut terakhir, hijrah tidak melulu berpindah dari negeri kufur ke negeri Islam. Sebab pada masa awal Islam kita justru mengenal praktik yang berbeda.

Para sahabat seperti Utsman bin Affan, Zubair bin ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum berhijrah dari Makkah ke negeri Habasyah atau Abesinia, sekarang Ethiopia dan Eritrea Afrika, tepatnya ke wilayah kerajaan Aksum di bawah kepemimpinan Raja Negus yang beragama Kristen.

Di negeri Kristen ini mereka justru sangat terlindungi dari berbagai intimidasi dan persekusi. Lain halnya dengan kondisi di Makkah yang penuh bayang-bayang penyiksaan dan penindasan.

Hal demikian terjadi karena Raja Negus sangat terkenal keadilannya sebagimana penjelasan Nabi Muhammad SAW:

لَوْ خَرَجْتُمْ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا لَايُظْلَمُ عِنْدَهُ أَحَدٌ. وَهِيَ أَرْضُ صِدْقٍ حَتَّى يَجْعَلُ اللهُ لَكُمْ فَرَجًا مِمَّا أَنْتُمْ فِيهِ

Artinya, “Hendaknya kalian hijrah ke negeri Habasyah, sebab di sana terdapat raja yang tidak ada seorang pun yang dizalimi di sisinya. Habasyah adalah negeri kejujuran sehingga Allah akan menjadikannya sebagai solusi bagi kalian dari penderitaan yang kalian alami,” (Lihat Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wan Nihayah, [tanpa keterangan tempat: Daru Hijr, 1417 H/1997 M], tahqiq: Abdullah bin Abdil Muhsin At-Turki, cetakan pertama, juz IV, halaman 166).

Karena itu, secara substansial makna hijrah tampaknya tidak terpaku pada migrasi ke negeri Islam saja, namun lebih mendasar yaitu hijrah dari suatu tempat ke tempat lain karena menjaga keselamatan agama.

Dalam konteks yang lebih luas, merujuk penjelasan Al-Hafizh Abdurrauf Al-Munawi (952-1031 H/1545-1622 M), pakar hadits asal Mesir, hijrah pada hakikatnya adalah tarkul manhiyyat, meninggalkan berbagai larangan agama. Karenanya, hijrah sejatinya tidak terbatas pada perpindahan yang bersifat lahiriah, namun juga mencakup perpindahan atau perubahan yang bersifat batiniah, (Lihat Zainuddin Abdurrauf Al-Munawi, Taisir bi Syarhil Jami’is Shaghir, [Riyadh, Maktabah Al-Imam As-Syafi’i: 1408 H/1988 M], cetakan ketiga, juz I, halaman 378).

Sebab itu, hijrah bukan sekadar berjilbab lebar-lebar dan berjenggot lebat-lebat. Lebih dari itu, hakikat hijrah adalah meninggalkan berbagai larangan agama. Baik larangan yang bersifat lahiriah maupun yang bersifat batiniah.

Demikian pula, dengan berhijrah orang tidak berarti dapat merasa lebih baik daripada orang lain, menyalah-nyalahkan orang lain dan meremehkannya. Seiring tuntunan Nabi Muhammad SAW:

وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ. متفق عليه

Artinya, “Hakikat hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah,” Muttafaq ‘Alaih, (Lihat Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2001 M], juz I, halaman 217).

Demikian makna hijrah sebenarnya sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW dan para ulama. Semoga dapat menjadi bekal hijrah para kaum muda, hijrah untuk terus-menerus memperbaiki diri lahir batin secara sempurna. []

(Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur)

Zuhairi: Pesan Imam Ali bin Abi Thalib untuk Indonesia


Pesan Imam Ali bin Abi Thalib untuk Indonesia
Oleh: Zuhairi Misrawi

Menginjakkan kaki di kota Najaf, Irak merupakan keharuan dan kegembiraan tersendiri. Betapa tidak, lantunan salawat Nabi Muhammad SAW kerap terdengar dari sudut-sudut kota. Kecintaan warga Najaf terhadap Nabi dan keluarganya terus berkecambah, bahkan membuncah.

Dalam setiap momen Arba'in, Najaf merupakan salah satu destinasi yang dikunjungi oleh para peziarah dan pencinta Nabi dan keluarganya. Di kota Najaf ini terdapat peristirahatan terakhir Imam Ali bin Abi Thalib, menantu dan salah satu pemimpin penerus Nabi (khalifah al-rasul) yang sangat populer dalam khazanah Islam. Dalam salah satu hadisnya Nabi bersabda, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali bin Abi Thalib adalah pintunya."

Imam Ali bin Abi Thalib merupakan sosok sentral dalam khazanah Islam karena mewariskan ilmu dan kearifan yang luar biasa, yang dapat dijadikan teladan bagi setiap Muslim dalam mengarungi kehidupan ini. Karenanya, berziarah ke makam Imam Ali bin Abi Thalib merupakan mimpi dan keinginan setiap umat, khususnya bagi mereka yang tumbuh dalam tradisi NU, serta para pencinta Nabi dan keluarganya. Bahkan, Imam Besar al-Azhar, Syaikh Ahmed Thayyeb pernah menyatakan, "Suatu hari nanti, saya ingin salat di Masjid Imam Ali bin Abi Thalib."

Dini hari menjelang subuh, saya dan beberapa teman berziarah ke makam Imam Ali bin Ali Thalib. Walau badan masih merasakan lelah setelah melakukan perjalanan panjang, tapi selalu ada keriangan batin dalam momen ziarah, apalagi berziarah kepada sosok agung yang menginspirasi jutaan umat Islam dan umat agama-agama lainnya.

Saat berziarah, saya membawa buku magnum-opus Imam Ali bin Abi Thalib, Nahj al-Balaghah. Buku ini saya beli di salah satu toko buku di pasar Karbala yang berdekatan dengan kawasan suci makam Imam Husein. Buku ini berisi ungkapan dan tulisan Imam Ali bin Abi Thalib yang sangat indah, mendalam, dan menyentuh. Para ulama sepakat karya ini merupakan salah satu karya besar dalam khazanah Islam karena pesan-pesannya masih relevan hingga saat ini.

Setelah berziarah, saya membaca buku tersebut sembari menunggu Salat Subuh di Masjid Imam Ali bin Abi Thalib, Najaf. Ingatan saya langsung meneropong momen pengumuman susunan Kabinet Indonesia Kerja Jilid II (Kabinet Indonesia Maju) yang menghebohkan jagat media sosial.

Saya langsung tertuju pada pidato pertama yang disampaikan Imam Ali bin Abi Thalib pada saat dikukuhkan sebagai pemimpin penerus Nabi. Pesan tersebut masih terasa relevan untuk Indonesia yang sedang menghadapi disrupsi dan zaman baru yang penuh tantangan. Kiranya pesan-pesan tersebut juga perlu direnungkan oleh Presiden Jokowi dan para kabinet yang akan mengemban tugas penting memajukan Indonesia.

Apalagi Imam Ali bin Thalib dikenal dengan terobosannya dalam memindahkan ibu kota dunia Islam dari Madinah ke Kufah, Irak. Saya kebetulan sudah melihat langsung kemegahan Kota Kufah dan rumah Imam Ali bin Abi Thalib yang masih diabadikan hingga sekarang. Secara kebetulan, Presiden Jokowi juga hendak memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur pada 2024 nanti.

Dalam pidato pertamanya, Imam Ali bin Abi Thalib berpesan beberapa hal penting sebagai berikut. Pertama, hendaknya memilih jalan kebaikan agar selalu pada jalur kebenaran sembari meninggalkan jalan keburukan agar sampai pada tujuan mulia. Kekuasaan kerapkali menyilaukan mata dan mengotorkan hati seseorang, sehingga mudah menjadikan kekuasaan sebagai instrumen menghalalkan segala cara. Akibatnya, kekuasaan kehilangan tujuan utamanya untuk menebarkan kemaslahatan bagi sesama.

Maka dari itu, setiap pemimpin harus konsisten berada pada jalan kebaikan, sehingga kekuasaannya dapat digunakan sebaik mungkin untuk kepentingan bersama, yang akan menjadikan kehidupannya lebih sejahtera, mulia, dan berkeadilan.

Kedua, hendaknya mengutamakan kemuliaan manusia, sembari memperkuat dengan ketulusan dan ketauhidan untuk memenuhi hak-hak manusia. Memimpin pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia dan memenuhi hak-hak mereka. Karenanya, pemimpin harus memberikan perlindungan dan hadir dalam setiap denyut nadi warganya. Pemimpin hendaknya memastikan setiap tindakan dan ucapannya dapat membawa keselamatan dan kemaslahatan bersama.

Ketiga, hendaknya memprioritaskan kepentingan umum. Seorang pemimpin sejatinya bekerja dalam kerangka kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi. Sebab jabatan pada hakikatnya untuk memuliakan pribadi, tetapi membawa misi mulia untuk mewujudkan keadilan sosial. Karenanya, setiap pemimpin harus memperhatikan kepentingan warganya, bukan kepentingan diri dan keluarganya.

Keempat, hendaknya selalu bersama-sama dengan aspirasi dan alam pikir warga dalam setiap kebijakan. Jika para pemimpin berada dalam jalur kebajikan, hendaknya warga selalu mendukung langkah yang diambil oleh para pemimpin. Tetapi jika terdapat hal-hal yang menyimpang hendaknya dikoreksi, sehingga pemimpin tidak jatuh pada kezaliman.

Keempat pesan Imam Ali bin Abi Thalib tersebut terasa sangat relevan dalam konteks Indonesia saat ini. Hiruk-pikuk soal perebutan kekuasaan sepertinya tidak pernah selesai, bahkan makin merunyam. Pro-kontra penyusunan kabinet sepertinya menenggelamkan esensi dari kepemimpinan yang semestinya harus diemban oleh Presiden Jokowi.

Kita sudah memberikan kepercayaan dan pilihan secara demokratis terhadap Presiden Jokowi dan KH Maruf Amin. Maka tugas kita selanjutnya adalah mengawal dengan baik agar kekuasaan yang diembannya digunakan sebaik-baik mungkin untuk memanusiakan manusia, mewujudkan keadilan sosial, dan kedamaian bersama.

Memang tidak mudah memegang tugas yang amat berat di tengah tantangan global dan regional, serta polarisasi akibat pertarungan politik yang sangat keras. Namun dengan memastikan setiap kebijakan pada jalur konstitusi dan menjadikan kekuasaan sebagai instrumen untuk hidup bersama dalam bingkai persaudaraan, sebagaimana dipesankan oleh Imam Ali bin Abi Thalib, maka kita bisa optimistis Indonesia yang akan datang menjadi lebih baik. Di samping kita jangan sampai kehilangan sikap kritis terhadap hal-hal buruk yang dilakukan oleh para pemimpin kita. []

DETIK, 24 Oktober 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta