Pesan
Imam Ali bin Abi Thalib untuk Indonesia
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Menginjakkan
kaki di kota Najaf, Irak merupakan keharuan dan kegembiraan tersendiri. Betapa
tidak, lantunan salawat Nabi Muhammad SAW kerap terdengar dari sudut-sudut
kota. Kecintaan warga Najaf terhadap Nabi dan keluarganya terus berkecambah,
bahkan membuncah.
Dalam setiap momen Arba'in, Najaf merupakan salah
satu destinasi yang dikunjungi oleh para peziarah dan pencinta Nabi dan keluarganya.
Di kota Najaf ini terdapat peristirahatan terakhir Imam Ali bin Abi Thalib,
menantu dan salah satu pemimpin penerus Nabi (khalifah al-rasul) yang sangat
populer dalam khazanah Islam. Dalam salah satu hadisnya Nabi bersabda,
"Aku adalah kota ilmu, dan Ali bin Abi Thalib adalah pintunya."
Imam Ali bin Abi Thalib merupakan sosok sentral dalam
khazanah Islam karena mewariskan ilmu dan kearifan yang luar biasa, yang dapat
dijadikan teladan bagi setiap Muslim dalam mengarungi kehidupan ini. Karenanya,
berziarah ke makam Imam Ali bin Abi Thalib merupakan mimpi dan keinginan setiap
umat, khususnya bagi mereka yang tumbuh dalam tradisi NU, serta para pencinta
Nabi dan keluarganya. Bahkan, Imam Besar al-Azhar, Syaikh Ahmed Thayyeb pernah
menyatakan, "Suatu hari nanti, saya ingin salat di Masjid Imam Ali bin Abi
Thalib."
Dini hari
menjelang subuh, saya dan beberapa teman berziarah ke makam Imam Ali bin Ali
Thalib. Walau badan masih merasakan lelah setelah melakukan perjalanan panjang,
tapi selalu ada keriangan batin dalam momen ziarah, apalagi berziarah kepada
sosok agung yang menginspirasi jutaan umat Islam dan umat agama-agama lainnya.
Saat berziarah, saya membawa buku magnum-opus Imam
Ali bin Abi Thalib, Nahj al-Balaghah. Buku ini saya beli di salah satu toko
buku di pasar Karbala yang berdekatan dengan kawasan suci makam Imam Husein.
Buku ini berisi ungkapan dan tulisan Imam Ali bin Abi Thalib yang sangat indah,
mendalam, dan menyentuh. Para ulama sepakat karya ini merupakan salah satu
karya besar dalam khazanah Islam karena pesan-pesannya masih relevan hingga
saat ini.
Setelah berziarah, saya membaca buku tersebut sembari
menunggu Salat Subuh di Masjid Imam Ali bin Abi Thalib, Najaf. Ingatan saya
langsung meneropong momen pengumuman susunan Kabinet Indonesia Kerja Jilid II
(Kabinet Indonesia Maju) yang menghebohkan jagat media sosial.
Saya langsung tertuju pada pidato pertama yang
disampaikan Imam Ali bin Abi Thalib pada saat dikukuhkan sebagai pemimpin
penerus Nabi. Pesan tersebut masih terasa relevan untuk Indonesia yang sedang
menghadapi disrupsi dan zaman baru yang penuh tantangan. Kiranya pesan-pesan
tersebut juga perlu direnungkan oleh Presiden Jokowi dan para kabinet yang akan
mengemban tugas penting memajukan Indonesia.
Apalagi Imam Ali bin Thalib dikenal dengan
terobosannya dalam memindahkan ibu kota dunia Islam dari Madinah ke Kufah,
Irak. Saya kebetulan sudah melihat langsung kemegahan Kota Kufah dan rumah Imam
Ali bin Abi Thalib yang masih diabadikan hingga sekarang. Secara kebetulan,
Presiden Jokowi juga hendak memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan
Timur pada 2024 nanti.
Dalam pidato pertamanya, Imam Ali bin Abi Thalib
berpesan beberapa hal penting sebagai berikut. Pertama, hendaknya memilih jalan
kebaikan agar selalu pada jalur kebenaran sembari meninggalkan jalan keburukan
agar sampai pada tujuan mulia. Kekuasaan kerapkali menyilaukan mata dan
mengotorkan hati seseorang, sehingga mudah menjadikan kekuasaan sebagai
instrumen menghalalkan segala cara. Akibatnya, kekuasaan kehilangan tujuan
utamanya untuk menebarkan kemaslahatan bagi sesama.
Maka dari itu, setiap pemimpin harus konsisten berada
pada jalan kebaikan, sehingga kekuasaannya dapat digunakan sebaik mungkin untuk
kepentingan bersama, yang akan menjadikan kehidupannya lebih sejahtera, mulia,
dan berkeadilan.
Kedua, hendaknya mengutamakan kemuliaan manusia,
sembari memperkuat dengan ketulusan dan ketauhidan untuk memenuhi hak-hak
manusia. Memimpin pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia dan memenuhi
hak-hak mereka. Karenanya, pemimpin harus memberikan perlindungan dan hadir
dalam setiap denyut nadi warganya. Pemimpin hendaknya memastikan setiap
tindakan dan ucapannya dapat membawa keselamatan dan kemaslahatan bersama.
Ketiga, hendaknya memprioritaskan kepentingan umum.
Seorang pemimpin sejatinya bekerja dalam kerangka kepentingan umum, bukan
kepentingan pribadi. Sebab jabatan pada hakikatnya untuk memuliakan pribadi,
tetapi membawa misi mulia untuk mewujudkan keadilan sosial. Karenanya, setiap
pemimpin harus memperhatikan kepentingan warganya, bukan kepentingan diri dan
keluarganya.
Keempat, hendaknya selalu bersama-sama dengan
aspirasi dan alam pikir warga dalam setiap kebijakan. Jika para pemimpin berada
dalam jalur kebajikan, hendaknya warga selalu mendukung langkah yang diambil
oleh para pemimpin. Tetapi jika terdapat hal-hal yang menyimpang hendaknya
dikoreksi, sehingga pemimpin tidak jatuh pada kezaliman.
Keempat pesan Imam Ali bin Abi Thalib tersebut terasa
sangat relevan dalam konteks Indonesia saat ini. Hiruk-pikuk soal perebutan
kekuasaan sepertinya tidak pernah selesai, bahkan makin merunyam. Pro-kontra
penyusunan kabinet sepertinya menenggelamkan esensi dari kepemimpinan yang
semestinya harus diemban oleh Presiden Jokowi.
Kita sudah memberikan kepercayaan dan pilihan secara
demokratis terhadap Presiden Jokowi dan KH Maruf Amin. Maka tugas kita
selanjutnya adalah mengawal dengan baik agar kekuasaan yang diembannya
digunakan sebaik-baik mungkin untuk memanusiakan manusia, mewujudkan keadilan
sosial, dan kedamaian bersama.
Memang tidak mudah memegang tugas yang amat berat di
tengah tantangan global dan regional, serta polarisasi akibat pertarungan
politik yang sangat keras. Namun dengan memastikan setiap kebijakan pada jalur
konstitusi dan menjadikan kekuasaan sebagai instrumen untuk hidup bersama dalam
bingkai persaudaraan, sebagaimana dipesankan oleh Imam Ali bin Abi Thalib, maka
kita bisa optimistis Indonesia yang akan datang menjadi lebih baik. Di samping
kita jangan sampai kehilangan sikap kritis terhadap hal-hal buruk yang
dilakukan oleh para pemimpin kita. []
DETIK, 24
Oktober 2019
Zuhairi
Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik
Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta