Hukum Mengalihkan Isu
Segara garis besar agama tidak melarang
penyebaran berita oleh media massa dengan berbagai variannya, baik media cetak
atau elektronik. Islam membebaskan manusia untuk berekspresi dan berkreasi
menyampaikan berita atau pemikirannya di ranah publik.
Hanya saja, ada batas-batas tertentu yang
diatur dalam Islam agar penyebaran berita di media massa tidak memberikan efek
negatif untuk kehidupan manusia, termasuk di antaranya aturan dalam pengalihan
isu.
Pengalihan isu adalah upaya penyebaran berita
secara massif untuk mengalihkan pandangan masyarakat dari isu sebelumnya.
Masyarakat digiring oleh media untuk fokus pada isu yang baru agar mereka lupa
dengan isu yang berkembang sebelumnya.
Motif pengalihan isu bervariasi. Ada yang
bertujuan mempertahankan kekuasaan, meredam fitnah, melindungi personal atau
kelompok tertentu atau sekedar kepentingan komersil. Bagaimana sebenarnya hukum
mengalihkan isu dalam perspektif hukum Islam?
Mengaji hukum pengalihan isu tidak lepas dari
tiga hal. Pertama isi konten yang diberitakan. Kedua dari sisi tujuan. Ketiga
dari sisi dampak.
Pertama, Isi Konten
Bila pengalihan isu dilakukan dengan
menyebarkan konten yang diharamkan, seperti berita hoaks, mencaci maki, menggunjing
dan lain-lain, maka hukumnya haram. Keharaman pengalihan isu dalam titik ini
tidak bisa ditawar lagi, sebab secara dzatiyyah dari pemberitaannya sudah
mengarah kepada unsur negatif.
Menulis dan menyebarkan konten yang
diharamkan hukumnya sama dengan keharaman mengucapkan konten tersebut. Di
samping wajib menjaga ucapan dari hal yang diharamkan, manusia juga wajib
menjaga tulisannya.
Syekh Muhammad bin Salim Babashil mengatakan:
(و) منها (كتابة ما يحرم النطق به) قال فى البداية لأن القلم
أحد اللسانين فاحفظه عما يجب حفظ اللسان منه أى من غيبة وغيرها فلا يكتب به ما
يحرم النطق به من جميع ما مر وغيره.
Artinya, “Di antara makshiat tangan adalah
menulis perkara yang haram diucapkan. Berkata dalam Kitab Al-Bidayah, karena
pena adalah salah satu dari dua lisan, maka jagalah dia dari perkara yang lisan
wajib dijaga darinya, berupa menggunjing dan lainnya. Maka tidak diperbolehkan
menulis perkara yang haram diucapkan dari beberapa keharaman yang telah
disebutkan dan lainnya,” (Lihat Syekh Muhammad bin Salim Babashil, Is’adur
Rafiq, juz II, halaman 105).
Kedua, dari Sisi Tujuan
Pengalihan isu pada hakikatnya adalah sebuah
perantara untuk mencapai kepentingan tertentu. Pengalihan isu memiliki aneka
ragam tujuan yang bermacam-macam. Untuk itu, hukumnya juga disesuaikan dengan
tujuannya. Sesuai dengan kaidah fiqih “Lil wasa'il hukmul maqashid,
perantara dihukumi sebagaimana tujuannya”.
Bila bertujuan negatif seperti untuk
mengudeta pemerintah yang sah, melindungi koruptor dan lain-lain, maka
pengalihan isu menjadi haram. Bila tujuannya tidak melanggar syari’at, maka
hukumnya boleh, bahkan bisa wajib bila menjadi cara yang paling efektif untuk
menangkal kemudaratan, seperti untuk meredam fitnah.
Pengalihan isu dalam khazanah kitab turats
lebih dekat dengan istilah “al-makru” (mengelabui). Syekh Ibnu Hajar
Al-Haitami mengutip dari sebagian ulama bahwa al-makru adalah mengalihkan fokus
orang lain dari perkara yang dituju dengan siasat tertentu.
Menurut Syekh Ibnu Hajar, al-makru bisa baik
jika pengalihan fokusnya diarahkan pada kebaikan. Dan disebut tindakan tercela
bila mengarah pada keburukan. Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan:
وبعضهم
بأنه صرف الغير عما يقصد بحيلة ، وهذا الأخير : إما محمود بأن يتحيل في أن يصرفه
إلى خير وعليه يحمل قوله تعالى { والله خير الماكرين } ، وإما مذموم بأن يتحيل به
في أن يصرفه إلى شر ومنه ) ولا يحيق المكر السيئ إلا بأهله
Artinya, "Sebagian ulama mengungkapkan
al-makru dengan mengalihkan orang lain dari perkara yang ia tuju dengan sebuah
siasat. Pengertian terakhir ini adakalanya terpuji bila siasat yang dilakukan
diarahkan kepada kebaikan. Dan diarahkan kepada hal ini firman Allah yang
berupa, dan Allah sebaik-baiknya dzat yang membalas tindakan mengelabui. Dan
adakalanya tercela bila diarahkan kepada keburukan. Di antaranya adalah firman
Allah, dan rencana buruk itu tidak menimpa kecuali kepada orang yang
merencanakannya," (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir,
juz I, halaman 226).
Lebih gamblang lagi apa yang disebutkan oleh
Syekh Ibnul Qayyim, bahwa al-Makr sebagaimana al-hilah (siasat) hukumnya
disesuaikan dengan tujuannya. Ada yang haram, kufur, dosa besar, dosa kecil,
makruh, mubah dan wajib. Syekh Ibnul Qayyim menegaskan:
وكذلك
المكر ينقسم إلى قسمين محمود ومذموم فالحيلة والمكر والخديعة تنقسم إلى محمود
ومذموم فالحيل المحرمة منها ما هو كفر ومنها ما هو كبيرة ومنها ما هو صغيرة وغير
المحرمة منها ما هو مكروه ومنها ما هو جائز ومنها ما هو مستحب ومنها ما هو واجب
Artinya, "Demikian pula mengelabui,
terbagi menjadi dua macam. Terpuji dan tercela. Maka siasat, mengelabui dan
mengibuli terbagi menjadi hal yang terpuji dan tercela. Maka hilah yang diharamkan
di antaranya ada yang kufur, dosa besar, dan dosa kecil. Yang tidak diharamkan
ada kalanya makruh, mubah, sunah dan wajib," (Lihat Syekh Ibnul Qayyim Al
Jauziyyah, I'lamul Muqi'in, juz III, halaman 279).
Bagaimana bila tujuannya haram, namun tidak
berhasil misinya? Apakah masih terkena hukum haram? Dalam hal ini ulama
muhaqqiqin menegaskan bahwa melakukan sebuah perbuatan dengan tujuan yang
diharamkan sudah terhitung dosa, meski misinya tidak berhasil.
Salah satu yang menjadi argumen dalam hal ini
adalah hadits Nabi yang menjelaskan dua orang yang saling berkelahi semuanya
masuk neraka, baik yang membunuh dan yang terbunuh. Dosanya orang yang terbunuh
adalah karena ia memiliki tujuan buruk membunuh saudaranya, meski pada akhirnya
misinya tidak berhasil.
Syekh Jalaluddin As-Suyuthi menegaskan:
ثم
قال في الحلبيات وأما العزم فالمحققون على أنه يؤاخذ به وخالف بعضهم وقال إنه من
الهم المرفوع وربما تمسك بقول أهل اللغة هم بالشيء عزم عليه والتمسك بهذا غير سديد
لأن اللغوي لا يتنزل إلى هذه الدقائق واحتج الأولون بحديث إذا التقى المسلمان
بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار قالوا يا رسول الله هذا القاتل فما بال
المقتول قال كان حريصا على قتل صاحبه فعلل بالحرص
Artinya, "Adapun tujuan, maka ulama
muhaqqiqin berpendapat bahwa hal tersebut dikenakan tuntutan. Sebagian ulama
berbeda pendapat, ia berpendapat bahwa hal tersebut termasuk perencanaan yang
tidak dikenakan tuntutan. Ulama pertama berargumen dengan hadits, apabila dua
orang Muslim bertemu dengan dua pedangnya, maka pembunuh dan yang dibunuh di
neraka. Sahabat bertanya, ini jelas bagi pembunuh. Bagaimana dengan korban yang
terbunuh? Nabi menjawab, ia bermaksud membunuh temannya. Nabi memberikan alasan
dengan maksud untuk membunuh," (Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah
wan Nazhair, juz I, halaman 34).
Ketiga, Dampak yang Ditimbulkan
Poin ini juga tidak kalah urgen sebagaimana
dua poin di atas. Sebab, pengalihan isu yang menyajikan konten yang dilegalkan
dan bertujuan baik, belum tentu berdampak positif.
Misalkan pengalihan isu dengan tujuan
komersil, hukumnya boleh, namun bila dampaknya adalah kemudaratan, seperti
menyebabkan pertikaian dan menimbulkan fitnah di masyarakat, maka hukumnya
haram.
Syekh Abu Said Al-Khadimi menegaskan,
termasuk perbuatan dosa adalah membuat kegaduhan dan provokasi di tengah
masyarakat. Dalam Kitab Bariqah Mahmudiyyah, ia mengatakan:
الثامن
والأربعون الفتنة وهي إيقاع الناس في الاضطراب أو الاختلال والاختلاف والمحنة
والبلاء بلا فائدة دينية) وهو حرام لأنه فساد في الأرض وإضرار بالمسلمين وزيغ
وإلحاد في الدين
Artinya, “Dosa yang ke empat puluh delapan
adalah membuat fitnah, yaitu menjatuhkan manusia dalam kekacauan, kerusakan,
pertikaian, cobaan tanpa ada faedah untuk agama. Hukumnya adalah haram karena
hal tersebut merupakan perbuatan merusak di bumi, membuat mudarat bagi kaum
Muslim dan penyimpangan dalam agama,” (Lihat Al Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah,
juz III, halaman 123).
Urgensi mengenai penyebaran berita dengan
mempertimbangkan dampak, disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya
“Haqqul Hurriyyah fil ‘Alam”.
Menurutnya, penyebaran berita oleh media
wajib memenuhi dua syarat. Pertama, menjaga dokumen rahasia negara yang apabila
dibuka dapat menimbulkan kemudaratan yang luar biasa. Kedua, menghindari
konten-konten negatif.
Ia menegaskan:
ولا
يمنع الاسلام هذه الظاهرة بل يستحسنها ما دامت موجهة نحو الخير والنقد البناء
الهادف وعلاج ظواهر الشذوذ والترغيب في بعض الامور الحسنة والتنفير عن القبائح
Artinya, “Islam tidak mencegah fenomena media
ini, bahkan menganggapnya baik, selama mengarah pada kebaikan, kritik yang membangun,
penanganan terhadap beberapa penyimpangan yang tampak, anjuran kebaikan dan
menghindarkan keburukan.”
لكن
بشرط مراعاة امرين اولهما الحفاظ على اسرار الدولة حتى لا تتشرب الى الاعداء وتكون
سببا في الاضرار والاساءة فهذا من اوليات المحافظة على المصلحة العامة التي يرعاها
الاسلام ويحرص على حمايتها وصونها
Artinya, “Namun kebolehan tersebut harus
memenuhi dua syarat. Pertama, menjaga rahasia-rahasia negara sehingga tidak
tersebar kepada musuh-musuh dan menjadi penyebab kemudaratan dan keburukan. Ini
adalah penjagaan pertama atas mashlahat umum yang dijaga dan ditekankan oleh
Islam.”
والثاني
الكف عن ترويج الاشاعات الضارة وقد ندد القرآن الكريم بمروجي الاشاعات السيئة
لانها تضعف بنية الامة او المجتمع وتسيئ للافكار والاعمال والسلوكيات
Artinya, “Kedua, menghindari jualan
pemberitaan yang membahayakan. Al-Qur’an sungguh mencela terhadap orang-orang
yang menjual berita-berita yang negatif, karena melemahkan tekad umat atau
masyarakat, memperburuk pikiran, perbuatan dan perilaku,” (Lihat Syekh Wahbah
Az-Zuhaili, Haqqul Hurriyyah fil 'Alami, halaman 128-129).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
mengalihkan isu hukumnya diperbolehkan apabila memenuhi tiga syarat. Pertama,
kontennya tidak mengandung hal yang diharamkan seperti berita hoaks. Kedua,
tidak bertujuan hal yang diharamkan seperti melindungi kezaliman. Ketiga, tidak
berdampak kemudaratan seperti menimbulkan kekacauan di masyarakat.
Kebebasan pers yang diakui oleh Islam
hendaknya juga memperhatikan batas-batas yang sesuai norma syari’at dan kultur
masyarakat. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar