Senin, 14 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Mengalihkan Isu


Hukum Mengalihkan Isu

Segara garis besar agama tidak melarang penyebaran berita oleh media massa dengan berbagai variannya, baik media cetak atau elektronik. Islam membebaskan manusia untuk berekspresi dan berkreasi menyampaikan berita atau pemikirannya di ranah publik.

Hanya saja, ada batas-batas tertentu yang diatur dalam Islam agar penyebaran berita di media massa tidak memberikan efek negatif untuk kehidupan manusia, termasuk di antaranya aturan dalam pengalihan isu.

Pengalihan isu adalah upaya penyebaran berita secara massif untuk mengalihkan pandangan masyarakat dari isu sebelumnya. Masyarakat digiring oleh media untuk fokus pada isu yang baru agar mereka lupa dengan isu yang berkembang sebelumnya.

Motif pengalihan isu bervariasi. Ada yang bertujuan mempertahankan kekuasaan, meredam fitnah, melindungi personal atau kelompok tertentu atau sekedar kepentingan komersil. Bagaimana sebenarnya hukum mengalihkan isu dalam perspektif hukum Islam?

Mengaji hukum pengalihan isu tidak lepas dari tiga hal. Pertama isi konten yang diberitakan. Kedua dari sisi tujuan. Ketiga dari sisi dampak.

Pertama, Isi Konten
Bila pengalihan isu dilakukan dengan menyebarkan konten yang diharamkan, seperti berita hoaks, mencaci maki, menggunjing dan lain-lain, maka hukumnya haram. Keharaman pengalihan isu dalam titik ini tidak bisa ditawar lagi, sebab secara dzatiyyah dari pemberitaannya sudah mengarah kepada unsur negatif. 

Menulis dan menyebarkan konten yang diharamkan hukumnya sama dengan keharaman mengucapkan konten tersebut. Di samping wajib menjaga ucapan dari hal yang diharamkan, manusia juga wajib menjaga tulisannya.

Syekh Muhammad bin Salim Babashil mengatakan:

(و) منها (كتابة ما يحرم النطق به) قال فى البداية لأن القلم أحد اللسانين فاحفظه عما يجب حفظ اللسان منه أى من غيبة وغيرها فلا يكتب به ما يحرم النطق به من جميع ما مر وغيره

Artinya, “Di antara makshiat tangan adalah menulis perkara yang haram diucapkan. Berkata dalam Kitab Al-Bidayah, karena pena adalah salah satu dari dua lisan, maka jagalah dia dari perkara yang lisan wajib dijaga darinya, berupa menggunjing dan lainnya. Maka tidak diperbolehkan menulis perkara yang haram diucapkan dari beberapa keharaman yang telah disebutkan dan lainnya,” (Lihat Syekh Muhammad bin Salim Babashil, Is’adur Rafiq, juz II, halaman 105).

Kedua, dari Sisi Tujuan
Pengalihan isu pada hakikatnya adalah sebuah perantara untuk mencapai kepentingan tertentu. Pengalihan isu memiliki aneka ragam tujuan yang bermacam-macam. Untuk itu, hukumnya juga disesuaikan dengan tujuannya. Sesuai dengan kaidah fiqih “Lil wasa'il hukmul maqashid, perantara dihukumi sebagaimana tujuannya”.

Bila bertujuan negatif seperti untuk mengudeta pemerintah yang sah, melindungi koruptor dan lain-lain, maka pengalihan isu menjadi haram. Bila tujuannya tidak melanggar syari’at, maka hukumnya boleh, bahkan bisa wajib bila menjadi cara yang paling efektif untuk menangkal kemudaratan, seperti untuk meredam fitnah.

Pengalihan isu dalam khazanah kitab turats lebih dekat dengan istilah “al-makru” (mengelabui). Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami mengutip dari sebagian ulama bahwa al-makru adalah mengalihkan fokus orang lain dari perkara yang dituju dengan siasat tertentu.

Menurut Syekh Ibnu Hajar, al-makru bisa baik jika pengalihan fokusnya diarahkan pada kebaikan. Dan disebut tindakan tercela bila mengarah pada keburukan. Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan:

وبعضهم بأنه صرف الغير عما يقصد بحيلة ، وهذا الأخير : إما محمود بأن يتحيل في أن يصرفه إلى خير وعليه يحمل قوله تعالى { والله خير الماكرين } ، وإما مذموم بأن يتحيل به في أن يصرفه إلى شر ومنه ) ولا يحيق المكر السيئ إلا بأهله

Artinya, "Sebagian ulama mengungkapkan al-makru dengan mengalihkan orang lain dari perkara yang ia tuju dengan sebuah siasat. Pengertian terakhir ini adakalanya terpuji bila siasat yang dilakukan diarahkan kepada kebaikan. Dan diarahkan kepada hal ini firman Allah yang berupa, dan Allah sebaik-baiknya dzat yang membalas tindakan mengelabui. Dan adakalanya tercela bila diarahkan kepada keburukan. Di antaranya adalah firman Allah, dan rencana buruk itu tidak menimpa kecuali kepada orang yang merencanakannya," (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir, juz I, halaman 226).

Lebih gamblang lagi apa yang disebutkan oleh Syekh Ibnul Qayyim, bahwa al-Makr sebagaimana al-hilah (siasat) hukumnya disesuaikan dengan tujuannya. Ada yang haram, kufur, dosa besar, dosa kecil, makruh, mubah dan wajib. Syekh Ibnul Qayyim menegaskan:

وكذلك المكر ينقسم إلى قسمين محمود ومذموم فالحيلة والمكر والخديعة تنقسم إلى محمود ومذموم فالحيل المحرمة منها ما هو كفر ومنها ما هو كبيرة ومنها ما هو صغيرة وغير المحرمة منها ما هو مكروه ومنها ما هو جائز ومنها ما هو مستحب ومنها ما هو واجب

Artinya, "Demikian pula mengelabui, terbagi menjadi dua macam. Terpuji dan tercela. Maka siasat, mengelabui dan mengibuli terbagi menjadi hal yang terpuji dan tercela. Maka hilah yang diharamkan di antaranya ada yang kufur, dosa besar, dan dosa kecil. Yang tidak diharamkan ada kalanya makruh, mubah, sunah dan wajib," (Lihat Syekh Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, I'lamul Muqi'in, juz III, halaman 279).

Bagaimana bila tujuannya haram, namun tidak berhasil misinya? Apakah masih terkena hukum haram? Dalam hal ini ulama muhaqqiqin menegaskan bahwa melakukan sebuah perbuatan dengan tujuan yang diharamkan sudah terhitung dosa, meski misinya tidak berhasil.

Salah satu yang menjadi argumen dalam hal ini adalah hadits Nabi yang menjelaskan dua orang yang saling berkelahi semuanya masuk neraka, baik yang membunuh dan yang terbunuh. Dosanya orang yang terbunuh adalah karena ia memiliki tujuan buruk membunuh saudaranya, meski pada akhirnya misinya tidak berhasil.

Syekh Jalaluddin As-Suyuthi menegaskan:

ثم قال في الحلبيات وأما العزم فالمحققون على أنه يؤاخذ به وخالف بعضهم وقال إنه من الهم المرفوع وربما تمسك بقول أهل اللغة هم بالشيء عزم عليه والتمسك بهذا غير سديد لأن اللغوي لا يتنزل إلى هذه الدقائق واحتج الأولون بحديث إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار قالوا يا رسول الله هذا القاتل فما بال المقتول قال كان حريصا على قتل صاحبه فعلل بالحرص 

Artinya, "Adapun tujuan, maka ulama muhaqqiqin berpendapat bahwa hal tersebut dikenakan tuntutan. Sebagian ulama berbeda pendapat, ia berpendapat bahwa hal tersebut termasuk perencanaan yang tidak dikenakan tuntutan. Ulama pertama berargumen dengan hadits, apabila dua orang Muslim bertemu dengan dua pedangnya, maka pembunuh dan yang dibunuh di neraka. Sahabat bertanya, ini jelas bagi pembunuh. Bagaimana dengan korban yang terbunuh? Nabi menjawab, ia bermaksud membunuh temannya. Nabi memberikan alasan dengan maksud untuk membunuh," (Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazhair, juz I, halaman 34).

Ketiga, Dampak yang Ditimbulkan
Poin ini juga tidak kalah urgen sebagaimana dua poin di atas. Sebab, pengalihan isu yang menyajikan konten yang dilegalkan dan bertujuan baik, belum tentu berdampak positif.

Misalkan pengalihan isu dengan tujuan komersil, hukumnya boleh, namun bila dampaknya adalah kemudaratan, seperti menyebabkan pertikaian dan menimbulkan fitnah di masyarakat, maka hukumnya haram.

Syekh Abu Said Al-Khadimi menegaskan, termasuk perbuatan dosa adalah membuat kegaduhan dan provokasi di tengah masyarakat. Dalam Kitab Bariqah Mahmudiyyah, ia mengatakan:

الثامن والأربعون الفتنة وهي إيقاع الناس في الاضطراب أو الاختلال والاختلاف والمحنة والبلاء بلا فائدة دينية) وهو حرام لأنه فساد في الأرض وإضرار بالمسلمين وزيغ وإلحاد في الدين

Artinya, “Dosa yang ke empat puluh delapan adalah membuat fitnah, yaitu menjatuhkan manusia dalam kekacauan, kerusakan, pertikaian, cobaan tanpa ada faedah untuk agama. Hukumnya adalah haram karena hal tersebut merupakan perbuatan merusak di bumi, membuat mudarat bagi kaum Muslim dan penyimpangan dalam agama,” (Lihat Al Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah, juz III, halaman 123).

Urgensi mengenai penyebaran berita dengan mempertimbangkan dampak, disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya “Haqqul Hurriyyah fil ‘Alam”.

Menurutnya, penyebaran berita oleh media wajib memenuhi dua syarat. Pertama, menjaga dokumen rahasia negara yang apabila dibuka dapat menimbulkan kemudaratan yang luar biasa. Kedua, menghindari konten-konten negatif.

Ia menegaskan:

ولا يمنع الاسلام هذه الظاهرة بل يستحسنها ما دامت موجهة نحو الخير والنقد البناء الهادف وعلاج ظواهر الشذوذ والترغيب في بعض الامور الحسنة والتنفير عن القبائح

Artinya, “Islam tidak mencegah fenomena media ini, bahkan menganggapnya baik, selama mengarah pada kebaikan, kritik yang membangun, penanganan terhadap beberapa penyimpangan yang tampak, anjuran kebaikan dan menghindarkan keburukan.”

لكن بشرط مراعاة امرين اولهما الحفاظ على اسرار الدولة حتى لا تتشرب الى الاعداء وتكون سببا في الاضرار والاساءة فهذا من اوليات المحافظة على المصلحة العامة التي يرعاها الاسلام ويحرص على حمايتها وصونها

Artinya, “Namun kebolehan tersebut harus memenuhi dua syarat. Pertama, menjaga rahasia-rahasia negara sehingga tidak tersebar kepada musuh-musuh dan menjadi penyebab kemudaratan dan keburukan. Ini adalah penjagaan pertama atas mashlahat umum yang dijaga dan ditekankan oleh Islam.”

والثاني الكف عن ترويج الاشاعات الضارة وقد ندد القرآن الكريم بمروجي الاشاعات السيئة لانها تضعف بنية الامة او المجتمع وتسيئ للافكار والاعمال والسلوكيات

Artinya, “Kedua, menghindari jualan pemberitaan yang membahayakan. Al-Qur’an sungguh mencela terhadap orang-orang yang menjual berita-berita yang negatif, karena melemahkan tekad umat atau masyarakat, memperburuk pikiran, perbuatan dan perilaku,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Haqqul Hurriyyah fil 'Alami, halaman 128-129).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa mengalihkan isu hukumnya diperbolehkan apabila memenuhi tiga syarat. Pertama, kontennya tidak mengandung hal yang diharamkan seperti berita hoaks. Kedua, tidak bertujuan hal yang diharamkan seperti melindungi kezaliman. Ketiga, tidak berdampak kemudaratan seperti menimbulkan kekacauan di masyarakat.

Kebebasan pers yang diakui oleh Islam hendaknya juga memperhatikan batas-batas yang sesuai norma syari’at dan kultur masyarakat. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar