Bolehkah Meminjam Uang Organisasi
untuk Kepentingan Pribadi?
Pengurus sebuah organisasi tentu pernah
mengalami berbagai dinamika organisasi yang diembannya, salah satunya dalam
persoalan keuangan. Orang yang berada dalam posisi bendahara dituntut agar
cemerlang dalam hal mengelola uang serta mencatat segala pemasukan dan
pengeluaran organisasi secara rinci, sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban.
Namun seringkali, pengurus organisasi tidak
terlepas dengan berbagai kebutuhan pribadi yang bersifat mendesak, sedangkan
kondisi keuangannya tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Hingga akhirnya ketika
ia melihat uang organisasi yang sedang tidak digunakan, ia berinisiatif
menggunakan uang organisasi untuk kepentingan pribadinya dengan niat nanti
ketika uang tersebut digunakan oleh organisasi, ia akan segera membayar
utangnya pada organisasi. Dalam permasalahan demikian muncul sebuah pertanyaan,
dapatkah dibenarkan tindakan yang ia lakukan tersebut secara syara’?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut baiknya
dipahami terlebih dahulu bahwa uang organisasi merupakan uang yang hanya boleh
digunakan untuk segala kepentingan yang berhubungan dengan kemaslahatan
organisasi. Sehingga, tidak diperkenankan bagi pengurus organisasi untuk
menggunakan uang organisasi untuk kepentingan lain yang tidak ada hubungannya
dengan kemaslahatan organisasi.
Ketentuan demikian berdasarkan hadits:
الْمُسْلِمُونَ
عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً
“Orang Muslim wajib menunaikan persyaratan
yang telah disepakati bersama kecuali persyaratan yang menghalalkan perkara
yang haram atau mengharamkan perkara yang halal.” (HR. Baihaqi)
Tindakan yang masuk kategori menggunakan uang
organisasi untuk kepentingan di luar kemaslahatan organisasi adalah menggunakan
uang organisasi untuk kepentingan pribadi dengan bentuk mengutang. Sebab,
tindakan demikian keluar dari mashraf (alokasi penggunaan) yang semestinya.
Namun berutang uang organisasi menjadi boleh
ketika keperluan pengurus organisasi terhadap pemenuhan kebutuhannya berada
dalam keadaan mendesak (dlarurat), misalnya seperti menggunakan uang organisasi
untuk menyelamatkan nyawa orang lain, sedangkan ia tidak dapat menemukan
pinjaman uang lain selain uang milik organisasi.
Selain itu, meminjam uang organisasi menjadi
boleh ketika yang mengelola uang adalah dari pihak hakim pemerintah yang memang
memiliki kekuasaan khusus dalam pengelolaan uang organisasi ini, sebab ruang
kekuasaan hakim dianggap sangatlah luas dibanding dengan pengurus organisasi
yang bersifat independen.
Penjelasan demikian seperti yang terdapat
dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dalam menerangkan persoalan
harta seorang muwali (orang yang hartanya dikelola oleh orang lain):
أما
الشافعية فقد فصلوا في المسألة وقالوا: لا يجوز إقراض الولي مال موليه من غير
ضرورة إذا لم يكن الحاكم، أما الحاكم فيجوز له عندهم إقراضه من غير ضرورة - خلافا
للسبكي - بشرط يسار المقترض وأمانته وعدم الشبهة في ماله إن سلم منها مال المولى
عليه، والإشهاد عليه، ويأخذ رهنا إن رأى ذلك
“Mazhab Syafi’iyah dalam permasalahan ini
(meminjam harta muwali) memberikan perincian: tidak boleh bagi wali untuk
meminjam harta muwali selain dalam keadaan darurat, bila si peminjam bukan
seorang hakim. Sedangkan bila ia hakim maka boleh baginya untuk berutang harta
muwali (kepada orang lain) meskipun tidak dalam keadaan darurat (meskipun
terjadi perbedaan pendapat menurut Imam As-Subki) dengan syarat: orang berutang
itu kaya dan amanah, tak ada syubhat dalam praktik peminjaman ini, hakim
menyertakan saksi dan boleh mengambil jaminan darinya jika hakim memandang
bahwa hal tersebut adalah yang maslahat.” (Kementrian Wakaf dan Urusan
Keislaman Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz. 33, hal. 116)
Bagi orang yang sudah terbiasa melakukan
penggunaan uang organisasi untuk keperluan pribadi, seperti dengan cara
mengutang ini, masih terdapat solusi agar tindakannya dapat dibenarkan. Yaitu
dengan cara meminta izin kepada hakim atau kepada donatur yang memberikan uang
kepada organisasi, agar dirinya diperkenankan meminjam uang organisasi untuk
keperluan pribadinya. Ketentuan ini berdasarkan referensi dalam Bughyat
al-Mustarsyidin:
ـ
(مسئلة ش) ليس لناظر الوقف وولى المحجور الاقتراض له لنحو نفقة وعمارة كإقراض ماله
الا باذن الواقف او الحاكم
“Nadzir (pengelola) barang wakaf dan wali
dari orang yang dicegah mengelola harta (seperti karena anak-anak atau gila,
red) dilarang meminjam harta yang dikelolanya seperti untuk kepentingan memberi
nafkah dan membangun. Seperti halnya tidak diperkenankan meminjam uang tersebut
(pada orang lain) kecuali telah diizinkan oleh orang yang mewakafkan barang
atau mendapat izin dari hakim.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawy,
Bughyat al-Mustarsyidin, hal. 175)
Berutang yang tidak diperbolehkan dalam
permasalahan di atas tidak hanya terbatas pada bentuk berutang untuk
kepentingan pribadinya saja, tapi juga mencakup segala bentuk berutang dari
uang organisasi yang tidak ada kaitannya dengan kemaslahatan organisasi.
Termasuk memberi utang orang lain untuk kepentingan kebutuhan mereka sendiri,
maka hal ini juga tidak diperbolehkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
meminjam uang organisasi untuk diri sendiri atau orang lain adalah hal yang
tidak diperbolehkan secara syara’, sebab tindakan tersebut tidak berkaitan dengan
alokasi uang organisasi yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan organisasi
saja. Kecuali dalam keadaan mendesak (dlarurat) atau pengurus sudah mendapat
izin dari hakim atau donatur yang memberikan uang kepada organisasinya. Wallahu
a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar