Memahami Tujuan Dasar
Syariat (1): Maslahat Primer
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an bahwa:
“Telah tampak kerusakan baik di darat dan di lautan adalah disebabkan oleh ulah
manusia.” Ayat ini secara tidak langsung mengamanatkan agar menjauhi segala hal
yang bisa mengundang mafsadah atau kerusakan. Dalam perkembangannya,
upaya menarik kemaslahatan dan menjauhi kerusakan tersebut dirumuskan oleh para
fuqaha dalam konsep istishlah. Kalangan Syafi’iyah dalam perkembangannya
menerima konsep maslahat ini setelah dua abad berselang sepeninggal Sang
Imam.
Ada tiga wilayah bahasan maslahah berdasarkan
stratifikasinya. Stratifikasi tersebut disusun berdasarkan tingkat keutamaan
dan bersifat krusial yang hendak dicapai menurut timbangan syara’nya.
Berdasarkan stratifikasinya, tujuan pokok syariat yang hendak dicapai ada tiga
yaitu : tujuan primer, tujuan sekunder dan tujuan tersier. Dari ketiganya,
selanjutnya para ulama melabelinya secara tertib dan berurutan sebagai mashlahah
dlarûriyah (primer), mashlahah hâjiyah (sekunder) dan mashlahah
tahsîniyah (tersier) (Al-Syathibi, al-Muwâfaqât, Madinah: Daru Ibnu
Qayyim, 2003: 2/14).
Maslahat primer (mashlahah dlaruriyah)
dari syariat adalah berkonsentrasi pada upaya mewujudkan keselamatan dunia dan
akhirat bagi seorang individu mukallaf.
فأما
الضرورية فمعناها أنها لا بد منها في قيام مصالح الدين والدنيا بحيث إذا فقدت لم
تجر مصالح الدنيا على استقامة بل على فساد وتهارج وفوت حياة ، وفي الأخرى فوت
النجاة والنعيم ، والرجوع بالخسران المبين
Artinya: “Dlaruriyah (primer) bermakna
keharusan mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia, sekira apabila ketiadaan
hal tersebut dapat berakibat tidak dapat diraihnya kemaslahatan dunia, bahkan
dapat menimbulkan kerusakan, kesulitan atau bahkan hilangnya nyawa, dan di sisi
lain dapat menimbulkan hilangnya keselamatan dan ketentraman, sehingga
berakibat pada kerugian yang nyata.” (Al-Syathibi, al-Muwâfaqât,
Madinah: Daru Ibnu Qayyim, 2003: 2/14)
Selamat dunia dan akhirat merupakan inti
daripada ajaran agama (al-dîn). Sebagaimana hal ini yang senantiasa
dilantunkan dalam untaian bait doa kita sehari-hari yaitu:
ربنا
آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
Artinya: “Wahai Tuhan kami, berikanlah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Serta jaga kami dari adzab
neraka!”
Kemaslahatan akhirat berkaitan erat dengan
beban taklif yang diterima oleh seorang individu muslim, antara lain ia harus
memperhatikan kewajiban dasarnya sebagai hamba Allah SWT yang bertugas
mengabdi. Pengabdian dasar seorang hamba adalah dirupakan dalam bentuk praktik
ubûdiyah sebagaimana tergambar dalam Rukun Islam dan Rukun Iman. Apapun
aktifitas dan profesi seorang individu, tidak boleh meninggalkan kedua aspek
rukun utama tersebut. Itulah sebabnya ditetapkan dan diatur sedemikian rupa
prinsip dan tata cara ibadah, seperti sholat, zakat, puasa dan haji.
Dalam kondisi sedang syughul
(kesibukan), seorang individu harus tetap memperhatikan shalatnya dan boleh
mengambil rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah SWT. Misalnya,
kewajiban sholat Jumat yang kebetulan bersamaan dengan hujan deras, maka boleh
bagi individu yang bersangkutan untuk meninggalkannya apabila jarak antara
tempat tinggalnya dan masjid berada jauh dan hujannya lebat sementara fasilitas
lain tidak ada. Namun, ia wajib melaksanakan sholat dhuhur dengan ketetapan,
sholat tersebut sedikit ditunda waktunya perkiraan sholat jum’at sudah selesai.
(Jamaluddin Abdullah bin Abdul Rahman Bafadhal al-Sa’di al-Hadhrami, Syarah
al-Muqaddimah al-Hadlrâmiyah al-Musammâ Busyra al-Karîm bi Syarhi Masâili
al-Ta’lîm, Beirut: Daru al-Kutub Al-Islâmiyah, tt.: 1/331).
Demikian juga dalam sholat jamaah yang biasa
dilakukan secara berjamaah di masjid, misalnya maghrib, yang kebetulan saat itu
hujan berlangsung deras sehingga menghalanginya untuk datang ke masjid, maka ia
boleh menjamak sholat tersebut dengan sholat sesudahnya yaitu sholat Isya’.
Kebolehan menjamak sholat ini bahkan juga berlaku dalam rangka ada hajat yang
tidak biasa. (Sayyid Alwi ibnu Sayyid Ahmad al-Segaf, Hasyiyah Fathu al-Muin
al Musammâtu Tarsyîkhu al-Mustafidîn, Surabaya: Al-Haramain, 2008: 134-135)
Ketetapan kebolehan ini berlaku untuk mereka
yang terbiasa melakukan shalat berjamaah. Adapun bagi yang tidak terbiasa
berjamaah, maka tidak berlaku hukum kebolehan tersebut terkecuali karena adanya
hajat yang jarang-jarang terjadi, maka masih diperbolehkan. Perbedaan hukum
antara pelaku yang sudah terbiasa dan yang tidak terbiasa kemudian diatur dalam
‘urf.
Karena seorang mukallaf tidak hanya dibatasi
oleh gerak dalam urusan akhirat saja, melainkan juga harus bergerak dalam
urusan dunia, maka sebagai bentuk upaya mewujudkan kemaslahatan yang sifatnya
universal, seorang individu mukallaf harus memperhatikan empat unsur lainnya,
yaitu: penjagaan terhadap jiwa, akal, keturunan dan harta. (Al-Syathibi, al-Muwâfaqât,
Madinah: Daru Ibnu Qayyim, 2003: 2/14)
Pertama, penjagaan terhadap jiwa. Hal ini
sebagaimana digambarkan dalam ayat bahwa seorang muslim tidak boleh membunuh
jiwa yang lain tanpa hak. Demikian juga, ia juga tidak boleh membunuh anak
disebabkan karena takut miskin. Namun, apabila ada hak yang menyebabkan dia
wajib berperang, maka dia harus melaksanakannya tanpa boleh membantah. Upaya
pemberian hak diatur secara tertib oleh syariat, yaitu harus berdasarkan
keputusan qadli (hakim) atau oleh kepala pemerintahan.
Kedua, penjagaan terhadap akal. Dalil utama penjagaan
terhadap akal ini sebagaimana dapat ditemui pada beberapa tahapan terhadap
pengharaman khamr. Tujuan utama dari diharamkannya khamr adalah sebab ia bisa
menghilangkan akal dan kewarasan. Untuk itulah kemudian diterapkan ta’zir (sanksi)
apabila ditemui orang mukallaf yang melanggar ketentuan tersebut. Seperti
misalnya, kata thalaq (cerai) yang diucapkan oleh “seorang individu yang
terbiasa mabuk,” maka lafadh thalaqnya langsung jadi, bahkan jual belinya sah.
Adapun untuk individu yang tidak terbiasa mabuk, maka masih diberikan batas
toleransi bahwa kata-katanya tidak bisa digunakan sebagai acuan sahnya akad
yang dilakukannya saat proses hilangnya akal. Dasar illat yang digunakan untuk
membedakan keduanya ini pada dasarnya adalah sebagai bentuk pemberian sangsi
hukum semata, agar tidak terulangi perbuatan yang sama.
Terkait dengan penjagaan akal, juga bisa kita
temui dalam teks fiqih Syafi’iyah, bahwasanya individu mukallaf yang tidak
terbiasa mengucapkan lafadh thalaq, dalam kondisi marah besar, ia dikategorikan
sebagai bagian dari orang yang kehilangan akal sementara. Untuk itu, akad yang
dilakukan juga dipandang tidak sah, baik lafadh cerainya maupun akad transaksi
jual belinya. Semua ini ditujukan untuk penjagaan kualitas akal sebagaimana ini
merupakan syarat utama dalam semua bentuk transaksi, termasuk transaksi jual
beli. Bagaimana individu mukrah (individu yang dipaksa) akadnya juga
dipandang tidak sah, pada dasarnya juga karena memperhatikan konsep penjagaan
akal.
Ketiga, penjagaan keturunan. Dalam hal
penjagaan keturunan ini, syariat Islam telah mengatur dan menetapkan syariat
pernikahan. Semua individu yang lahir akibat relasi pernikahan adalah berhak
memiliki ikatan mewaris, perwalian, pengasuhan dan pendidikan dari kedua orang
tuanya. Untuk individu yang lahir di luar nikah, ikhtilaf (perbedaan
pendapat) para fuqaha menentukan bahwasanya hanya nasabnya saja yang
dijaga, sementara hak mawaris, perwalian, pengasuhan dan pendidikan tidak masuk
unsur di dalamnya. Itulah sebabnya mazhab Hanafi tetap menghubungkan nasab anak
di luar nikah kepada bapak biologisnya.
Pendapat Imam Hanafi ini berbeda dengan
mazhab Syafi’i yang menekankan nasab Sang Anak kepada shahibu al-firasy,
yaitu suami dari ibu yang telah melakukan hubungan di luar nikah, dengan
catatan selagi batas minimal usia kandungan hingga ia lahir tidak kurang dari 6
bulan. Tujuan utama dari mazhab Syafi’i ini pada dasarnya adalah dimaksudkan
untuk pemeliharaan dan penjagaan hak perwalian daripada anak. (Ibn Hajar
al-'Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar
al-Ma;rifah. 1379 H, Jil.12, h.35)
Namun, Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada
upaya menghindari terjadinya pernikahan antara anak hasil zina dengan anak
bukan hasil zina yang keduanya berasal dari jalur nasab yang sama. Imam Abu
Hanifah memberi penekanan bahwa kebolehan menghubungkan nasab anak hasil zina
dengan bapak biologisnya adalah apabila disertai dengan adanya pengakuan dari
pelaku perzinaan. Sementara mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan akan hal ini,
akan tetapi hanya menjaga batas-batas aqallu al-hamli saja (batas minimal usia
kandungan). (Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari,
Beirut: Dar al-Ma;rifah. 1379 H, Jil.12, h.35)
Keempat adalah penjagaan terhadap harta.
Islam mengatur bahwasanya haram mengambil dan memakan harta orang lain dengan
jalan bathil dan dhalim (aniaya). Untuk itulah, Islam menetapkan
aturan jual beli dan menetapkan larangan melakukan riba, pencurian, perampasan,
perampokan, ghashab dan lain sebagainya. Islam juga menetapkan tata cara
perpindahan kepemilikan suatu barang yang tidak melalui mekanisme jual beli,
seperti wakaf, hibah, shadaqah, zakat, hiwalah, utang-piutang dan lain
sebagainya. Semua itu ditujukan agar semua perkara yang masuk ke dalam tubuh
individu adalah dijamin kehalalannya. Itu pula sebabnya ada sebuah sabda Nabi
SAW bahwasanya:
كل
لحم نبت من سحت فالنار أولى بها
Artinya: “Semua daging yang tumbuh dari
perkara haram (suhtin), maka nerakalah yang lebih layak baginya.” HR.
Al-Thabarânî.
Dengan menerapkan penjagaan prinsip-prinsip
syariah terhadap kelima hal primer di atas, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal
dan harta, maka seorang individu muslim bisa disebut sebagai individu yang
beruntung, sebagaimana hal ini terdapat dalam QS. Al-Mu’minun: 1-5, Allah SWT
berfirman:
قَدْ
أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُون الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ وَالَّذِينَ
هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
Artinya: “Sungguh kemenangan bagi orang-orang
yang beriman, yaitu orang-orang yang menjalankan shalatnya dengan khusyu’, dan
orang-orang yang abai dari perbuatan sia-sia, dan orang-orang yang melaksanakan
zakatnya, serta orang-orang yang menjaga kemaluannya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-5)
Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad
Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat
ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja
NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU
Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar