Apakah Fondasi Ekonomi
Indonesia itu Islami?
Beberapa waktu belakangan ini, beredar
tulisan bahwa Indonesia, meski dihuni oleh mayoritas Muslim, namun fondasi
ekonomi Indonesia tidak menempatkannya sebagai ekonomi yang berbasis Islami.
Persoalan yang kemudian diajukan oleh kalangan intelektual Muslim Indonesia
kemudian adalah apa yang menjadi tolok ukur sehingga ekonomi di Indonesia masih
dikategorikan sebagai ekonomi yang tidak berbasis Islami? Apakah karena faktor
keberadaan bank konvensional yang sedang menjamur di Indonesia, atau karena
faktor lain? Padahal, bank dan ekonomi syariah merupakan yang terbanyak ada di
Indonesia dan bahkan saat ini menjadi sebuah ekonomi alternatif di negara
ini.
Dibanding dengan negara seperti Malaysia,
Brunei Dârussalam, atau bahkan Arab Saudi, tren perkembangan ekonomi syariah di
Indonesia menunjukkan tren positif yang maju. Di tengah perbankan nasional mengalami
kelesuan, justru bank syariah dan ekonomi syariah merupakan bank yang paling
tahan dari efek kelesuan tersebut dan paling resisten terhadap krisis.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis,
ternyata asumsi dan pernyataan itu lahir dari sebuah penelitian. Di dalam
penelitian itu, ada sebuah indeks yang diperkenalkan guna menilai dan
menentukan apakah fondasi ekonomi sebuah bangsa termasuk Islami atau tidak.
Indeks tersebut disebut Index on Islamic Economics (Indeks Ekonomi
Keislaman). Indeks ini muncul setelah didahului oleh sebuah indeks yang
mengukur derajat keislaman sebuah negara oleh Anto, Hasan, Omar, dkk dan Rehman
serta Askari.
Berangkat dari penelitian sebelumnya ini,
selanjutnya Rehman dan Askari mengembangkan suatu model indeks yang disebutnya
sebagai Economic Islamicity Index yang berperan mengukur tingkat
keislaman ekonomi 208 negara di dunia dan masuk di dalamnya negara Muslim dan
non-Muslim. Uniknya dari hasil temuan dengan menggunakan indeks keislaman
ekonomi ini, justru mendudukkan Irlandia menempati posisi yang pertama. Disusul
kemudian oleh Denmark, dan Amerika Serikat menempati urutan ke-2 dan
ke-5.
Sementara itu Malaysia menempati peringkat
ke-33 dan merupakan negara yang memiliki indeks keislaman ekonomi yang paling
tinggi di antara negara Muslim lainnya. Menariknya lagi adalah justru Malaysia
ini berada di bawah Israel. Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim
justru menempati urutan ke-104. Kesimpulan akhir penelitian dengan menggunakan
Indeks Keislaman Ekonomi ini menyebutkan bahwa negara-negara dengan penduduk
mayoritas Muslim, ternyata tidak mengadopsi kebijakan ekonomi dan keuangan yang
sesuai dengan ajaran Islam.
Sampai di sini muncul beberapa persoalan
terkait dengan hasil penelitian tersebut, antara lain:
Pertama, apakah bukan berarti ada masalah
terkait dengan instrumen penelitian dengan manfaat tolok ukur Indeks Keislaman
Ekonomi tersebut? Faktanya indeks tersebut justru menempatkan negara-negara
non-Muslim sebagai negara yang ekonominya justru paling Islami.
Kedua, bisakah keislaman ekonomi dinilai
berdasarkan tolok ukur sesuatu yang tampak saja? Padahal di dalam Islam, akad
dan niat sebagai basis utama sah tidaknya suatu transaksi muamalah dalam Islam
adalah sesuatu yang kadang bersifat tidak tampak.
Ketiga, kalaupun tampak dan terukur merupakan
barometer utama dari penggunaan indeks pengukuran keislaman ekonomi ini, belum
tentu juga data yang tersedia dapat memberikan gambaran yang mewakili keislaman
suatu bangunan perekonomian. Dengan demikian, perlu adanya metode ukur
tersendiri untuk mengukur indeks keislaman perekonomian suatu bangsa.
Berikut ini adalah daftar bibliografi yang
digunakan untuk mengukur indeks ekonomi keislaman sebuah negara yang diperkenal
oleh penelitian tersebut:
1. M B Hendrie Anto. “Introducing an Islamic
Human Development Index (I-HDI) to Measure Development in OIC Countries.” Islamic
Economic Studies 19.2 (2011): 69–95.
2. H Hasan and S Syed. Towards a Maqasid
Al-Shariah Based Development Index. Jedah: N.P., 2014.
3. W. A. Wan Omar, Fauzi Hussin, and Ali G. H
Asan. “The Tren Analysis of Islamization in Malaysia Using Islamization Index
as Indicato.” Asian Economic and Financial Review 4.10 (2014):
1298–1313.
4. Scheherazade S. Rehman and Hossein Askari.
“How Islamic Are Islamic Countries?” Global Economy Journal 10.2 (2010):
1–37.
Pada hakikatnya, aktivitas perekonomian yang
lahir dari aktivitas penduduk Muslim suatu negara adalah merupakan wujud
ekonomi suatu negara adalah Islami atau tidak. Prinsip-prinsip agama yang
diemban dan mewujud dalam gaya hidup masyarakat Muslim, serta perilaku konsumsi
serta produksi dalam praktik bisnis (muamalah) masyarakat Muslim, adalah
yang paling menentukan sebagai fondasi keislaman ekonomi. Hal ini yang tidak
ditemui dalam asal-usul lahirnya indeks keislaman ekonomi tersebut.
Dalam indeks keislaman ekonomi, berlaku bahwa
kebijakan ekonomi suatu negara dapat mempengaruhi masyarakat untuk lebih rajin
hadir di masjid, pertemuan-pertemuan keagamaan, dan lain sebagainya. Seolah
agama di sini berperan menduduki variabel terikat. Harusnya, agama adalah menduduki
variabel bebas karena menyangkut kesadaran individu dalam menjalankan agamanya.
Semakin tinggi keberagamaan seorang individu, maka pengaruh terhadap praktik
ekonomi harusnya menjadi semakin kentara. Praktik ekonomi misalnya adalah
berkaitan dengan kinerja ekonomi, produktivitas, etika dan semangat kerjanya.
Misalnya, orang yang paham bab riba, maka akan menjauhi segala aktivitas yang
berpengaruh berhubungan dengan masalah riba. Demikian juga, orang yang mengerti
prinsip jual beli, maka seharusnya derajat pengukuran yang dipergunakan adalah
seberapa tinggikah dia menjauhi praktik jual beli yang tidak sah. Bukan justru
indeks pengukurannya lewat kehadiran di masjid. Ini ibaratnya seperti pepatah
anak muda jaman sekarang, yaitu “Jaka Sembung naik ojek. Enggak nyambung,
Jek.”
Salah satu pemikir Barat, misalnya Iannonce
(1998) dengan judul penelitiannya Introduction to The Economic of Religion,
yang dipublikasikan oleh Journal of Economic Literature, menyebutkan
bahwa seharusnya keberpengaruhan agama terhadap ekonomi itu diukur melalui 3
pembahasan, yaitu:
1. Penelitian yang menginterpretasikan
religiusitas individu dengan pendekatan ekonomi yang berbasis “perilaku
ekonomi”. Maksud dari perilaku ekonomi ini adalah bagaimana ia bermuamalah,
curang atau tidak dalam muamalah. Itulah yang diukur.
2. Penelitian tentang dampak agama dalam
ekonomi. Semakin banyak masyarakatnya yang berpenduduk Muslim, maka semakin
Islamilah ekonomi yang dijalani penduduknya. Sebaliknya jika penduduknya
beragama selain Muslim, maka akan mengikuti pola kecenderungan itu.
3. Penelitian terhadap prinsip teologi dan
ajaran tertulis soal ekonomi di dalamnya, misalnya penelitian terhadap
ayat-ayat ahkam, dan sejenisnya. Tujuan dari penelitian ini adalah berupaya
mendorong dan mengkritisi kebijakan ekonomi yang dipandang tidak selaras dengan
maksud dhahir nash (bunyi eksplisit teks).
Inilah seharusnya yang menjadi fokus
mengetahui tolok ukur indeks ekonomi keislaman. Meskipun Iannaccone bukanlah
sosok pemikir Muslim, namun metode pemikirannya menunjukkan lebih cocok dan
lebih bisa diterima dibanding dengan indeks ekonomi keislaman yang dibangun
oleh Rehman dan Askari di atas yang justru menempatkan Irlandia, Amerika dan
Israel pada rating yang paling tinggi dibanding negara Muslim lainnya. Padahal
jelas bahwa ekonomi ribawi adalah dari mereka. So, masih percayakah anda
bahwa fondasi ekonomi Indonesia tidak Islami?
Wallâhu a’lam bi al-shawab.[]
Muhammad Syamsudin, Penulis Pengasuh
PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan
Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil
Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar