Nasihat Nabi Isa agar Tak Menjadi Orang yang
Sok Suci
Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal
mencatat satu riwayat yang berisi wasiat atau nasihat yang diberikan Nabi Isa
kepada para pengikutnya. Berikut riwayatnya:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا هَاشِمٌ، أَخْبَرَنَا صَالِحٌ، عَنْ
أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ، عَنْ أَبِي الْجَلْدِ أَنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ
عَلَيْهِ السَّلَامُ أَوْصَى الْحَوَارِيِّينَ: لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ
بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَتَقْسُوَ قُلُوبُكُمْ، وَإِنَّ
الْقَاسِيَ قَلْبُهُ بَعِيدٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُ،
وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى ذُنُوبِ النَّاسِ كَأَنَّكُمْ أَرْبَابٌ وَلَكِنَّكُمُ
انْظُرُوا فِي ذُنُوبِكُمْ كَأَنَّكُمْ عَبِيدٌ، وَالنَّاسُ رَجُلَانِ: مُعَافًى
وَمُبْتَلًى، فَارْحَمُوا أَهْلَ الْبَلَاءِ فِي بَلِيَّتِهِمْ، وَاحْمَدُوا
اللَّهَ عَلَى الْعَافِيَةِ
Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Hasyim
bercerita, Shaleh mengabarkan padaku, dari Abu ‘Imran al-Jauniy, dari Abu
al-Jald, bahwa sesungguhnya Isa bin Maryam ‘alaihissalam berwasiat kepada
hawari-hawarinya (sahabat/murid):
“Janganlah kalian banyak bicara tanpa
mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, karena hati kalian akan membatu. Sesungguhnya
orang yang membatu hatinya jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dia tidak
mengetahuinya. Janganlah kalian memandang dosa-dosa manusia seakan-akan kalian
adalah tuhan. Sebaliknya, kalian harus memandang dosa-dosa kalian seakan-akan
kalian adalah budak. Manusia itu ada dua: (1) orang yang diberi kesehatan, dan
(2) orang yang diuji (dengan musibah). Maka, berkasih-sayanglah pada
orang-orang yang diuji karena musibah (yang menimpa) mereka, dan pujilah Allah
atas (anugerah) sehat (yang diberikan-Nya).” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd,
Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 73)
****
Nasihat Sayyidina Isa ‘alaihissalam di atas
adalah penyejuk. Ia tak menyukai kekerasan. Ucapannya adalah penanda, bahwa
perkataan tanpa hati yang tertaut dengan Allah mudah tergelincir dan
menggelincirkan, apalagi jika perkataan itu berjumlah-jumlah. Karena itu, ia
menempatkan dzikir (ingat) kepada Allah sebagai pembatasnya. Ia takut
perlahan-lahan hati manusia akan mengeras. Ketika hati manusia sudah mengeras,
ia akan jauh dari Allah, tapi mereka tak merasakannya.
Sayyidina Isa berkata: “Sesungguhnya orang
yang membatu hatinya jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla tapi dia tidak
mengetahuinya.” Kata, “lâ ya’lamu—tidak mengetahuinya,” ini agak berbahaya.
Karena mereka tidak merasa jauh dari Allah, bahkan terkadang merasa dekat
dengan-Nya. Akibatnya, mereka mudah menilai orang lain, apalagi jika yang
dinilainya adalah seorang pendosa, mereka akan berlagak selaiknya tuhan. Ini
yang ditakuti Sayyidina Isa ‘alaihissalam dari murid-muridnya, para hawari itu.
Sebab, mereka adalah orang yang mempelajari ilmu kebenaran. Ilmu yang bisa
membedakan kebaikan dan keburukan, sehingga akan sangat terang bagi mereka,
mana perbuatan dosa dan amal; mana pendosa dan ahli ibadah.
Karena itu, Sayyidina Isa menambahkan
nasihatnya: “Janganlah kalian memandang dosa-dosa manusia seakan-akan kalian
adalah tuhan. Sebaliknya, kalian harus memandang dosa-dosa kalian seakan-akan
kalian adalah budak.” Nasihat ini digunakan sebagai penghidup kesadaran mereka.
Sayyidina Isa ingin menjauhkan murid-muridnya dari perasaan unggul dalam amal,
yang bisa menyebabkan kebencian terhadap pelaku dosa, bukan terhadap dosanya.
Ketika kebencian telah menggunung, kasih sayang akan tenggelam ke dasarnya.
Untuk menghindari itu, Sayyidina Isa menekankan pentingnya melihat ke dalam
diri, melakukan perjalanan ruhani, menelusuri lekuk-lekuk jiwa, dan meraba
terbolak-baliknya hati. Dengan cara menganggap dosa-dosa mereka sendiri laiknya
budak, yang tidak memiliki kuasa apa-apa dan dikuasai, hingga mereka merasa
rendah sekaligus merasa berhak dikasihani Tuhan.
Dengan menggunakan kata “budak”, Sayyidina
Isa mengembalikan manusia ke tempatnya semula, sebagai yang dinilai (objek),
bukan yang menilai. Hanya Allah lah yang berhak menilai, dan manusia hanyalah
makhluk yang dinilai. Karena itu, Sayyidina Isa ‘alaihissalam memerintahkan
murid-muridnya jangan banyak bicara dan menilai dosa orang lain seakan-akan
diri kalian adalah tuhan. Jika mereka melakukannya, tidak hanya mereka telah
menyerobot hak Tuhan, tapi juga merenggangkan ruang dakwah yang seharusnya
dimasuki.
Apa yang dikatakan Sayyidina Isa bukan tanpa
dasar. Sebagai seorang nabi, tentu Sayyidina Isa mendapat petunjuk langsung
dari Allah. Dalam satu riwayat dikatakan:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا سَيَّارٌ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ،
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى عِيسَى عَلَيْهِ
السَّلَامُ أَنْ يَا عِيسَى عِظْ نَفْسَكَ، فَإِنِ اتَّعَظْتَ فَعِظِ النَّاسَ،
وَإِلَّا فَاسْتَحِ مِنِّي
“Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Sayyar
bercerita, Ja’far bercerita, Malik bin Dinar bercerita kepada kami, ia berkata:
“Allah mewahyukan kepada Isa ‘alaihissalam. (Dia berfirman): “Wahai Isa,
nasihatilah dirimu sendiri (terlebih dahulu). Jika kau sudah menasihati dirimu
(sendiri) maka nasihatilah manusia, (jika kau belum melakukannya) maka malulah
kepada-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 71)
Nabi yang tugas utamanya menyampaikan
pesan-pesan Allah (berdakwah) diharuskan menasihati dirinya sendiri sebelum
menasihati orang lain, apalagi kita. Namun, kita seringkali lupa kedudukan kita
sebagai yang “dinilai”. Kita terlalu sibuk menilai orang lain, hingga kita lupa
meraba diri sendiri. Padahal, kebaikan dan keburukan ada di setiap manusia.
Sebaik-baiknya manusia pasti pernah berdosa, dan sejahat-jahatnya manusia pasti
pernah berpahala. Jika syarat untuk menasihati orang lain saja harus menasihati
diri sendiri, apalagi menilai. Syarat apa yang dibutuhkan sampai Nabi Isa
sendiri tak terlalu berani melakukannya, bahkan Allah memerintahkannya untuk
“tahu malu”, apalagi kita manusia biasa.
Pada kalimat selanjutnya Sayyidina Isa
memberitahu murid-muridnya bahwa manusia terbagi dua; pertama, orang yang
diberi kesehatan (mu’âfan), dan kedua, orang yang diuji dengan musibah
(mubtalan). Dua pembagian tersebut bukan predikat pasti, melainkan perputaran
roda kehidupan; terkadang di atas, terkadang di bawah. Setiap manusia pasti
mengalami “ganti peran” dalam kehidupannya. Beberapa tahun lalu ia masuk
kategori pertama, beberapa tahun kemudian ia masuk kategori kedua. Karena
seringnya manusia berganti peran, Nabi Isa memerintahkan murid-muridnya untuk
mengasihi dan bersyukur, sesuai dengan peran yang tengah dijalaninya, bukan
malah saling memaki dan menjatuhkan.
Dengan mengatakan, “maka, berkasih-sayanglah
pada orang-orang yang diuji karena musibah (yang menimpa) mereka, dan pujilah
Allah atas (anugerah) sehat (yang diberikan-Nya),” Sayyidina Isa ‘alaihissalam
ingin membangun pergaulan hidup selaras. Baginya, keberuntungan bukan alat
untuk menghina dan merendahkan orang lain, dan kemalangan bukan keadaan yang
perlu disesali berlebihan. Karena “mu’âfan” dan “mubtalan” adalah kategorisasi
keadaan, bukan sebuah predikat pemanen. Artinya, siapapun orangnya pasti
mengalami dua keadaan tersebut. Karena itu, Sayyidina Isa menghendaki manusia
belajar dari hidupnya yang seperti roda, dan merasai kenyamanan dan
kesusahannya sekaligus, kemudian mulai memandang orang lain dari kacamata yang
lebih luas, tidak hanya dari “keberuntungan” dan “kemalangan”. Tujuannya
adalah, agar tercipta budaya saling asuh, tolong menolong dan maju bersama.
Mungkinkah itu terjadi? Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumnus PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar