Fiqih Maqashid (1): Solusi
Problem Ekonomi Syariah
Mempelajari teknik penyelesaian sengketa
syariah adalah tidak lepas dari mengenal fiqih maqâshid. Meskipun akar kaidah
maqâshid memiliki titik tolak yang sama, yaitu الأمور
بمقاصدها , yang artinya:
“Setiap perkara (solusinya) tergantung pada maqâshidnya,” namun karena kacamata
pendekatannya berbeda, maka produk hukum fiqih yang dihasilkan pun dapat
berbeda.
Penting diketahui, bahwa banyak terjadi
perbedaan di kalangan ulama dalam menjabarkan istilah maqâshid ini. Tercatat
kurang lebih ada 17 teori maqâshid saat ini. Itulah sebabnya, mengapa setiap
kali ada sebuah problem Syariah, maka penting mengetahui terlebih dahulu teori
maqâshid yang diterapkan oleh seorang fuqaha’ dalam memandang masalah. Setiap
teori memiliki relevansi hukum dengan produk karena teori berkaitan erat dengan
metode istinbath-nya (penggalian hukum).
Banyak hukum fiqih yang lahir karena
perbedaan maqâshid. Ulama tekstualis-literalis, seperti kalangan Wahabi dan
kawan-kawannya, tentu akan memilih konsep maqâshid yang berbeda dibanding ulama
kontekstualis-literalis, sebagaimana kalangan Syafi’iyah dan Mu’tazilah. Pada
kesempatan tulisan kali ini, penulis coba menghadirkan fiqih maqashidnya
al-Ghazaly dan al-Syathiby sebagai strategi pendekatan agar mudah kita memahami
pentingnya memperhatikan aliran fiqih maqashid ini.
Misalnya fiqih maqâshidnya Al-Ghazâli. Fiqih
maqâshid Imam al-Ghazali ini tergambar secara jelas dalam pernyataan beliau
pada kitab Shifâu al-Ghalîl. Di dalam kitab tersebut, beliau - Sang Imam –
menyampaikan:
فرعاية
المقاصد عبارة حاوية للإبقاء ودفع القواطع، وللتحصيل على سبيل الابتداء
Artinya: “Penjagaan terhadap maqâshid
syarî’ah adalah memuat upaya mendasar penjagaan eksistensi (hidup), menahan
faktor-faktor penyebab kerusakan dan mendorong terjadinya kesejahteraan.”
(Al-Ghazâly, Shifau al-Ghalîl, Baghdad: Mathba’ah al-Irshâd, 1971, 159)
Berdasarkan definisi ini, al-Ghazâly
memberikan penekanan tujuan dari diterapkannya syariah, pertama kalinya adalah
untuk menjaga eksistensi hidup. Hak ini hanya bisa dicapai apabila faktor
penyebab kerusakan – yang selanjutnya disebut mudharrât – bisa dihilangkan
sehingga faktor-faktor menuju pada tercapainya kesejahteraan (being
welfare)/maslahah bisa terus menerus dipacu dan didorong.
Sekarang mari kita bandingkan dengan konsep
maqâshid milik al-Shathiby. Al-Shathiby menyampaikan bahwa:
المقاصد
قسمان : أحدها يرجع إلى قصد الشارع, والآخريرجع إلى قصد المكلف
Artinya: “Maqâshid terbagi menjadi dua,
yaitu: pertama berkaitan dengan maksud Tuhan selaku Dzat Pencipta Syariat, dan
kedua berkaitan dengan tujuan dasar mukallaf.” (Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fî
Ushûl al-Syarî’ah. ditahqiq oleh ‘Abdullah Darrâz, Kairo: Maktabah
al-Tijâriyah al-Kubrâ, tt., 322)
Al-Syâthibi dalam definisi ini membagi
maqashid menjadi dua bagian, yaitu dikembalikan kepada Allah SWT selaku Syâri’
(Pembuat Syariat) yang menghendaki kemaslahatan dunia dan akhirat bagi
hambanya. Sementara di sisi yang lain, maqâshid dikembalikan pada kemaslahatan
mukallaf (manusia muslim yang terkena beban hukum taklify) sebagai individu
yang mendapat tanggung jawab menggapai kemaslahatan di dunia dan akhirat dalam
hidupnya.
Titik singgung perbedaan antara kedua
definisi tersebut adalah pada konsep rujukan pertama saat seorang faqih
berinteraksi dengan “problem hukum”. Saat berinteraksi, Imam al-Ghazâly
menekankan pada mendahulukan menjaga hak eksistensi hidup dan menjauhi
mudharrât. Sementara itu, menurut al-Syathiby, ia lebih mengedepankan aspek
al-Syâri’ (Pembuat Syariat), sementara menjauhi mudlarrât merupakan alternatif
berikutnya apabila solusi pertama tidak bisa dicapai.
Sebagai gambaran imajiner dari kedua
pendekatan ini dalam konteks ekonomi syari’ah adalah sebagai contoh kasus
berikut:
Sebut saja Pak Tono dan Pak Ahmad, keduanya
adalah para pengusaha. Seiring perkembangan zaman yang begitu cepat, mereka
menemukan sebuah peluang usaha mengekspor barang. Agar terlaksana keinginan
tersebut, maka keduanya mendirikan sebuah badan usaha berbasis kemitraan secara
patungan. Setelah dilakukan kalkulasi modal dan biaya usaha, agar badan usaha
tersebut bisa berdiri, maka diperlukan asupan dana sebesar 1 triliun rupiah.
Karena Pak Tono dan Pak Ahmad adalah sama-sama dari kalangan pengusaha
menengah, maka modal yang terkumpul tidaklah mampu mencukupi kebutuhan biaya
sehingga harus ada pemodal ketiga. Akan tetapi, seiring nota yang sudah
terlanjur disepakati dan ditangani dalam kerjasama dengan pihak asing, bahwa
harus mereka berdua yang menjalankan usaha itu, maka akhirnya diputuskan solusi
untuk pinjam ke bank. Kekurangan dana sebesar 500 miliar harus ditanggung
mereka berdua dengan jalan dibagi dua. Pak Tono harus mengupayakan 250 miliar
dan sisanya diupayakan oleh Pak Ahmad.
Untuk menutup kekurangan itu, Pak Tono
langsung berani mengambil langkah mengajukan pembiayaan/kredit ke perbankan.
Bunga yang sebesar 10 persen per tahun tidak menjadi soal baginya seiring
kebutuhan yang mendesak dan terikat janji memenuhi akad usaha. Sementara itu
Pak Ahmad masih memikir-mikir ulang. Ia mengalkulasi terlebih dahulu aset yang
dimilikinya. Ia menghitung, jika dijual maka mampu berapa aset tersebut akan
laku? Setelah ditotal, ternyata kurang, dan kekurangannya tidaklah sedikit,
yakni sebesar 200 miliar. Bingung dia menghadapinya. Sementara itu, Pak Tono
sudah siap dengan biaya kekurangannya karena sudah dibantu lewat skema
pembiayaan perbankan. Adapun Pak Ahmad masih terus mencari celah barangkali
bisa ditemukan solusi lain. Begitu mentok permasalahan, ternyata Pak Ahmad juga
mencari solusi yang sama dengan yang dilakukan oleh Pak Tono, yaitu mencari
alternatif bantuan pembiayaan ke bank.
Saudara pembaca bisa menengarai, mengapa
terjadi perbedaan dalam pemecahan masalah permodalan antara Pak Tono dan Pak
Ahmad di atas, bukan? Pendekatan yang dilakukan oleh keduanya berbeda.
Sederhananya pendekatan yang dilakukan oleh Pak Tono adalah menyerupai
pendekatan al-Ghazaly dalam maqashidnya. Sementara pendekatan yang diterapkan
oleh Pak Ahmad, adalah menyerupai al-Shathibi dalam maqashid-nya.
Sebuah contoh lain gambaran perbedaan hukum
adalah dalam hal makanan yang berada di samping orang yang shalat. Menurut
al-Ghazaly, makanlah dulu, baru kemudian melakukan shalat. Menurut al-Syathiby,
shalatlah dulu, baru kemudian makan.
Sebenarnya, apa yang dicontohkan dan
diilustrasikan sebagai pola pemikiran al-Ghazaly di sini bukanlah menisbikan
realitas teks. Konsep maqâshid sendiri diterapkan adalah manakala sudah tidak
ditemui solusi lain yang bisa membawa kepada kemaslahatan bagi mukallaf selain
mengambil jalan alternatif. Untuk konteks solusi mengembalikan kepada Syâri’
sudah otomatis merupakan hak dan tanggung jawab individu mukallaf sehingga
tidak perlu mendapatkan penekanan lagi dalam kaidah. Namun, konsep ini berbeda
dengan polanya al-Syathiby. Teks harus didekati terlebih dahulu, masalah dengan
realitas difikirkan sambil melakukan identifikasi masalah (takhriju al-manath),
analisis hukum (tahqîhu al-manath) dan terakhir aplikasi hukum (tanqîhu
al-manath). []
Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri
Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang
Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang
Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar