Kamis, 10 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Fiqih Maqashid (1): Solusi Problem Ekonomi Syariah


Fiqih Maqashid (1): Solusi Problem Ekonomi Syariah

Mempelajari teknik penyelesaian sengketa syariah adalah tidak lepas dari mengenal fiqih maqâshid. Meskipun akar kaidah maqâshid memiliki titik tolak yang sama, yaitu  الأمور بمقاصدها , yang artinya: “Setiap perkara (solusinya) tergantung pada maqâshidnya,” namun karena kacamata pendekatannya berbeda, maka produk hukum fiqih yang dihasilkan pun dapat berbeda. 

Penting diketahui, bahwa banyak terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam menjabarkan istilah maqâshid ini. Tercatat kurang lebih ada 17 teori maqâshid saat ini. Itulah sebabnya, mengapa setiap kali ada sebuah problem Syariah, maka penting mengetahui terlebih dahulu teori maqâshid yang diterapkan oleh seorang fuqaha’ dalam memandang masalah. Setiap teori memiliki relevansi hukum dengan produk karena teori berkaitan erat dengan metode istinbath-nya (penggalian hukum).

Banyak hukum fiqih yang lahir karena perbedaan maqâshid. Ulama tekstualis-literalis, seperti kalangan Wahabi dan kawan-kawannya, tentu akan memilih konsep maqâshid yang berbeda dibanding ulama kontekstualis-literalis, sebagaimana kalangan Syafi’iyah dan Mu’tazilah. Pada kesempatan tulisan kali ini, penulis coba menghadirkan fiqih maqashidnya al-Ghazaly dan al-Syathiby sebagai strategi pendekatan agar mudah kita memahami pentingnya memperhatikan aliran fiqih maqashid ini. 

Misalnya fiqih maqâshidnya Al-Ghazâli. Fiqih maqâshid Imam al-Ghazali ini tergambar secara jelas dalam pernyataan beliau pada kitab Shifâu al-Ghalîl. Di dalam kitab tersebut, beliau - Sang Imam – menyampaikan:

 فرعاية المقاصد عبارة حاوية للإبقاء ودفع القواطع، وللتحصيل على سبيل الابتداء

Artinya: “Penjagaan terhadap maqâshid syarî’ah adalah memuat upaya mendasar penjagaan eksistensi (hidup), menahan faktor-faktor penyebab kerusakan dan mendorong terjadinya kesejahteraan.” (Al-Ghazâly, Shifau al-Ghalîl, Baghdad: Mathba’ah al-Irshâd, 1971, 159)

Berdasarkan definisi ini, al-Ghazâly memberikan penekanan tujuan dari diterapkannya syariah, pertama kalinya adalah untuk menjaga eksistensi hidup. Hak ini hanya bisa dicapai apabila faktor penyebab kerusakan – yang selanjutnya disebut mudharrât – bisa dihilangkan sehingga faktor-faktor menuju pada tercapainya kesejahteraan (being welfare)/maslahah bisa terus menerus dipacu dan didorong. 

Sekarang mari kita bandingkan dengan konsep maqâshid milik al-Shathiby. Al-Shathiby menyampaikan bahwa: 

المقاصد قسمان : أحدها يرجع إلى قصد الشارع, والآخريرجع إلى قصد المكلف

Artinya: “Maqâshid terbagi menjadi dua, yaitu: pertama berkaitan dengan maksud Tuhan selaku Dzat Pencipta Syariat, dan kedua berkaitan dengan tujuan dasar mukallaf.” (Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah.  ditahqiq oleh ‘Abdullah Darrâz, Kairo: Maktabah al-Tijâriyah al-Kubrâ, tt., 322)

Al-Syâthibi dalam definisi ini membagi maqashid menjadi dua bagian, yaitu dikembalikan kepada Allah SWT selaku Syâri’ (Pembuat Syariat) yang menghendaki kemaslahatan dunia dan akhirat bagi hambanya. Sementara di sisi yang lain, maqâshid dikembalikan pada kemaslahatan mukallaf (manusia muslim yang terkena beban hukum taklify) sebagai individu yang mendapat tanggung jawab menggapai kemaslahatan di dunia dan akhirat dalam hidupnya. 

Titik singgung perbedaan antara kedua definisi tersebut adalah pada konsep rujukan pertama saat seorang faqih berinteraksi dengan “problem hukum”. Saat berinteraksi, Imam al-Ghazâly menekankan pada mendahulukan menjaga hak eksistensi hidup dan menjauhi mudharrât. Sementara itu, menurut al-Syathiby, ia lebih mengedepankan aspek al-Syâri’ (Pembuat Syariat), sementara menjauhi mudlarrât merupakan alternatif berikutnya apabila solusi pertama tidak bisa dicapai. 

Sebagai gambaran imajiner dari kedua pendekatan ini dalam konteks ekonomi syari’ah adalah sebagai contoh kasus berikut: 

Sebut saja Pak Tono dan Pak Ahmad, keduanya adalah para pengusaha. Seiring perkembangan zaman yang begitu cepat, mereka menemukan sebuah peluang usaha mengekspor barang. Agar terlaksana keinginan tersebut, maka keduanya mendirikan sebuah badan usaha berbasis kemitraan secara patungan. Setelah dilakukan kalkulasi modal dan biaya usaha, agar badan usaha tersebut bisa berdiri, maka diperlukan asupan dana sebesar 1 triliun rupiah. Karena Pak Tono dan Pak Ahmad adalah sama-sama dari kalangan pengusaha menengah, maka modal yang terkumpul tidaklah mampu mencukupi kebutuhan biaya sehingga harus ada pemodal ketiga. Akan tetapi, seiring nota yang sudah terlanjur disepakati dan ditangani dalam kerjasama dengan pihak asing, bahwa harus mereka berdua yang menjalankan usaha itu, maka akhirnya diputuskan solusi untuk pinjam ke bank. Kekurangan dana sebesar 500 miliar harus ditanggung mereka berdua dengan jalan dibagi dua. Pak Tono harus mengupayakan 250 miliar dan sisanya diupayakan oleh Pak Ahmad. 

Untuk menutup kekurangan itu, Pak Tono langsung berani mengambil langkah mengajukan pembiayaan/kredit ke perbankan. Bunga yang sebesar 10 persen per tahun tidak menjadi soal baginya seiring kebutuhan yang mendesak dan terikat janji memenuhi akad usaha. Sementara itu Pak Ahmad masih memikir-mikir ulang. Ia mengalkulasi terlebih dahulu aset yang dimilikinya. Ia menghitung, jika dijual maka mampu berapa aset tersebut akan laku? Setelah ditotal, ternyata kurang, dan kekurangannya tidaklah sedikit, yakni sebesar 200 miliar. Bingung dia menghadapinya. Sementara itu, Pak Tono sudah siap dengan biaya kekurangannya karena sudah dibantu lewat skema pembiayaan perbankan. Adapun Pak Ahmad masih terus mencari celah barangkali bisa ditemukan solusi lain. Begitu mentok permasalahan, ternyata Pak Ahmad juga mencari solusi yang sama dengan yang dilakukan oleh Pak Tono, yaitu mencari alternatif bantuan pembiayaan ke bank. 

Saudara pembaca bisa menengarai, mengapa terjadi perbedaan dalam pemecahan masalah permodalan antara Pak Tono dan Pak Ahmad di atas, bukan? Pendekatan yang dilakukan oleh keduanya berbeda. Sederhananya pendekatan yang dilakukan oleh Pak Tono adalah menyerupai pendekatan al-Ghazaly dalam maqashidnya. Sementara pendekatan yang diterapkan oleh Pak Ahmad, adalah menyerupai al-Shathibi dalam maqashid-nya. 

Sebuah contoh lain gambaran perbedaan hukum adalah dalam hal makanan yang berada di samping orang yang shalat. Menurut al-Ghazaly, makanlah dulu, baru kemudian melakukan shalat. Menurut al-Syathiby, shalatlah dulu, baru kemudian makan. 

Sebenarnya, apa yang dicontohkan dan diilustrasikan sebagai pola pemikiran al-Ghazaly di sini bukanlah menisbikan realitas teks. Konsep maqâshid sendiri diterapkan adalah manakala sudah tidak ditemui solusi lain yang bisa membawa kepada kemaslahatan bagi mukallaf selain mengambil jalan alternatif. Untuk konteks solusi mengembalikan kepada Syâri’ sudah otomatis merupakan hak dan tanggung jawab individu mukallaf sehingga tidak perlu mendapatkan penekanan lagi dalam kaidah. Namun, konsep ini berbeda dengan polanya al-Syathiby. Teks harus didekati terlebih dahulu, masalah dengan realitas difikirkan sambil melakukan identifikasi masalah (takhriju al-manath), analisis hukum (tahqîhu al-manath) dan terakhir aplikasi hukum (tanqîhu al-manath). []

Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar