Kamis, 22 Juni 2017

(Do'a of the Day) 27 Ramadlan 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Yaa ardhu rabbii wa rabbukillaahu a'uudzu billaahi min syarriki wa syarri maa khuliqa fiiki wa syarri maa yadibbu 'alaiki.

Wahai bumi, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah. Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu dan kejahatan yang ada padamu, kejahatan yang dijadikan padamu, kejahatan yang melata di atasmu.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 11, Bab 18.

(Ngaji of the Day) Ketentuan dan Sunah Takbir pada Shalat Id



Ketentuan dan Sunah Takbir pada Shalat Id

Sembahyang Idul Fithri terdiri atas dua rakaat. Pada rakaat pertama kita disunahkan bertakbir sebanyak tujuh kali setelah takbiratul ihram dan doa iftitah. Sementara pada rakaat kedua kita disunahkan untuk bertakbir lima kali.

Hal ini disinggung oleh Sayid Muhammad Sa‘id Ba’asyin dalam Busyral Karim, Beirut, Darul Fikr, halaman 355.

ويكبر في الركعة الأولى قبل القراءة سبعا يقينا مع رفع اليدين بين الاستفتاح والتعوذ وفي الثانية خمسا ولا يكبر المسبوق إلا ما أدرك

Artinya, “Sebelum membaca Surat Al-Fatihah, ia bertakbir sebanyak tujuh kali dengan hitungan yakin yang berbarengan dengan mengangkat kedua tangan; (7 takbir ini) tepatnya (dilakukan) di antara doa iftitah dan ta‘wudz Al-Fatihah. Di rakaat kedua, ia cukup bertakbir sebanyak lima kali. Sedangkan masbuq (makmum yang tertinggal beberapa saat) hanya bertakbir sedapatnya.”

Memang takbir pada shalat Id ini hanya sunah. Meninggalkan takbir ini tidak membatalkan puasa. Hanya saja menambah atau menguranginya bisa menjadi makruh.

ويكره ترك التكبيرات والزيادة والنقص منها وترك رفع اليدين والذكر بينهما

Artinya, “Meninggalkan takbir sunah shalat Id, menambahkan dan mengurangi jumlah takbir sunah itu, tidak mengangkat kedua tangan saat takbir, dan tidak membaca zikir di antara takbir, makruh hukumnya.”

Tetapi orang yang terlanjur membaca Surat Al-Fatihah karena lupa atas takbir sunah, lalu teringat takbir, tidak perlu meninggalkan bacaan Surat Al-Fatihahnya untuk kembali takbir atau membatalkan shalatnya. Karena tanpa takbir sunah, shalat Id-nya tetap sah. Demikian disebutkan di Busyral Karim. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Proses Salinan Janin Lewati Ramadhan dan Masuki Syawwal, Apakah Wajib Zakat Fitrah?



Proses Salinan Janin Lewati Ramadhan dan Masuki Syawwal, Apakah Wajib Zakat Fitrah?

Pertanyaan:

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Sebelumnya kami mohon maaf, jika pertanyaan yang akan kami ajukan terkesan mengada-ada. Kami pernah mendengar keterangan dari seorang ustadz bahwa janin atau bayi yang lahir sebelum masuk malam Idul Fitri wajib dizakati. Sedangkan kami pernah ditanya oleh tetangga mengenai bayi yang lahir di malam Idul Fitri. Janin atau jabangnya bayi ini mulai keluar sebagian anggota badannya sebelum masuk malam Idul Fitri atau sebelum waktu maghrib, sedangkan anggota tubuh yang lain keluar setelah masuk waktu maghrib, sehingga bisa dikatakan kelahirannya sempurna pada saat masuk malam Idul Fitri.

Yang ingin kami tanyakan, apakah si bayi tersebut wajib dizakat-fitrahi atau tidak? Jika tidak wajib, padahal sebagian anggota tubuhnya telah keluar sebelum masuk malam Idul Fitri meskipun belum keluar secara sempurna? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Bekasi – Nama Dirahasiakan

Jawaban:

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa hukum zakat itu dikategorikan menjadi dua, yaitu zakat mal dan zakat badan. Zakat badan kemudian dikenal dengan nama zakat fitrah dan hukumnya adalah wajib sebagaimana yang telah kami jelaskan pada kesempatan lalu.

Bagaimana dengan janin atau jabang bayi masih dalam kandungan? Dalam hal ini menurut madzhab Syafi’i tidak wajib zakat fitrah. Demikian sebagaimana dikemukan Muhyiddin Syaraf An-Nawawi. Bahkan lebih lanjut menurut beliau, Ibnu Mundzir menyuguhkan ijma’ atau konsesus para ulama yang menyatakan tidak wajib zakat fitrah untuk janin.

لَا تَجِبُ فِطْرَةُ الْجَنِينِ لَاعَلَي أَبِيهِ وَلَا فِي مَالِهِ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا

Artinya, “Di antara kami (madzhab Syafi’i) tidak ada perbedaan pendapat bahwa tidak wajib zakat fitrah bagi janin, tidak juga wajib bagi bapaknya bahkan tidak wajib zakat pula pada hartanya....”. (Lihat, Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jedaah-Maktabah Al-Irsyad, Juz VI, halaman 105).

Bahkan lebih lanjut menurut beliau, Ibnu Mundzir menyuguhkan ijma’ atau konsesus para ulama yang menyatakan, tidak wajib zakat fitrah untuk janin. Ketidakwajiban ini bukan berarti kemudian tidak diperbolehkan menzakati janin yang masih dalam kandungan. Menurut penuturan Ibnu Mundzir, Imam Ahmad bin Hanbal menghukumi sunah dan tidak mewajibkan.

وَاَشَارَ ابْنُ الْمُنْذِرِ إِلَى نَقْلِ الْاِجْمَاعِ عَلَي مَا ذَكَرْتُهُ فَقَالَ كُلُّ مَنْ يَحْفَظُ عَنْهُ الْعِلْمُ مِنَ عُلَمَاءِ الْاَمْصَارِ لَا يُوجِبُ فِطْرَةً عَنِ الْجَنِينِ قَالَ وَكَانَ اَحْمَدُ يَسْتَحِبُّهُ وَلَا يُوجِبُهُ

Artinya, “Ibnu Mundzir menukil adanya ijma atau konsesus para ulama—sebagaimana yang telah kami kemukakan—yang menyatakan bahwa para ulama amshar tidak mewajibkan zakat fitrah untuk janin. Kendati demikian Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, sunah untuk menzakati fitrah bagi janin tetapi tidak wajib,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Juz VI, halaman 105).

Sampai pada titik ini tidak ada persoalan yang berarti. Persoalan kemudian akan muncul apabila janin itu keluar di dua waktu, yaitu sebagian tubuhnya keluar pada saat akhir bulan Ramadhan, sedang sebagian yang lain keluar pada saat sudah memasuki malam Idul Fitri. Dengan kata lain, lahir secara sempurna di malam Idul Fitri.

Dalam konteks kejadian ini apakah janin tersebut wajib dizakati-fitrah atau tidak? Jika tidak wajib, bukankah sebagian anggota badannya telah keluar sebelum memasuki malam Idul Fitri?

Untuk menjawab soal ini, maka kami akan menyuguhkan penjelasan yang dikemukakan Muhyiddin Syaraf An-Nawawi. Menurutnya, jika sebagian anggota tubuh janin keluar sebelum matahari terbenam, sedang sebagian yang lain keluar setelah terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri, maka tidak wajib zakat fitrah.

Argumentasi yang dikemukakan dalam kasus ini adalah bahwa janin keluarnya demikian masih dihukumi sebagai janin. Sebab, keluarnya belum sempurna dan terpisah dari yang melahirkan.

وَلَوْ خَرَجَ بَعْضُهُ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ وَبَعْضُهُ بَعْدَ غُرُوبِهَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ لَمْ تَجِبْ فِطْرَتُهُ لِاَنَّهُ فِي حُكْمِ الْجَنِينِ مَا لَمْ يَكْمُلْ خُرُوجُهُ مُنْفَصِلًا

Artinya, “Seandainya sebagian janin keluar sebelum terbenamnya matahari, sedang sebagiannya keluar setelah terbenamnya matahari pada malam hari raya Idul Fitri, maka tidak wajib zakat fitrah. Sebab ia tetap dihukumi sebagai janin sepanjang belum sempurna keluarnya secara terpisah,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Juz VI, halaman 105).

Jika pandangan ini ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas, maka jawaban yang tersedia adalah bahwa janin yang lahir sebagian anggota tubuhnya menjelang masuk malam Idul Fitri dan sebagian lainnya ketika masuk malam Idul Fitri tidak wajib zakat fitrah. Sebab, faktanya kelahiran secara sempurna adalah pada malam Idul Fitri. Hal ini berbeda apabila janin tersebut memang lahir sebelum masuk malam Idul Fitri.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Mahbub Maafi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

(Hikmah of the Day) Kisah Betapa Hati-hatinya Para Ulama Salaf terhadap Harta



Kisah Betapa Hati-hatinya Para Ulama Salaf terhadap Harta

Imam Ahmad bin Hanbal suatu hari menggadaikan sebuah timba miliknya kepada seorang tukang sayur di kota Makkah. Hingga ketika sudah merasa mampu untuk membayar hutangnya, beliau pun pergi ke kota suci itu untuk menebus kembali timba yang ia gadaikan itu.

Tapi di luar dugaan Imam Ahmad, setelah keduanya bertemu, penjual sayur itu mengeluarkan dua buah timba yang sama seraya berkata kepada Imam Ahmad, "Ambil saja salah satu dari kedua timba ini, terserah mau pilih yang mana yang anda suka," kata penjual sayur.

"Aku jadi bingung mana dari dua buah timba ini yang merupakan milik saya. Ambil saja timba itu dan ini uang dirham untuk membayar hutangku," jawab Imam Ahmad bin Hanbal.

Begitulah kehati-hatian (wira’i) sikap Imam Ahmad, rela tak mengambil barang yang sebenarnya menjadi haknya karena sebab kemiripan tersebut, khawatir jangan-jangan timba yang akan dipilihnya ternyata bukan miliknya.

Dikisahkan pula, Malik bin Dinar selama empat puluh tahun berdomisili di kota Bashrah (Irak) tidak pernah sama sekali makan buah korma yang tumbuh dari tanah kota itu. Ia bergembira jika musim kurma telah berlalu.

"Wahai penduduk Bashrah, ini aku Malik bin Dinar, perutku tidak membesar karena mengonsumsi buah kurma yang kalian tanam dan juga tidak berubah menyusut karena tidak memakannya," katanya.

Suatu hari Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, "Kenapa Tuan tidak ikut minum air zamzam?”

"Seandainya aku membawa timba sendiri, niscaya aku akan menimba dan meminumnya", jawab Ibrahim bin Adham.

Lagi-lagi Ibrahim bin Adham meski mengetahui bahwa meminum air zamzam adalah juga sesuatu yang dianjurkan oleh syariat, tapi lantaran Ia belum mengetahui secara jelas siapa pemilik timba yang akan digunakan untuk mengambil air zamzam tersebut, maka Ibrahim bin Adham lebih memilih untuk tidak meminumnya. []

Disarikan dari kirab "Kifayatul Adzkiya" karya Sayyid abi Bakr Al-Makky, hal. 10

(Khotbah of the Day) Puasa, Takwa Macam Apa yang Hendak Kita Gapai?



KHOTBAH JUM'AT
Puasa, Takwa Macam Apa yang Hendak Kita Gapai?

Khutbah I

الحَمْدُ للهِ الّذِي خَلَقَ الخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ، وَأَمْرُهُمْ بِتَوْحِيْدِهِ وَطَاعَتِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَكْمَلُ الخَلْقِ عُبُودِيَّةً للهِ، وَأَعْظَمَهُمْ طَاعَةً لَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ. اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Sudah sering kita mendengar kala Ramadhan tiba para dai atau ustadz mengingatkan umat Islam bahwa puasa wajib dilakukan dengan tujuan agar kita menjadi pribadi yang bertakwa. Pesan itu diulang-ulang dari satu ceramah ke ceramah, bahkan sejak sebelum Ramadhan tiba. Rujukkannya jelas, yakni Surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Yang menjadi pertanyaan, apa makna takwa? Para ulama secara umum memaknainya dengan arti “melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya”. Seringkali publik menerima pengertian tersebut cukup sampai di situ. Jarang sekali umat Islam berusaha mencari keterangan rinci soal definisi ini, menghayatinya, lalu mengamalkan.

Makna takwa pun beredar sedemikian rupa dan menjadi pemahaman yang ala kadarnya. Ketika disebut “orang yang ketakwaannya meningkat” maka yang tergambar adalah orang-orang yang semakin taat melaksanakan shalat, kian rajin membaca Al-Qur’an, tambah gemar puasa sunnah, banyak berdzikir, dan sejenisnya; serta otomatis semakin jauh dari perbuatan judi, minuman-minuman keras, zina, bohong, dan aktivitas maksiat lainnya.

Jamaah shalat jum’at hafidhakumullâh,

Pengertian yang umum dipahami publik tersebut tidak keliru, namun bukan pula berarti sempurna. Pengertian itu masih didominasi oleh kecenderungan peningkatan ibadah ritual semata. Segi maksiat pun seolah-olah diidentikkan dengan perbuatan lahiriah saja. Padahal, dalam diri manusia ada dua hal yang mesti diperhatikan, yakni dimensi dhahir dan dimensi bathin.

Karena itu kiranya kita penting merujuk pada definisi takwa sebagaimana dijelaskan Sayyid Al Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad Dimyathi dalam kitab Kifayatul Atqiya’wa Minhajul Ashfiya’. Beliau mengatakan bahwa takwa adalah:

عِبَارَةٌ عَنِ امْتِثَالِ أَوَامِرِ اللهِ، وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ ظَاهِرًا وبَاطِنًا، مَعَ اسْتِشْعَارِ التَّعْظِيْمِ لِلهِ، الهَيْبَة وَالخَشْيَة وَالرَّهْبَة مِنَ الله

“(Takwa adalah) istilah yang mengacu pada dilaksanakannya perintah-perintah Allah dan dijauhinya larangan-larangan-Nya secara dhahir maupun bathin, bersamaan dengan ikhtiar merasakan keagungan Allah, juga takut kepada-Nya.”

Jamaah shalat jum’at hadâkumullâh,

Setidaknya ada dua poin penting yang bisa diserap dari definisi yang disampaikan Sayyid Al Bakri di sini. Pertama, ketaatan kepada Allah dan ikhtiar menghindari dari durhaka kepada-Nya harus diejawantahkan dalam bentuk perbuatan lahiriah maupun batiniah. Takwa dengan demikian tidak hanya berurusan dengan aktivitas fisik tapi juga aktivitas hati.

Saat orang-orang mengaitkan takwa dengan perintah shalat, puasa, haji, dan zakat, serta larangan berjudi, mabuk-mabukan, dan sejenisnya, maka sesungguhnya yang dibidik barulah aspek fisik. Padahal perintah dan larangan Allah yang berurusan dengan hati lebih banyak, bahkan juga lebih sulit, direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, justru sisi batin inilah yang paling banyak dilupakan orang.

Kesalahpahaman ini bisa kita jumpai kasusnya, misalnya, pada orang yang rajin shalat tapi merasa sebagai peribadi yang suci, bersedekah tapi masih dihiasi dengan riya’ (pamer), berpuasa seharian penuh tapi masih suka membenci orang lain, berhaji tapi tidak peka terhadap penderitaan kaum miskin, tidak minum-minuman keras tapi gemar merendahkan sesama hamba Allah, dan lain sebagainya. Sikap-sikap ini menunjukkan bahwa takwa dicapai sebatas urusan fisik tapi belum meresap pada level batin.

Oleh sebab itu, penting bagi seorang hamba untuk membongkar pemahaman kita tentang takwa, mengingat-ingat kembali pesan-pesan Islam yang tak hanya berurusan dengan ritual ibadah tapi juga penataan jiwa dan akhlak. Islam memang memerintahkan para pemeluknya untuk menunaikan shalat, tapi ia juga mendorong mereka dengan shalat itu agar jauh dari perbuatan keji dan munkar. Islam juga memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh pada ajaran Allah tapi juga tetap menebar kasih sayang, berdakwah secara santun, tidak angkuh, tidak sok suci, dan maksiat-maksiat hati lainnya.

Jamaah shalat jum’at hadâkumullâh,

Poin penting yang kedua adalah merasaka kehadiran Allah. Takwa bukan semata-sama layaknya undang-undang: ada perintah kita laksanakan, ada larangan tidak kita langgar. Karena takwa yang demikian adalah takwa yang formalistik, di mana ketaatan muncul biasanya dari rasa takut akan sanksi atau pamrih akan sesuatu. Karakter takwa sejati tidaklah semacam itu, ia berangkat dari kesadaran ilahiah. Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan semata-mata karena Allah, bukan karena kepentingan dunia termasuk kepentingan egonya sendiri. Orang yang sampai pada takwa seperti ini lebih mengutamakan akhirat ketimbang perkara duniawi yang fana ini:

 وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَعِبٌ۬ وَلَهۡوٌ۬‌ وَلَلدَّارُ ٱلۡأَخِرَةُ خَيۡرٌ۬ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ‌ۗ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S. al-An'am: 32).

Al-Qur’an juga menyebut, di antara tanda orang bertakwa adalah

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Yaitu orang-orang yang berinfak di saat senang dan susah, orang-orang yang menahan amarah, dan orang-orang yang memberi maaf kepada orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-Maidah: 134)

Ciri-ciri yang diungkap ayat ini mempertegas bahwa takwa tidak semata berurusan dengan ibadah fisik tapi juga ibadah batin. Muttaqin adalah orang yang sensitif akan kebutuhan orang lain, berjiwa lembut, dan murah hati. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menggapai takwa jenis ini dalam menjalani ibadah Ramadhan kali ini.

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Sumber: NU Online