Islam dan Arab: Menimbang Pribumisasi Islam Gus Dur
Oleh: Akhmad Sahal
Ketika wacana “Islam Nusantara” ramai diperbincangkan beberapa
waktu lalu, banyak kalangan yang nyinyir dengan menuduh “Islam Nusantara”
sebagai ekspresi antipati terhadap Arab. Benci terhadap orang Arab, budaya
Arab, pokoknya segala sesuatu yang berbau Arab. “Islam Nusantara” juga dianggap
mengkotak-kotakkan Islam, bahkan dicurigai sebagai strategi baru dari Barat,
Zionis, Jaringan Islam Liberal (JIL), dll, untuk menghancurkan Islam dari
dalam. Islam ya Islam. Titik.
Tuduhan terhadap Islam Nusantara tersebut umumnya datang dari kaum
Islamis yang meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang kaffah, menyeluruh,
mengatur baik kehidupan privat maupun publik. Semua sudah ada ketentuannya
dalam al-Qur’an. Juga sudah ada rincian teknisnya dalam hadis. Di mata mereka,
Muslim harus tunduk sepenuhnya pada nash,
teks Al-Quran dan Sunnah secara literal dan harfiah, karena nash adalah sesuatu yang ta’abbudi (harus ditaati
begitu saja) sebab berasal dari Allah dan Rasul.
Bagi mereka, nash
bersifat permanen, tunggal, dan mengatasi sejarah, ruang, dan waktu. Bagi
mereka, tidak mungkin ada banyak Islam, meskipun umat Islam hidup dalam beragam
konteks. Lebih jauh, latar belakang dunia Arab yang merupakan konteks tempat
Nabi hidup dianggap sama abadi dan universalnya dengan Islam. Akibatnya, kemurnian
Islam disamakan dengan ekspresi Arab dalam Islam. Unsur-unsur budaya non-Arab
yang mewarnai Islam akan mudah dituding sebagai penyimpangan.
Bahwa Islam adalah ajaran yang kaffah,
meliputi segala aspek kehidupan, saya sepakat. Persoalannya, apakah watak
komprehensif Islam tersebut niscaya berarti ketundukan harfiah terhadap nash dan peng-copy-an terhadap latar
belakang dunia Arab yang merupakan konteks di mana Nabi Muhammad hidup? Apakah
Islam kaffah
identik dengan Arabisasi?
Ataukah ke-kaffah-an Islam justru tampil dalam ekspresinya yang beragam, sesuai dengan konteks historisnya yang beragam pula?
Ataukah ke-kaffah-an Islam justru tampil dalam ekspresinya yang beragam, sesuai dengan konteks historisnya yang beragam pula?
Di sini kita berhadapan dengan situasi yang oleh Ibn Rusyd dalam
pengantar kitabnya, Bidayatul
Mujtahid, dirumuskan sebagai ketegangan antara al-nushush al-mutanahiyah
dan al-waqa’i ghair al
mutanahiyah (Nash atau teks syariah yang terbatas, selesai di satu
sisi, dan lahirnya ragam peristiwa/kenyataan baru yang bersifat tak terbatas,
tak habis-habis) di sisi lain. Dan kemunculan al-waqa’i’ ghair al-mutanahiyah tersebut
terjadi karena adanya konteks ruang dan waktu yang baru yang berbeda zaman
Nabi.
Misalnya konteks Indonesia di era sekarang. Umat Islam Indonesia
hidup pada suatu masa yang terpaut ribuan tahun lamanya dari era Nabi, dan
berada di suatu wilayah yang bukan hanya ratusan ribu kilometer jauhnya dari
tanah Arab, tempat asal Nabi, melainkan juga mempunyai karakteristik budaya,
sejarah, dan tradisi yang berbeda sama sekali dari Arab.
Realitas keindonesiaan abad ke-21 adalah konteks baru yang membuka
peluang bagi lahirnya persoalan-persoalan baru terkait hukum Islam, yang bisa
jadi tidak bisa ditemukan rujukannya secara eksplisit dalam sumber-sumber hukum
Islam. Berhadapan dengan situasi semacam itu, bagaimana ke-kaffah-an Islam mesti
dirumuskan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menengok kembali
gagasan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tentang pribumisasi Islam, yang nota
bene merupakan manifesto bagi Islam Nusantara. Bagi Gus Dur, keragaman konteks
historis Islam meniscayakan adanya kontekstualisasi Islam, bukan untuk mengubah
doktrin Islam, tapi untuk membumikan ajarannya agar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Muslim itu sendiri. Karena itulah ia dengan tegak menolak
pengidentikan Islam dengan Arab.
Dalam rumusan Gus Dur, “Bahaya dari proses Arabisasi atau proses
mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita
dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok
dengan kebutuhan.”
Patut dicatat, pribumisasi Islam “tidaklah mengubah Islam,
melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.” Selain itu,
pribumisasi Islam tidak lantas menempatkan Islam dalam subordinasi budaya dan
tradisi, tidak pula melakukan “Jawanisasi” atau sinkretisme. Tujuannya adalah
bagaimana agar Islam “dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor
kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya,” dan bagaimana agar
kebutuhan-kebutuhan lokal dipertimbangkan dalam merumuskan hukum agama, tanpa
mengubah hukum itu sendiri.
Dengan kata lain, pribumisasi Islam a la Gus Dur tidak bergerak
dalam penciptaan hukum, melainkan dalam penerapannya. Dalam pandangan Gus Dur,
pribumisasi Islam adalah dialektika antara nash
dengan konteks yang berbeda dan berubah. Dan dialektika semacam ini terjadi
sepanjang sejarah Islam. Gus Dur menulis:
“Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di
negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah ini
membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi
oleh kali cabangan sehingga sungai ini semakin membesar. Bergabungnya kali
baru, berarti masuknya air baru yang menambah warna air yang telah ada. Bahkan
pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena ‘limbah industri’ yang
sangat kotor. Tapi toh, tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama.
Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan
sejarah tidaklah merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari
kehidupan agama Islam.”
Pribumisasi Islam dan Prinsip Maslahat
Bagaimana Gus Dur bisa sampai pada gagasan pribumisasi Islam? Ini tak lepas dari asumsi konseptual Gus Dur yang bertolak dari Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Menurut Imam al-Ghazali, yang dimaksud dengan “maslahat” adalah upaya
menjaga dan memelihara lima prinsip pokok yang bersifat universal (al-Kulliyyat al-Khams):
(1) Hifzh al-Din (perlindungan
terhadap agama/keyakinan, (2) Hifzh
al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup, (3) Hifzh al-‘Aql (perlindungan
terhadap hak berpikir), (4) Hifzh
al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi, dan (5) Hifzh al-Mal (perlindungan
terhadap hak-hak milik).
Lima prinsip pokok ini lazim disebut sebagai maqashid al-syari’ah
(tujuan-tujuan syariah). Singkatnya, segala sesuatu yang merealisasikan
terjaganya tujuan-tujuan syariah tersebut merupakan “masalahat.” Sebaliknya, apa pun yang merusak
dan menegasikannya disebut “mafsadah.”
Karena tujuan syariah adalah terciptanya kemaslahatan dunia dan
akhirat, ia niscaya berwatak komprehensif: aturannya bukan hanya mencakup ranah
hubungan manusia dengan Allah melainkan juga ranah hubungan manusia dengan
manusia. Namun perlu segera ditegaskan, terdapat perbedaan dalam hal bagaimana
kaum muslim mencapai kemaslahatan pada dua domain tersebut. Imam Izzuddin bin
Abd al-Salam berkata:
فيما
تعرف به مصالح الدارين ومفاسدها
أما مصالح الآخرة وأسبابها، ومفاسدها وأسبابها، فلا تعرف إلا بالشرع، فإن خفي منها شيء طلب من أدلة الشرع، وهي : الكتاب، والسنة، والإجماع، والقياس المعتبر، والإستدلال الصحيح.
وأما مصالح الدنيا وأسبابها، ومفاسدها وأسبابها، فمعروفة بالضرورات والتجارب والعادات والظنون المعتبرات، فإن خفي شيء من ذلك طلب من أدلته.
Tentang apa yang diketahui mengenai kemaslahatan dan kemafsadatan
dunia dan akhirat. Kemaslahatan akhirat dan sebab-sebabnya, dan kemafsadatan
akhirat dan sebab-sebabnya, keduanya tak bisa diketahui kecuali melalui
syariat. Apabila ada yang tersamar/tidak jelas, maka kita mesti mencari
patokannya dalam dalili-dalil syara’: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang
bisa dipertanggungjawabkan, dan proses istidlal secara valid. Adapun
kemaslahatan dunia, dan sebab-sebabnya, juga kemafsadatan dunia dan
sebab-sebabnya, maka itu semua bisa diketahui berdasarkan keadaan
darurat/kemestian, pengalaman/praktik dalam dunia nyata, adat/ budaya, dan
dugaan-dugaan yang bisa dipertanggungjawabkan. Apabila ada yang tersamar, maka
dicari patokannya dari dalil-dalil tersebut.
Dari kutipan di atas kita bisa menyimpulkan, baik kemaslahatan
akhirat maupun kemaslahatan dunia sama-sama terangkum dalam bingkai Syariah.
Tapi pada saat yang sama, Syariah juga mengakui adanya perbedaan dalam cara
pengaturan keduanya. Masalahat untuk urusan akhirat mempunyai mekanisme
pengaturan yang tidak sama dengan mekanisme pengaturan maslahat untuk urusan
dunia.
Menurut Izzuddin bin Abd al-Salam, kemaslahatan akhirat hanya bisa
diketahui melalui dalil-dalil syar’i, yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dn Qiyas.
Sedangkan kemalashatan dunia bisa diketahui dengan bersandar pada “keadaan
darurat/kemestian, pengalaman/praktik dalam dunia nyata, adat/ budaya, dan
dugaan-dugaan yang bisa dipertanggungjawabkan.” Artinya, masalahat dunia
sesungguhnya bisa dirumuskan dan dikelola oleh akal budi manusia sendiri,
misalnya melalui local
wisdom, adat istiadat, tradisi dan pengalaman praktis yang
dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Dengan kata lain, penerapan aturan hukum dalam Islam ditakar dari
seberapa jauh hukum tersebut menciptakan maslahat, yakni realisasi lima prinsip
universal yang menjadi tujuan syari’ah seperti sudah disebutkan di atas.
Dengan menjadikan maslahat sebagai standar acuan, maka penerapan
hukum ta melulu tekstual, tapi juga kontekstual. Terbuka peluang bahwa
keputusan hukum dalam satu tempat bisa saja berbeda dengan keputusan hukum
tentang perkara yang sama di tempat lain. Dan bisa saja keputusan hukum di
suatu masa bisa berbeda dengan keputusan hukum tentang kasus yang sama di zaman
yang lain.
Di samping itu, kalkulus pertimbangan tentang ada tidaknya
kemaslahatan dan kemafsadatan membawa implikasi bahwa setiap putusan hukum
harus mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat. Karena itulah,
penerapan syariah yang berporos pada prinsip maslahat senantiasa mengakomodir
budaya setempat, sejauh budaya tersebut tak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah. Ini dirumuskan dalam sejumlah kaidah fiqh.
Misalnya, al-‘adah
muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan panduan penetapan hukum). Juga
kaidah “al-tsabit bi dalalah
al-‘urf ka al-tsabit bi dalalah al-nash” (Apa yang ditetapkan
dengan dalil berdasar adat sama absahnya dengan yang ditetapkan berdasarkan
petunjuk nash).
Pada titik inilah letak signifikansi ide Gus Dur tentang
“pribumisasi Islam” yang menekankan pentingnya menjadikan ‘urf (adat, budaya) dan
kebutuhan lokal sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Budaya
dan kebutuhan lokal masyarakat Indonesia, misalnya, harus menjadi pertimbangan
utama bagi Muslim Indonesia, bukan budaya Arab. Perbedaan dalam soal adat dan
budaya dengan adat dan budaya Arab zaman Nabi dan Sahabat tak dilihat sebagai
penyimpangan atau bid’ah. Ini sejalan dengan penegasan Imam Syathibi dalam Al-I’tisham:
وأيضا
إن عدّوا كل محدثات العادات بدعة، فليعدّوا جميع ما لم يكن فيهم من المآكل
والمشارب والملابس والكلام والمسائل النازلة التي لا عهد بها في الزمان الأول
بدعا، وهذا شنيع، فإن من العوائد ما تختلف بحسب الأزمان والأمكنة والإسم، فيكون كل
من خالف العرب الذين أدركوا الصحابة واعتادوا مثل عوائدهم، غير متبعين لهم، هذا من
المستنكر جدا.
Juga apabila mereka menganggap hal-hal yang baru dalam tradisi/
adat sebagai bid’ah, maka apa sajadalam soal makanan, minuman, pakaian,
perbincangan dan masalah-masalah yang muncul yang tidak ada pada zaman awal
Islam lantas semuanya dianggap sebagai bid’ah; dan ini adalah suatu pandangan
yang sama sekali keliru. Karena tiap adat istiadat itu mengalami perbedaan
berdasar waktu, tempat, dan nama.
Kalau semua itu dianggap bid’ah, maka siapa pun yang menyelisihi
masyarakat Arab yang hidup pada masa Sahabat dan yang menjalankan tradisi
mereka lantas dianggap sebagai orang yang tidak ittiba’ (tidak mengikuti) generasi awal
Islam, tentu ini pandangan yang tak bisa diterima.
Hal lain yang perlu dicatat menyangkut pribumisasi Islam dan juga
Islam Nusantara, keduanya bergerak dalam wilayah garapan al-mutaghayyirat
(aturan-aturan yang bisa berubah dalam ajaran Islam). Ini untuk membedakannya
dengan al-Tsawabit
(aturan-aturan yang permanen dalam ajaran Islam).
Yang masuk dalam kategori tsawabit
adalah wilayah aqidah
dan ubudiyah
(ritual). Prinsip tauhid, iman kepada Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, dan
percaya pada hari pembalasan merupakan hal yang baku dan tidak berubah-ubah
sepanjang masa dan di manapun. Sementara hukum-hukum yang bisa berubah (al-mutaghayyirat)
terletak dalam wilayah relasi manusia dengan manusia, yang lazim disebut mu’amalat.
Bidang ini meliputi aturan-aturan mengenai hubungan manusia dalam
keluarga, sosial, ekonomi, politik, dan pergaulan antar bangsa. Selain mu’amalat, hukum-hukum
yang bisa berubah juga terdapat dalam wilayah al-awa’id (adat dan budaya).
Dengan kerangka berpikir di atas, bisa kita katakan bahwa dalam Islam,
urusan aqidah dan ritual harus mengikuti secara persis aturan-aturan syariah,
tanpa boleh ditambah, dikurangi, atau dimodifikasi. Aturan-aturan tersebut
bersifat permanen, kapan pun dan di mana pun. Dalam ranah ini, taka da ruang
gerak bagi pribumisasi Islam. Sedangkan dalam dalam ranah mu’amalah dan adat budaya,
nash (teks
syariah) tidak mengatur detail-detail masalah dan hukum-hukumnya, melainkan
lebih menetapkan dasar-dasarnya (mabadi)
saja.
Mu’amalat dan awa’id adalah dimensi hukum Islam
yang paling luas, sekaligus dinamis dan berpotensi berubah seiring
dengan berubahnya waktu, tempat, dan kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Dan
pada ranah inilah pribumisasi Islam menjadi keniscayaan. Dirumuskan dengan cara
lain, sementara urusan ritual menempatkan nash syariah sebagai titik
berangkatnya, urusan budaya menjadikan syariah sebagai garis pembatasnya. Dalam
ranah budaya, apa pun boleh sejauh tak melanggar syariah. Dalam soal-soal
kehidupan dunia, semua boleh selama tak ada dalil yang melarangnya.
Demi Islam yang Mudah dan Jembar
Pribumisasi Islam ala Gus Dur bertolak dari asumsi bahwa menimbang budaya setempat dalam menerapkan hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat Islam sendiri dalam menjalankan agamanya. Mengapa demikian? Saya kira ini berkaitan dengan karakter agama itu sendiri yang mudah, ringan, dan jembar, dan bukannya menyusahkan, memberatkan, dan menyempitkan.
Bukankah Tuhan sendiri menegaskan bahwa agama diturunkan pada
manusia demi mempermudah kehidupannya, bukan mempersulitnya? Bukankah agama
hadir untuk meringankan, bukan memberatkan? Ini dirumuskan dengan baik oleh
Imam Ibnu Abidin Asy-Syami (1783-1836), mufti agung Damaskus bermazhab Hanafi
pada masa Turki Utsmani:
فكثير
من الأحكام تختلف باختلاف الزمان، لتغير عرف أهله، ولحدوث ضرورة،بحيث لو بقي الحكم
على ما كان عليه، للزم منه المشقة والضرر بالناس، ولخالف قواعد الشريعة المبنية
على التخفيف والتيسير ودفع الضرر والفساد، لبقاء العالم على أتم النظام، وأحسن
أحكام.
“Banyak aturan-aturan hukum Islam yang
mengalami perubahan dengan berubahnya zaman, karena adanya perbedaan ‘urf
(adat, tradisi) masyarakatnya, dan karena keadaan tak terelakkan (dlarurat).
Kalau dalam situasi seperti itu hukum yang berlaku tetap sama seperti
sebelumnya, maka itu akan menimbulkan hal yang memberatkan dan merugikan
manusia, yang justru bertentangan dengan pilar-pilar syariah yang didasarkan
pada prinsip mempermudah, meringankan, dan mencegah kemudaratan dan kerusakan,
karena tetapnya tatanan semesta bergantung pada sempurnanya tatanan dan
bagusnya hukum-hukumnya.”
Pernyataan Imam Ibnu ‘Abidin di atas adalah penegasan tentang
mengapa kontekstualisasi hukum Islam justru merupakan hal yang niscaya dari
perspektif hukum Islam sendiri. Karena kalau konteks zaman berubah tapi
aturan-aturan agama yang mestinya fleksibel dibiarkan membeku dalam masa lalu,
yang muncul justru “hal yang memberatkan dan merugikan manusia, yang justru
bertentangan dengan pilar-pilar syariah yang didasarkan pada prinsip
mempermudah, meringankan, dan mencegah kemudaratan dan kerusakan.”
Dalam arti inilah letak signifikansi makna “pribumisasi” dalam
“pribumisasi Islam” dan ajektif “Nusantara” pada Islam Nusantara. Poin utamanya
bukan kebencian terhadap Arab dan antipasti terhadap budaya Arab, melainkan
kesadaran bahwa ber-islam secara kaffah
tak lantas berarti mengganti tradisi sendiri dengan tradisi Arab, atau kembali
ke sistem khilafah. Karena itu sama saja dengan mempermanenkan hal yang
mestinya fleksibel, yang justru menampilkan keislaman yang sumpek dan
menyusahkan, bukannya keislaman yang jembar dan memudahkan.
Tatanan sosial dan politik Abad Pertengahan seperti khilafah bisa
jadi membawa maslahat pada masanya, tapi kalau diterapkan pada masa sekarang
justru bisa mengakibatkan hal yang sebaliknya.
Walhasil, pribumisasi Islam adalah cara Muslim menerapkan ajaran
Islam dengan kesadaran akan pentingnya konteks di mana ia hidup, karena dengan
kesadaran itulah ia bisa merealisasikan tujuan syariah. Upaya memperhatikan
konteks setempat dan semangat zaman adalah demi memastikan bahwa maslahat
sebagai tujuan syariah betul-betul membumi.
Dilihat dengan cara demkian, pribumisasi islam dan Islam Nusantara
sejatinya justru merupakan manifestasi dari Islam kaffah, yakni Islam yang komprehensif dan
menyeluruh. Pada saat yang sama, Islam Nusantara juga membuktikan bahwa Islam
adalah ajaran yang shalihun
li kulli zaman wa makan (cocok untuk seluruh masa dan tempat).
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tulisan ini merupakan revisi atas makalah diskusi “Gus Dur dan
Pribumisasi Islam,” Forum Jumat Pertama Gusdurian, Aula Griya
Gus Dur, Jakarta, 3 Maret 2017
[]
GEOTIMES, 4 March 2017
Akhmad Sahal | Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika
Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar