Jampi-jampi "Saya Pancasila"
Oleh: Budiarto Shambazy
Istilah "republik hamil tua" menunjukkan ketegangan
dalam hubungan PKI-TNI AD-Bung Karno. PKI merasa semakin berkuasa, membuat
khawatir TNI AD dan kekuatan-kekuatan antikomunis lainnya. Bung Karno yang
utopis ingin "berdiri di atas semua golongan" melalui Nasakom. Ia
kerap menyebut dua putra mahkota: Menteri Panglima Angkatan Darat A Yani dan
Ketua Umum PKI DN Aidit.
Mengapa Bung Karno di saat-saat akhir lebih condong pada PKI?
Fakta menunjukkan ia penemu marhaenisme sebagai marxisme Indonesia. Tradisi
marxisme berurat akar dalam pergerakan nasional sejak era radikalisasi Sarekat
Islam (SI) tahun 1917. PKI sudah memberontak terhadap Belanda di Silungkang
tahun 1927.
Tokoh-tokoh komunis/sosialis ikut berjuang melawan Belanda sejak
era SI sampai Proklamasi 1945. Ada Semaun Prawiroatmodjo, Muso, Tan Malaka,
Amir Syarifuddin, sampai Sutan Sjahrir. Seperti tangan, ada yang
"kiri" dan ada yang "kanan". Kalangan kanan menganggap PKI
berkhianat sejak pemberontakan Madiun tahun 1948.
Pertentangan ideologi domestik itu proxy war antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet sejak Revolusi Rusia 1917. RI terjebak Perang Dingin
sampai Bung Karno menggagas Konferensi Asia Afrika (KAA). Bung Karno dalam
periode 1955-1965 lelah mengurusi bangsa ini. Ia mencoba berbagai resep
konsensus nasional, termasuk konsepsi, Dekret Presiden 5 Juli 1959,
Manipol-Usdek, Nasakom, dan sebagainya.
Ia diganggu subversi AS, ditarik ke pusar persaingan Soviet-China,
dan memperjuangkan Conefo. Ia diganduli pemberontakan PRRI/Permesta, operasi
pembebasan Irian Barat, dan konfrontasi. Sebagai negara besar dan strategis, RI
menjadi ajang pertempuran antarintelijen. Yang ikut bermain tidak cuma CIA,
tetapi juga dinas intelijen Barat, komunis, Jepang, bahkan Malaysia dan Singapura.
Sejak 1960 fitnah yang diembuskan dinas-dinas intelijen jadi
santapan harian. Soal kudeta-lah, Dewan Jenderal-lah, dan yang teramat menarik,
fitnah Bung Karno sakit keras. Wajar setiap tokoh, parpol, dan kekuatan politik
ambil ancang-ancang seandainya Bung Karno tutup usia. Wajar juga konflik
PKI-TNI AD semakin memanas.
Sampai kini, Gerakan 30 September (G30S) sebuah enigma yang
misterius. Namun, konstelasi politik berubah total akibat dari G30S yang
berlangsung hanya dalam hitungan jam. G30S peristiwa yang terpisah dengan
pembunuhan massal warga tak bersalah, apalagi dengan penangkapan tanpa prosedur
hukum. Hak-hak, harta benda, dan martabat para korban dilenyapkan, dicuri, dan
diinjak-injak.
Amuk terhadap saudara sebangsa itu ditanggapi kemarahan
pemerintah, pers, serta masyarakat AS dan negara-negara Barat. Mereka semakin
geleng-geleng kepala melihat perlakuan terhadap tapol di Pulau Buru. Itu
sebabnya, Presiden AS Jimmy Carter ogah ke sini. Ratu Elizabeth turun tangan
agar eksekusi mati terhadap mantan Menlu Soebandrio dibatalkan.
G30S melahirkan Orde Baru yang mengintroduksi budaya keras. Sikap
enggan bertanggung jawab pemerintah tecermin dari kebiasaan mengoknumkan atau
mengambinghitamkan siapa saja. Selain oknum dan kambing hitam, masih ada
"ekstrem kanan", "ekstrem kiri", "setan gundul",
bahkan "OTB" (organisasi tanpa bentuk). Jika sudah kepepet, masih ada
"sisa-sisa PKI" atau "PKI gaya baru".
Budaya keras lainnya bersiasat meletuskan kerusuhan dalam
persaingan kekuasaan. Ada peristiwa Bandung '73, Malari '74, Lapangan Banteng
'82, Tanjung Priok '84, "Petrus", 27 Juli '96, Kerusuhan Mei '98,
atau Tragedi Semanggi I '98/Semanggi II '99. Dan, seperti biasa, tak ada
tersangka karena semua merasa above the law. Anda dengan mudah menemukan mereka
yang above the law cukup dengan mengikuti pemberitaan sehari-hari.
Kesimpulannya, Orde Baru tak lebih baik daripada Orde Lama. Mereka
penelikung sejati yang bertahan hidup di atas bahasa politik eufimistis.
Kenaikan harga dipelesetkan jadi "penyesuaian harga", warga miskin
menjadi "prasejahtera", atau penyebab banjir sebagai bencana buatan
manusia adalah "fenomena alam".
Ada sebuah perumpamaan bahasa Inggris, We've learnt that people
don't actually change very much. Oleh sebab itu, Orde Reformasi tak ubahnya
"Orde Baru Baru". Nyaris tak ada kultur yang berubah, hanya struktur
yang berganti. Jika Orde Baru menerapkan demokrasi setengah hati, Orde
Reformasi mempraktikkan demokrasi setengah jadi.
Seperti biasa, Pancasila kembali jadi korban. Telah lama Pancasila
jadi status simbol seperti benda keramat, mobil SUV, ikan arwana, atau
smartphone paling anyar. Pelecehan terbesar terhadap Pancasila terjadi ketika
Pak Harto bilang menyerang dirinya sama dengan menyerang Pancasila. Semoga
slogan "Saya Pancasila" yang Anda ucapkan dengan lantang bukan
jampi-jampi belaka. []
KOMPAS, 03 Juni 2017
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar