Islam Politik yang Tidak Islami
Oleh: Nadirsyah Hosen
Banyak yang berasumsi jika ayat suci dibawa ke dalam politik
kekuasaan, maka dengan sendirinya politik kekuasaan akan berjalan sesuai dengan
ajaran Islam. Pada gilirannya, semua tindakan atas nama politik dipersepsikan
sama dan sebangun dengan menegakkan kemuliaan ajaran Islam. Asumsi tersebut
tidak sepenuhnya benar. Sejarah khilafah masa silam justru menunjukkan
sebaliknya: politik kekuasaan telah membawa ayat suci jatuh dalam kubangan
kekotoran ambisi kekuasaan.
Imam al-Thabari mengisahkan kepada kita dalam kitabnya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk
(jilid 10, halaman 29), bahwa pada 28 Muharram 279 H (sama dengan 30 April 892)
–seribu seratus dua puluh lima tahun yang lalu, pada bulan yang sama, yaitu
April, Ja’far al-Mufawwad dicopot sebagai putra mahkota (wali al-‘ahd) oleh
ayahnya sendiri, Khalifah al-Mu’tamid (842-892). Ja’far digantikan oleh saudara
sepupunya, al-Mu’tadhid (861-902).
Imam al-Thabari sendiri berusia sekitar 50 tahun saat kejadian
itu. Beliau menyelesaikan 11 jilid kitabnya di usia 70 tahun. Para sejarawan
berpatokan pada kitab Tarikh-al-Thabari ini untuk memahami sejarah masa silam.
Bukan saja catatannya otentik, tapi beliau juga menceritakan apa adanya.
Catatan al-Thabari menunjukkan betapa rumitnya persoalan kekuasaan khilafah itu
berikut intrik politiknya.
Begini kisahnya. Ketika al-Mu’tamid menggantikan ayahnya yang mati
dibunuh, yaitu Khalifah al-Muhtadi setelah hanya setahun berkuasa, al-Mu’tamid
memegang kekuasaan tapi sesungguhnya dia seorang yang lemah. Yang mengatur
kekuasaan sesungguhnya adalah saudaranya sendiri, yaitu al-Muwaffaq (842-891).
Putra al-Mu’tamid, yaitu al-Mufawwad, dijadikan putra mahkota dan
menguasai wilayah barat, sedangkan saudaranya khalifah, yaitu Al-Muwaffaq,
menguasai daerah timur, dan menjadi wakil putra mahkota. Ada kesepakatan kalau
al-Mu’tamid wafat dan anaknya al-Mufawwad masih belum cukup dewasa, maka
al-Muwaffaq yang naik.
Al-Muwaffaq memiliki seorang anak yang merupakan jenderal perang
yang hebat, yaitu al-Mu’tadhid. Entah kenapa al-Muwaffaq memenjarakan anaknya
selama dua tahun di Baghdad. Namun, di kalangan militer, nama Jenderal
al-Mu’tadhid sangat terkenal. Ketika al-Muwaffaq sakit parah, Gubernur Baghdad
meminta Khalifah al-Mu’tamid menjenguk saudaranya yang tengah sekarat, dengan
harapan ini bisa mencegah bebasnya sang Jenderal al-Mu’tadhid dari sel penjara.
Sayangnya, rencana Gubernur Baghdad itu gagal total. Militer masih
setia pada sang Jenderal, dan Khalifah al-Mu’tamid tidak punya pilihan selain
mengangkat jenderal yang notabene keponakannya sebagai penguasa wilayah barat
menggantikan ayahnya yang pernah memenjarakannya.
Pengaruh sang Jenderal tidak berhenti sampai di situ. Seperti di
singgung di atas, Khalifah sampai tega mencopot posisi putra mahkota dari
anaknya sendiri, al-Mufawwad, dan memberikannya kepada keponakannya, Jenderal
al-Mu’tadhid. Imam Thabari mencatat bahwa surat pemberitahuan pergantian putra
mahkota langsung dikirimkan ke provinsi dan wilayah, serta diumumkan selepas
salat Jum’at beberapa hari kemudian.
Sang Jenderal yang kekuasaanya menjadi sangat luas mulai
menangkapi para pejabat yang dulunya setia kepada ayahnya. Ingat, ayahnya
sendiri yang menjebloskan dia ke penjara. Tidak menunggu lama, lima bulan
kemudian, al-Mu’tadhid berkuasa menjadi khalifah, setelah pada 14 oktober 892
Khalifah al-Mu’tamid meninggal dunia.
Imam Thabari melaporkan meninggalnya sang Khalifah dengan cukup
mencurigakan. Malamnya sehabis minum-minum dan makan banyak, Khalifah tidur dan
meninggal. Nasib al-Mufawwad, mantan putra mahkota, juga tidak jelas setelah
itu. Spekulasi beredar di kalangan sejarawan lain bahwa al-Mufawwad telah
dibunuh, dan wafatnya Khalifah al-Mu’tamid karena diracun. Wa Allahu a’lam.
Saya pernah menceritakan pada tulisan saya yang lain
(http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/politisasi-ayat-dan-hadits-dalam-sejarah-islam) bagaimana Khalifah al-Mu’tadhid memainkan isu agama dengan sangat politis, utamanya dalam mengecam sahabat Nabi, yaitu Khalifah Mu’awiyah, dan para pendiri Khalifah Umayyah. Khalifah al-Mu’tadhid juga langsung mengangkat sejumlah kawan dekatnya, yaitu Ubaid Allah bin Sulaiman sebagai Perdana Menteri (Wazir).
(http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/politisasi-ayat-dan-hadits-dalam-sejarah-islam) bagaimana Khalifah al-Mu’tadhid memainkan isu agama dengan sangat politis, utamanya dalam mengecam sahabat Nabi, yaitu Khalifah Mu’awiyah, dan para pendiri Khalifah Umayyah. Khalifah al-Mu’tadhid juga langsung mengangkat sejumlah kawan dekatnya, yaitu Ubaid Allah bin Sulaiman sebagai Perdana Menteri (Wazir).
Sewaktu Ubaid meninggal pada tahun 901 (sekitar 10 tahun
menjabat), yang menggantikannya sebagai Wazir adalah anaknya sendiri, yaitu
al-Qasim. Jadi, bukan saja ada tradisi mengangkat keturunan sendiri sebagai
khalifah, namun juga mengangkat anak perdana menteri menggantikan ayahnya.
Dalam bahasa modern ini jelas nepotisme yang bahkan tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi dan keempat Khulafa al-Rasyidin.
Berbeda dengan ayahnya yang dianggap sebagai Wazir yang jujur,
Qasim ini lumayan brutal. Ketika Khalifah al-Mu’tadhid meninggal di usia 48
tahun, pada 5 April 902, al-Qasim memenjarakan semua pangeran untuk mencegah
perebutan kekuasaan, sampai putra mahkota al-Muktafi tiba dari wilayah Raqqa ke
Baghdad.
Khalifah yang baru, al-Muktafi, masih berusia 25 tahun saat itu,
dan Qasim dengan cepat mempengaruhi khalifah baru. Al-Muktafi di Raqqa
mengangkat sekretaris yang bernama al-Husayn bin Amr. Imam Thabari melaporkan
bahwa sekretaris ini beragama Kristen. Sampai di sini kita paham bahwa sejarah
islam menunjukkan non-Muslim pun pernah diangkat menjadi pejabat penting.
Namun, Qasim mencopotnya dan menggantikan al-Husayn bin Amr dengan
anak Qasim sendiri sebagai sekretaris Khalifah. Qasim juga mengatur penangkapan
dan pembunuhan terhadap orang dekat Khalifah sebelumnya yang dikhawatirkan
mengganggu posisi Qasim dan Khalifah al-Muktafi. Nama-nama mereka yang dibunuh
di antaranya Emir wilayah Safarid yaitu Amr Laits Shafari, Jenderal Abu Najm
Badr, yang telah menjabat sejak masa Khalifah al-Mu’tadhid, bahkan penyair Ibn
Rumi. Semua dilakukan atas nama politik kekuasaan dengan imbuhan ayat suci.
Sejarah khilafah bukan saja memberi kita kisah gilang gemilang
masa kejayaan Islam, tapi juga sejarah kelam politisasi ayat suci demi
kekuasaan. Imam al-Thabari telah mencatatnya dengan rapi dan dijadikan rujukan
para ahli. Sayangnya, para pendukung khilafah tidak mau mengungkapkan cerita
kelam ini karena mereka beranggapan “khilafah berdiri, semua persoalan
selesai.”
Apa pelajaran penting yang bisa kita ambil? Pengangkatan khilafah
setelah masa Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan oleh dinasti: kekuasaan
berlanjut turun temurun berdasarkan keturunan. Bukan berdasarkan pemilihan atas
dasar kemampuan personal dan pilihan rakyat.
Dalam sejarah khilafah Umayyah dan Abbasiyah, tidak ada yang
namanya pemilihan umum secara langsung yang melibatkan rakyat. Tentu ini
menjadi aneh ketika kemudian pada masa negara demokrasi modern ada yang
teriak-teriak hendak kembali menegakkan khilafah, tapi pada saat yang sama
melarang Muslim memilih non-Muslim menjadi gubernur lewat pemilihan umum secara
langsung.
Zaman khilafah saja tidak ada pemilihan umum, kok mereka memakai
ayat suci untuk Pilkada Jakarta seperti saat ini? Mereka seolah bukan hidup di
tahun 2017; boleh jadi mereka harus kembali ke masa silam seribu tahun yang
lampau untuk memahami intrik politik Khalifah al-Mu’tamid, al-Mu’tadhid, dan
al-Muktafi berikut para putra mahkota dan Wazirnya.
Intrik politik pengangkatan khalifah yang berujung pada
pembunuhan, peracunan, dan penangkapan itu terjadi karena suksesi dilangsungkan
tanpa melalui pemilihan umum. Beruntunglah praktik nepotisme ala khilafah
Umayyah dan Abbasiyah tidak berlaku lagi di negara demokrasi.
Bayangkan kalau khilafah berdiri kembali, maka pemilihan presiden dan
pemilihan kepala daerah akan dihapuskan dan pengangkatan pemimpin semata
berdasarkan darah keturunan; rakyat hanya menonton saja. Masak, sih, Anda mau
kembali ke sistem pemeritahan model khilafah ini? Mikirrrr! []
GEOTIMES, 14 April 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New
Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar