Mukjizat Indonesia
Oleh: Azyumardi Azra
Hampir setahun terakhir, kian banyak kalangan—baik elite maupun
warga biasa—di Tanah Air mencemaskan masa depan Indonesia. Pemilihan Kepala
Daerah DKI Jakarta penuh ketegangan berwarna religio-politik komunal
menciptakan friksi dan pembelahan ketat (watertight split) di antara para
pemilih. Sementara itu, ancaman kekerasan yang dilakukan kelompok teroris juga
belum berakhir. Bom bunuh diri di Kampung Melayu (24 Mei 2017) yang menewaskan
tiga polisi muda—yang semuanya Muslim—beserta kedua pengebom bunuh diri
(suicide bombers) yang beragama sama.
Entah apa yang ada dalam pikiran dan hati kedua pengebom bunuh
diri beserta sel teroristiknya. Aksi bunuh diri yang menewaskan ketiga anggota
Polri itu dan melukai banyak orang lain jelas bukan jihad. Aksi bunuh diri
berujung pada dosa ganda: dosa membunuh diri sendiri dan dosa membunuh orang
lain.
Seiring puasa Ramadhan 1438 Hijriah, kaum Muslim tidak hanya
menahan diri dari makan minum dan berhubungan suami-istri sejak terbit fajar
hingga tenggelam matahari, juga diharapkan mampu mengendalikan hawa nafsu lain,
khususnya kemarahan dan angkara murka. Namun, tidak ada jaminan di masa setelah
puasa nanti, nafsu angkara murka lenyap dalam religio-politik komunal dan aksi
kekerasan. Karena itu, kewaspadaan dan ketahanan warga perlu terus
ditingkatkan.
Kecemasan terhadap masa depan Indonesia juga meningkat di luar
negeri, baik di kalangan pemerintahan, LSM, maupun aktivis. Meskipun persepsi
mereka sering tipikal bias yang terkerangka sejak lama, kekhawatiran mereka
perlu dipertimbangkan.
Banyak negara Eropa cenderung memersepsikan Indonesia atas dasar
pengalaman historis panjang dengan konflik panjang berdarah-darah di antara
negara-negara Eropa sendiri. Benua ini sebelum akhir Perang Dunia II relatif
homogen secara ras dan etnis (Kaukasian atau kulit putih) dan agama
(Kristianitas) akhirnya terbelah menjadi banyak (sekitar 52) negara besar
kecil.
Oleh karena itulah mereka mencemaskan Indonesia yang sejak zaman
”antah-berantah” telah heterogen dari segi ras, etnis, agama, budaya, tradisi,
bahasa, dan stratifikasi sosial. Bagi mereka, semua keragaman dan perbedaan ini
pernah dan terus dapat menjadi liabilitas (sebenarnya sekaligus menjadi aset
dan potensi) Indonesia untuk terpecah belah.
Dalam konteks itu administratur dan penulis Inggris, JS Furnivall,
dalam karya klasiknya, Netherlands India: A Study of Plural Economy (1939),
mengajukan skenario kiamat (doomed scenario) bagi Hindia Belanda (Indonesia).
Ia berargumen, jika Belanda tidak dapat (kembali) berkuasa di Hindia Belanda,
negara ini bakal terpecah belah karena dalam pluralitasnya yang luar biasa,
tidak ada satu faktor pun yang dapat mempersatukan.
Skenario kelam tentang Indonesia juga berkembang di kalangan
Indonesianis ketika Indonesia mengalami transisi dari otoritarianisme menjadi
demokrasi pada 1997-1998 dan selanjutnya. Krisis ekonomi, politik, dan sosial
seputar masa kini, mereka pandang bakal menjerumuskan Indonesia ke dalam
Balkanisasi. Dalam skenario Balkanisasi, Indonesia bakal pecah berkeping-keping
seperti negara-negara Semenanjung Balkan dalam transisi demokrasi di awal
1990-an.
Skenario Balkanisasi ini terus bertahan sampai sekarang karena
adanya gerakan separatis di Papua dan berbagai kelompok Muslim yang aktif
berusaha menciptakan negara Islam (dawlah Islamiyah) atau khilafah. Kelompok
ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dan mayoritas absolut warga yang
berkomitmen pada NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Oleh sebab itu, Indonesia bersatu, khususnya sejak Perang Dunia II
sampai sekarang, dianggap kalangan Indonesianis sebagai keajaiban atau
mukjizat. Meski Indonesia pernah mengalami krisis politik, ekonomi, dan sosial
(pascaproklamasi kemerdekaan 1945; gerakan 30S/PKI 1965; dan krisis moneter,
ekonomi, politik, dan sosial 1997-1998); negara ini tetap utuh bersatu—’it is
indeed a miracle’, benar-benar mukjizat.
Keajaiban Indonesia bertahan. Bahkan kalangan asing juga menyebut
sejumlah alasan kuat, dengan mukjizatnya Indonesia tengah melangkah menuju
negara ekonomi ketujuh terbesar di dunia atau menjadi negara kelima terkuat
ekonominya menjelang 2025.
Akan tetapi, mencermati perkembangan politik, sosial, dan
keagamaan belakangan ini, bukan tidak mungkin mukjizat Indonesia bakal
berakhir. Keajaiban Indonesia memang tak bisa otomatis dapat terus berlanjut
mengingat pernah bertahannya mukjizat itu di masa krisis dan kritis yang
disebutkan tadi.
Oleh karena itu, sambil berharap tetap berlaku mukjizat itu,
pemerintah, organisasi kemasyarakatan, LSM, dan masyarakat sipil perlu serius
menjaga keutuhan dan kesatuan Indonesia di tengah kebinekaannya. Perlu
konsolidasi dan penguatan kembali rajutan tenunan masyarakat dan kohesi sosial,
budaya, agama, politik, dan ekonomi Indonesia.
Karena itu, perlu upaya komprehensif, holistik, dan integratif.
Dalam kaitan itu, perlu adanya ”strategi kebudayaan”; tidak hanya untuk
merespons berbagai perkembangan dan dinamika Indonesia hari ini, tetapi
menjangkau ke depan—Indonesia yang terbayangkan (imagined Indonesia), misalnya
2045 ketika Indonesia mencapai kemerdekaan 100 tahun (Kompas 23/5).
Strategi Kebudayaan Indonesia menuju 2045 niscayalah berorientasi
untuk memperkuat Indonesia bersatu, demokratis, maju, berjati diri, dan
mandiri. Indonesia seperti ini adalah Indonesia yang penuh harkat dan marwah
baik ke dalam maupun ke luar.
Sebagai salah satu negara besar di dunia, strategi kebudayaan itu
sekaligus mengorientasikan Indonesia untuk memainkan peran lebih besar di
tingkat internasional. Dengan begitu, Indonesia dapat berkontribusi lebih
signifikan untuk penciptaan peradaban lebih maju, aman, dan berkeadilan. []
KOMPAS, 30 Mei 2017
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan
Humaniora ; UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar