Rabu, 21 Juni 2017

(Ngaji of the Day) Hukum Ucapan Radhiyallahu 'Anhu saat Shalat Tarawih



Hukum Ucapan Radhiyallahu 'Anhu saat Shalat Tarawih

Pertanyaan, apakah seruan dengan suara keras setiap setelah dua rekaat sholat tarawih itu bidah atau tidak? Contoh, تَرَضُواعَن سَيِّدناَ أَبِي بَكَر الصِدِيْق dan kemudian orang-orang yang sholat menjawab, رَضِيَ اللّه عَنْه Apa hukumnya hal tersebut menurut Islam?

Jawaban, Meninggikan suara ketika berdoa atau berdzikir baik setelah shalat atau di waktu waktu yang lain sama sekali itu bukan bidah, karena dengan suara keras itu kuat dalilnya berdasarkan beberapa hadits Nabi yang ada, di antaranya hadits Ibnu Abas RA di dalam riwayat Bukhari bahwa meninggikan suara waktu zikir setelah shalat ada pada zaman Rasulullah (HR Bukhari/805), dan Hadits Ibnu Zubair RA, “Setelah salam dari shalat, Rasulullah SAW berkata dengan suara keras,

لَاإِلَهَ إِلَّا اللّه  وَحْدَهُ  لَا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ وَهُوَ عَلَىَ كُلِ شَيْئٍ قَدِيْرٌ"

(HR Muslim/ 593, Musnad Syafi’iy/288, dan Baihaqi/ 990).

Al-‘Aquliy mengatakan, di dalam hadits ini adalah dalil kesunahan mengeraskan suara ketika berzikir setalah shalat, hal ini disebutkan Ibnu ‘Alan di dalam penjelasannya atas kitab Al-Adzkar, (Juz 3, halaman 39).

Bidah tidaklah ada kecuali pada sesuatu yang bertentangan dengan sunah seperti orang memelankan suara di dalam shalat yang seharusnya meninggikan suara, seperti di waktu shalat maghrib, isya, shubuh, Jumat dan shalat idul fitri dan adha...dst. atau dia mengeraskan suara di waktu seharusnya memelankan suara seperti mengeraskan suara di waktu zuhur, ashar, dan semisalnya.

Adapun yang tidak ada nash yang menerangkan apakah harus dengan suara keras atau pelan, maka itu diserahkan kepada pilihan umat Muslim, baik memilih dengan suara keras atau dengan suara pelan. Cara mengeraskan suara ketika berzikir inilah yang sering kali oleh orang-orang garis keras mereka bersikap keras dan membidahkannya secara mutlak.

Adapun masalah mengucapkan, “radhiyallah ‘anhu (taradhi) kepada para para khalifah di dalam shalat tarawih, para ulama Hadramaut sungguh telah mengaturnya demi tujuan agama dan menjadikannya sebagai strategi untuk kepentingan syariah (as-siyasatus syar’iyyah). Hal itu karena Hadramaut pernah melewati zaman yang dipimpin oleh sekolompok orang yang berpaham khawarij, yang mereka merendahkan derajat sebagian sahabat Nabi. Maka demi mengukuhkan aqidah kepada shahabat Nabi ini dan untuk memuliakan mereka serta mengurutkan kemuliaan mereka, maka diciptakanlah cara tersebut.

Ini adalah tindakan yang sangat terpuji dan saya tidak mengatakan hal ini adalah bidah yang sesat, dan hal itu juga bukan sunah. Barangsiapa mau melakukannya hal itu, sungguh dia telah melakukan amal yang terpuji. Barangsiapa tidak melakukannya, maka dia tidak berdosa. Taradhi kepada sahabat Nabi adalah sebuah doa yang akan diberi pahala bagi mereka yang mau melakukannya. ***

Artikel ini dikutip dari Kitab Fatawa Ramadhan halaman 117-119 karya Sayid Abdulllah bin Mahfudz bin Muhammad Al-Haddad (1342 H-1417 H), ulama Hadramaut pendiri Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Artikel ini dialihbahasakan oleh alumni Universitas Al-Ahgaff, Zarnuzi Gufron. Pengalih bahasa kini mengasuh Pondok Pesasntren Darul ‘Amal, Lampung.

[]

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar