30 Tahun Beristighfar
atas Ucapan Alhamdulillah
Seorang arif biLlah,
Syekh Sariy Saqathy (wafat th. 253 H./967 M.) murid sufi besar Ma’ruf Karkhy,
pernah berkata: “Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampun kepada Allah
atas ucapanku sekali ‘Alhamdulillah’!”
“Lho, bagaimana itu?” tanya seseorang yang mendengarnya.
“Begini. Terjadi kebakaran di Baghdad,” kata Syekh menjelaskan, “lalu ada orang yang datang menemuiku dan mengabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu itu spontan mengucap, Alhamdulillah! Maka ucapan itulah yang kusesali selama 30 tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain.”
Tiga puluh tahun Syekh Sariy menyesali ucapan Alhamdulillahnya. Beliau menyesal karena sadar—sekejab setelah melafalkan ungkapan syukurnya itu—bahwa dengan ungkapan syukurnya itu berarti beliau masih sangat tebal perhatiannya kepada diri sendiri. Begitu tebalnya hingga menindih kepekaan perhatiannya kepada sesama.
Sekejab beliau
tersadar: alangkah degilnya orang yang mensyukuri keselamatan sebuah toko pada
saat keselamatan sesama dan harta benda mereka terbakar habis. Alangkah
musykilnya orang yang sanggup menyatakan kegembiraan di saat musibah menimpa
sebagian besar saudara-saudaranya.
Meski saya, atau mungkin juga anda, bukan wali Allah yang bersih; adalah sangat mudah memahami penyesalan mulia orang suci --paman Bapak para sufi Al-Junaid—itu. Kecuali bila hati kita memang sudah sedemikian membatu oleh kecintaan kita yang berlebihan kepada diri sendiri dan dunia. Na’udzubillah. []
Cerita ini
disampaikan KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) di akun Facebook pribadinya pada 24
Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar