Senin, 30 November 2020

(Do'a of the Day) 15 Rabiul Akhir 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Yaa maalika yaumid diin, iyyaaka a'budu wa iyyaaka asta'iinu.

 

Wahai Tuhan Penguasa hari kemudian, hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 5, Bab 8.

Peran Ulama Pesantren dalam Membangkitkan Pergerakan Nasional

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang merupakan wadah untuk menempa ilmu-ilmu agama. Selain berperan di bidang pendidikan, pesantren juga lekat dengan kehidupan sosial-masyarakat. Pesantren hadir melakukan pemberdayaan dan solusi problematika umat sehingga sejak berdirinya, pesnatren tidak tercerabut dari akar sosial-masyarakatnya.

 

Peran itulah yang membuat pesantren juga menjelma sebagai wadah pergerakan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisme. Jika dirunut perjuangan dan langkah-langkah diplomasi yang dilakukan para kiai, pesantren merupakan satu-satunya wadah yang tidak terpengaruh oleh kepentingan politik kolonial. Baik pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang.

 

Berbagai macam cara dilakukan oleh para ulama pesantren agar dapat melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan, baik melalui pendidikan, kemandirian dan pemberdayaan ekonomi, organisasi pemikiran, dan lain-lain. Wadah atau perkumpulan yang didirikan oleh para kiai bertujuan menyadarkan spirit perjuangan bangsa Indonesia, memperkuat cinta tanah, dan melakukan perlawanan kultural.

 

Peran ulama pesantren begitu nyata dalam membangun pondasi kekuatan bangsa secara embrionik melalui perkumpulan para pemuda dengan komitmen cinta tanah air yang berhasil dilakukan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah beberapa tahun setelah dr Soetomo mendirikan organisasi pemuda bernama Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 sebagai titik pijak kebangkitan nasional.

 

Semangat Abdul Wahab muda sekitar tahun 1914 setelah pulang dari menuntut ilmu di Mekkah merasa tidak bisa memaksimalkan seluruh kemampuan berpikir dan bergeraknya saat menjadi salah satu bagian dari Syarikat Islam (SI) dengan tokoh utamanya Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

 

Kiai Wahab merasa tidak puas jika belum mendirikan organisasi sendiri. Karena dalam pandangannya, SI terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedangkan dirinya menginginkan tumbuhnya nasionalisme di kalangan pemuda melalui kegiatan pendidikan.

 

Singkatnya pada tahun 1916, KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dengan bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan).

 

Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pejuang, pemuda berilmu, dan cinta tanah air. Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyayikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Syubbanul Wathan.

 

Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar (kebangkitan pemikiran).

 

Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische Studieclub, Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air), dan kursus masail diniyyah bagi para ulama muda pembela mazhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, yakni membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah.

 

Kiai Wahab telah membuktikan diri bahwa internalisasi semangat nasionalisme sangat efektif diwujudkan melalui ranah pendidikan. Hal ini dilakukan dengan masif di berbagai pesantren sehingga peran ulama pesantren sendiri diakui oleh dr Soetomo (Bung Tomo) sebagai lembaga yang berperan besar dalam membangun keilmuan yang kokoh bagi bangsa Indonesia sekaligus dalam pergerakan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan.

 

Dalam salah satu sumber historis, Bung Tomo berkata: “Sebelum gopermen Hindia Belanda membuka sekolahnja, pada waktoe itoe, pesantrenlah jang mendjadi soember pengetahoean, mendjadi mata air ilmoe bagi bangsa kita boelat-boelatnja”.

 

Selain itu dia juga memberikan pernyataan jelas terkait nasionalisme yang terus dibangun oleh kalangan pesantren. Bung Tomo berkata: “Pesantren adalah konservatorium nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Andai tidak ada pesantren, andai kata tokoh-tokoh Indonesia hanya mendapatkan pendidikan Barat, kiranya sulit mengajak mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.”

 

Semacam testimoni dr Soetomo tersebut bukan isapan jempol belaka. Tokoh-tokoh ulama dan kiai tidak hanya menginspirasi kalangan pesantren, tetapi juga memberikan spirit (ruh) perjuangan kepada para tokoh nasional seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain sebagainya.

 

Tokoh perjuangan dari kalangan nasionalis itu secara mantap menjadikan ulama sebagai pelabuhan berpikir dan bertindak dalam melakukan perjuangan kemerdekaan saat itu, terutama kepada KH Muhammada Hasyim Asy’ari yang kerap kali menjadi tempat meminta pendapat bagi para pemuda pergerakan nasional dalam melawan menjajah.

 

Bahkan Kiai Hasyim Asy’ari merumuskan ‘dalil’ bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman, hubbul wathani minal iman yang berhasil membuat bangsa Indonesia tergerak untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

 

Artinya, memperjuangkan kemerdekaan rakyat dari belenggu penjajah sama dengan menegakkan agama. Karena di tanah air Indonesia yang merdeka inilah, nilai-nilai agama Islam bisa tumbuh dan berkembang.

 

Selain spirit nasionelisme dan pemikiran berbasis keilmuan pesantren yang ingin dibangkitkan, Kiai Wahab Chasbullah juga mengumpulkan para pengusaha atau saudagar-saudagar pesantren dalam perkumpulan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) yang didirikannya pada 1918.

 

Tujuan utamanya memperkuat pemberdayaan dan kemandirian, tidak terpenjara dengan politik-politik kolonial yang kerap mengiming-imingi materi sehingga bangsa Indonesia terus terjajah dan martabat bangsa tergadaikan.

 

Saking pentingnya membangun kemandirian ekonomi ini, Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari sendiri yang mendorong para pemuda dan kalangan pesantren untuk memaksimalkan pendirian koperasi melalui spirit Nahdlatut Tujjar.

 

“Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi di mana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom untuk menghidupi para pendidik dan penyerap laju kemaksiatan.” (Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari – Deklarasi Nahdlatut Tujjar 1918 dalam Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011).

 

Dari perkumpulan Nahdlatut Tujjar, perjuangan para kiai pesnatren makin kokoh dalam upaya melawan kolonialisme Hindia-Belanda. Semua perjuangan kiai-kiai melalui pendidikan, dan lain-lain tertunjang dengan kebangkitan para pedagang yang digerakkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah.

 

Spirit kebangkitan ke arah yang lebih baik untuk kepentingan rakyat banyak, itulah ruh perjuangan yang digelorakan oleh KH Hasyim Asy’ari beserta para ulama lain dan Bung Tomo sebagai pendiri Boedi Oetomo yang dinilai sebagai organisasi modern pertama yang memulai penggalangan kesatuan nasional. []

 

(Fathoni Ahmad)

(Ngaji of the Day) Aturan Mufaraqah Makmum dari Imam dalam Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah merupakan salah satu ibadah yang hukumnya adalah sunnah muakkad atau sunnah yang sangat dianjurkan. Bahkan, sebagian ulama menyebut hukumnya fardhu kifayah (wajib kolektif), sehingga jika suatu daerah sama sekali tidak ada yang mendirikan shalat berjamaah, maka seluruh penduduk di daerah tersebut terkena dosa.

 

Dalam melaksanakan shalat berjamaah, kadang muncul problem yang perlu disikapi dalam tinjauan syara’. Misalnya tentang perincian dan aturan hukum memisahkan diri dari imam di pertengahan melaksanakan shalat berjamaah, atau biasa disebut dengan istilah mufaraqah.

 

Mufaraqah sendiri dapat terjadi ketika makmum melakukan niat memisahkan diri dari imam dengan melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri. Misalnya dalam hati makmum melafalkan niat “Nawaitu mufaraqatal imam” atau “Nawaitu al-mufaraqah minal imam”, atau “Saya berniat memisahkan diri dari imam”, maka pada saat itu pula makmum tidak diperbolehkan untuk mengikuti atau mengiringi gerakan-gerakan rukun imam seperti makmum-makmum lain yang tidak mufaraqah. Sebab ia sudah dianggap shalat sendirian, sehingga gerakan rukun-rukunnya ditentukan berdasarkan runtutan shalat dirinya sendiri, bukan berdasarkan pada shalat imam.

 

Hukum asal dari memisahkan diri dari imam (mufaraqah) dengan tanpa adanya uzur adalah makruh dan dapat menghilangkan fadilah jamaah. Misalnya, tanpa adanya sebab apa pun, makmum tiba-tiba mufaraqah. Berbeda halnya ketika mufaraqah dilakukan makmum karena motif yang baik, misalnya ketika makmum melihat imam tidak melakukan kesunnahan, seperti tahiyyat awal, maka dalam keadaan demikian, sunnah bagi makmum untuk mufaraqah guna melaksanakan kesunnahan yang ditinggalkan oleh imam. Perincian hukum tentang mufaraqah ini selaras dengan penjelasan dalam kitab Nihayah az-Zain:

 

ونية المفارقة بلا عذر مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة فلا يحرم عليه قطع القدوة بنية المفارقة وإن قلنا إن الجماعة فرض كفاية لأن فرض الكفاية لا يلزم بالشروع فيه إلا في الجهاد وصلاة الجنازة والحج والعمرة ومحل جواز ذلك ما لم يترتب على ذلك تعطيل الجماعة كأن لم يكن هناك إلا إمام ومأموم وإلا حرم لأن فرض الكفاية إذا انحصر تعين فإن كانت المفارقة لعذر كمرض وتطويل إمام وتركه سنة مقصودة وهي ما جبر بسجود السهو أو قوي الخلاف في وجوبها أو وردت الأدلة بعظيم فضلها فلا كراهة ولا تفويت

 

“Niat memisahkan diri dari imam (mufaraqah) tanpa adanya uzur adalah hal yang makruh dan dapat menghilangkan fadilah jama’ah. Maka tidak haram bagi makmum memutus hubungan dengan imam dengan niat mufaraqah. Meskipun kita berpijak pada pendapat yang mengatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya adalah fardhu kifayah. Sebab fardhu kifayah tidak menjadi tetap (wajib) dengan melaksanakannya kecuali dalam bab Jihad, shalat janazah, haji, dan umrah. Ketentuan bolehnya mufaraqah ini selama tidak berakibat pada sepinya jamaah dalam suatu daerah, misalnya seperti tidak ada seorang pun yang shalat berjamaah kecuali imam dan makmum tersebut. Jika kasus terakhir ini terjadi maka haram bagi makmum untuk mufaraqah, sebab fardhu kifayah ketika teringkas pada seseorang, maka berubah menjadi fardhu ‘ain. Jika mufaraqah karena adanya uzur, maka tidak makruh dan tidak menghilangkan fadilah jamaah, seperti makmum merasa sakit, imam memanjangkan shalatnya, atau imam meninggalkan sunnah maqsudah, yakni sunnah-sunnah yang diganti dengan sujud sahwi atau sunnah yang begitu kuat perkhilafan ulama tentang wajibnya melaksanakan sunnah tersebut, atau sunnah yang terdapat dalil yang menunjukkan besarnya fadilah melakukannya” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain, hal. 129).

 

Di samping itu, terdapat pula keadaan di mana wajib bagi makmum untuk mufaraqah dari imamnya, yakni saat makmum mengetahui imam melakukan hal-hal yang membatalkan shalat, misalkan makmum mengetahui pakaian imam terkena najis yang tidak ditoleransi (ma'fu) atau makmum mendengar kentutnya imam saat sedang shalat. Dalam keadaan demikian wajib baginya mufaraqah dari imam agar shalat makmum tersebut bisa tetap dihukumi sah.

 

Sehingga jika dirangkum secara menyeluruh, dalam hukum mufaraqah terdapat lima perincian hukum yang berlaku bagi makmum, sesuai keadaan dan kondisi yang terjadi pada saat shalat berjamaah. Lima perincian ini secara jelas disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin dengan mengutip kitab Kasyf an-Niqab:

 

والحاصل أن قطع القدوة تعتريه الأحكام الخمسة واجبا ، كأن رأى إمامه متلبسا بمبطل وسنة لترك الإمام سنة مقصودة ، ومباحا كأن طول الإمام، ومكروها مفوتا لفضيلة الجماعة إن كان لغير عذر ، وحراما إن توقف الشعار عليه أو وجبت الجماعة كالجمعة اهـ.

 

“Kesimpulannya, memutus hubungan dengan imam terdapat lima rincian hukum. Pertama, wajib, seperti saat makmum melihat imam melakukan hal yang membatalkan shalat. Kedua, sunnah, yakni ketika imam meninggalkan sebuah kesunnahan yang dianjurkan (dalam shalat). Ketiga, mubah, seperti ketika imam memanjangkan shalat. Keempat, makruh dan dapat menghilangkan fadilah jamaah, yakni ketika mufaraqah tanpa adanya uzur. Kelima, haram, Yakni ketika syiar shalat berjamaah hanya terwujud pada dirinya atau ketika jamaah merupakan suatu kewajiban, seperti pada shalat Jumat” (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 153)

 

Hendaknya bagi orang yang melaksanakan shalat berjamaah—khususnya para makmum—agar betul-betul memahami ketentuan serta perincian hukum tentang mufaraqah ini, hal ini dimaksudkan agar makmum betul-betul dapat menyikapi berbagai problem dalam shalat berjamaah, khususnya yang berkaitan dengan perbuatan imam shalatnya. Dengan begitu shalat berjamaah yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan benar. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

BamSoet: Sejumlah Persoalan Perlu Dibenahi Sebelum Vaksinasi

Sejumlah Persoalan Perlu Dibenahi Sebelum Vaksinasi

Oleh: Bambang Soesatyo

 

Vaksinasi untuk mendapatkan kekebalan dari virus Corona tidak boleh rumit atau membebani masyarakat. Semua kerumitan tentang data dan informasi, masalah distribusi hingga faktor harga vaksin harus dirancang dengan efektif sejak dini.

 

Menyadari ekses dari penularan virus corona SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab infeksi COVID-19, sebagian besar masyarakat cukup antusias menunggu hadirnya vaksin corona. Didukung UNICEF dan WHO, hasil survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat, yakni 64,8 persen responden, menyatakan bersedia menggunakan vaksin corona yang akan diberikan pemerintah.


Karena penularan virus ini begitu sulit dihentikan, kehadiran vaksin menjadi harapan semua orang guna mendapatkan kekebalan dari virus Corona. Merespons progres pembuatan vaksin oleh Bio Farma-Sinovac yang dipublikasikan secara berkelanjutan, keyakinan sebagian masyarakat terus bertumbuh. Dari progres itulah banyak orang mulai berani membuat perkiraan bahwa pemulihan dinamika kehidupan bisa diwujudkan setelah program vaksinasi berskala nasional direalisasikan.


Apalagi, informasi tentang progres pembuatan vaksin dari berbagai negara terus mengalir di ruang publik. Selain dari Tiongkok, dua perusahaan farmasi dari Amerika Serikat (AS), Moderna dan Pfizer, baru-baru ini berani mempublikasikan keampuhan vaksin buatan mereka. Moderna mengklaim keampuhan vaksin buatannya mencapai 94,5 persen. Sedangkan Pfizer dan mitranya, BioNTech, mengaku keampuhan vaksin buatan mereka mencapai 95 persen. Dari Eropa, vaksin yang dikembangkan oleh AstraZeneca bersama Universitas Oxford mungkin akan mengajukan klaim yang tidak jauh berbeda.


Sambil menunggu hadirnya vaksin di dalam negeri, ada sejumlah persoalan yang mendesak untuk dibenahi, guna menghindari kerumitan dan kesimpangsiuran saat vaksinasi mulai dilaksanakan. Karena itu, sejak persiapan hingga pelaksanaan vaksinasi, tata kelola harus diupayakan efektif. Kesimpangsiuran informasi harus dihindari. Sangat penting bagi Kementerian Kesehatan -- sebagai pihak yang berwenang dalam program vaksinasi-- mengambil inisiatif untuk menyeragamkan informasi kepada publik.

 

Apakah realisasi vaksinasi dilaksanakan serentak atau bertahap? Maka, harus ada keseragaman jawab atas pertanyaan tentang ketersediaan vaksin saat vaksinasi mulai dilaksanakan. Dengan asumsi minimal 160 juta penduduk (70 persen dari total penduduk Indonesia) harus menerima vaksin demi terwujudnya kekebalan kelompok (herd immunity), berarti harus tersedia minimal 320 juta dosis vaksin. Apakah kebutuhan minimal itu akan tersedia pada waktunya nanti, mengingat kapasitas produksi Bio Farma pada 2021 hanya 250 juta dosis. Publik tentu harus mendapat penjelasan tentang langkah pemerintah menutup kekurangan itu dan berapa lama kebutuhan minimal itu bisa dipenuhi.


Ada dua skema vaksinasi, yakni vaksinasi subsidi dan vaksinasi mandiri. Data tentang target sasaran vaksinasi subsidi pun belum seragam. Ada yang menyebut targetnya 60 juta penduduk. Sementara pejabat lainnya menyebutkan bahwa target sasaran hanya 32 juta lebih orang dengan kebutuhan 73,96 juta dosis vaksin.


Faktor lainnya yang juga perlu dibenahi adalah data untuk kepentingan distribusi vaksin, khususnya untuk mengamankan pelaksanaan vaksinasi mandiri. Pihak Bio Farma sudah mengemukakan bakal rumitnya mendistribusikan vaksin karena data kesehatan tersebar di berbagai kementerian atau lembaga (K/L). Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, upaya pengintegrasian data sebaiknya mulai dilakukan sejak sekarang.


Tentang vaksinasi mandiri juga perlu diperjelas sejak awal. Karena vaksin itu diperjualbelikan, harus ada kepastian tentang institusi apa yang berwenang menata atau mengelola distribusi vaksin. Dilaporkan bahwa Kementerian BUMN akan menyiapkan 160 juta dosis vaksin corona untuk 75 juta orang yang ingin membeli.

 

Untuk pendistribusiannya, ditunjuk PT Telkom Indonesia dan PT Bio Farma. Telkom diikutsertakan untuk mempersiapkan sistem informasi yang terintegrasi secara keseluruhan proses vaksinasi mandiri. Tentu saja efektivitas pola ini harus menjadi perhatian serius.


Dengan menyebut atau mengedepankan beberapa persoalan di atas, secara tidak langsung ingin mengingatkan pemerintah untuk merancang satu saja rencana vaksinasi Corona yang matang dan terintegrasi. Satu rencana program yang terintegrasi sangat penting agar realisasinya nanti tidak rumit.


Khusus untuk vaksinasi mandiri, pemerintah diminta memberi perhatian khusus pada faktor harga vaksin. Karena berkait dengan harga, program vaksinasi mandiri virus corona hendaknya tidak membebani masyarakat. Harus diingat dan dipertimbangkan bahwa jutaan keluarga Indonesia masih menghadapi masa-masa sulit akibat pandemi dan resesi ekonomi sekarang ini. Karena itu, bagi masyarakat yang harus menjalani vaksinasi mandiri, pemerintah harus memastikan harga vaksin benar-benar terjangkau oleh semua kalangan.


Tidak hanya faktor harga yang terjangkau, bagi masyarakat yang menjalani vaksinasi mandiri juga harus diberi kemudahan akses memperoleh atau membeli vaksin. Karena itu, penyebarluasan atau sosialisasi informasi tentang distribusi vaksin menjadi sangat penting dan harus menjangkau semua kalangan. Tak kalah pentingnya adalah keharusan pemerintah memastikan tidak adanya calo atau spekulan vaksin Corona.


Hingga kini, harga vaksin corona masih dalam tahap perkiraan. Tentu saja perkiraan harga belum bisa dijadikan patokan. Masyarakat pasti berharap pemerintah bersama produsen vaksin Corona berupaya sesegera mungkin menetapkan harga vaksin. Informasi tentang harga vaksin menjadi penting agar masyarakat mulai bersiap dengan menyisihkan penghasilan masing-masing. []

 

DETIK, 23 November 2020

Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI

(Ngaji of the Day) Memasang Susuk dan Kaitannya dengan Aqidah

Di tengah masyarakat Indonesia, terdapat sebagian masyarakat yang menggunakan susuk. Di antara tujuannya, untuk menunda kehamilan, supaya tubuh lebih kuat, suaranya enak didengar, mahabbah, dan lain sebagainya. Susuk yang dipakai bisa berasal dari bahan emas, ada pula dari bahan selain emas.

 

Tanpa memandang susuk terbuat dari emas ataupun bukan emas, hukum memakai susuk menurut fiqih terperinci sebagai berikut. (1) apabila pemakai susuk menyakini yang memberikan efek dari pemakaian susuk tersebut secara hakikat adalah susuk itu sendiri, ulama sepakat menghukuminya sebagai kufur. (2) jika ia menyakini pemberi efek adalah susuk atas kekuatan yang dititipkan Allah pada benda tersebut, para ulama berbeda pendapat (khilaf) soal status hukumnya. Pendapat paling shahih (ashah) adalah tidak kufur, hanya saja pelakunya dikategorikan fasiq (berlaku dosa). Sedangkan sebagian pendapat lain menyatakan kufur.

 

(3) Jika pemakai susuk meyakini susuk pasti bisa menyembuhkan dengan ketentuan Allah maka tergolong sebagai orang bodoh (jahil) dan tidak menyebabkan kufur. (4) Jika meyakini benda tersebut biasanya bisa menyembuhkan dengan ketentuan Allah maka termasuk golongan yang selamat. Masalah aqidah ini sangat penting menjadi landasan baik bagi orang yang memakai susuk maupun orang yang berobat apa pun.

 

Dengan bahasa lain, kaitan susuk dengan aqidah sangat bergantung pada keyakinan si pengguna terhadap susuk. Bisa berakibat pada kekufuran, kefasikan, atau sesuatu yang boleh-boleh saja. Dalam hal ini, menata niat dan kesadaran merupakan hal yang sangat krusial.

 

فمن اعتقد أن الأسباب العادية كالنار والسكين والأكل والشرب تؤثر فى مسبباتها الحرق والقطع والشبع والرى بطبعها وذاتها فهو كافر بالإجماع أو بقوة خلقها الله فيها ففى كفره قولان والأصح أنه ليس بكافر بل فاسق مبتدع ومثل القائلين بذلك المعتزلة القائلون بأن العبد يخلق أفعال نفسه الإختيارية بقدرة خلقها الله فيه فالأصح عدم كفرهم ومن اعتقد المؤثر هو الله لكن جعل بين الأسباب ومسبباتها تلازما عقليا بحيث لا يصح تخلفها فهو جاهل وربما جره ذلك إلى الكفر فإنه قد ينكر معجزات الأنبياء لكونها على خلاف العادة ومن اعتقد أن المؤثر هو الله وجعل بين الأسباب والمسببات تلازما عاديا بحيث يصح تخلفها فهو المؤمن الناجى إن شاء الله إهـ

 

Artinya: “Barangsiapa meyakini semua penyebab yang biasa terjadi seperti api menyebabkan membakar, pisau menyebabkan memotong, makanan menyebabkan kenyang, minuman menyebabkan segar dan lain sebagainya dengan dzatnya sendiri (tanpa kehendak Allah), maka hukumnya kafir atas kesepakatan para ulama. Atau meyakini terjadi sebab kekuatan (kelebihan) yang diberikan Allah di dalamnya menurut pendapat yang paling shahih tidak sampai kufur tapi fasiq, ahli bid’ah.

 

Seperti pendapat kaum Mu’tazilah yang meyakini seorang hamba melakukan perbuatannya sendiri dengan kemampuan yang diberikan Allah pada orang tersebut, pendapat yang paling shahih mereka tidak menjadi kafir.

 

Atau berkeyakinan yang berkehendak hanya Allah, namun semua yang berkaitan dengan sebab akibatnya secara rasional, maka yang meyakini hal tersebut dihukumi sebagai orang bodoh. Atau berkeyakinan yang menjadikan hanya Allah hanya saja segala sesuatu terkait sebab akibatnya secara kebiasaan maka dihukumi orang mukmin yang selamat, Insyaallah,” (Syekh Ibrahim Al-Bajuri, Tuhfatul Murid, hlm. 58).

 

Secara aturan dasar, pemakaian susuk tidak boleh diniatkan guna bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, misalnya untuk memikat istri orang lain, supaya kuat apabila ingin melakukan pembegalan, agar tidak hamil saat berzina dan lain sebagainya. Niat seperti ini tentu dilarang oleh syariat.

 

Pemakaian susuk harus mempunyai tujuan yang legal dan jelas supaya tidak ada potensi membuang-buang harta secara sia-sia. Selain itu, susuk tidak membahayakan diri pemakai itu sendiri.

 

Lalu, apakah orang laki-laki diperbolehkan susuk dari bahan emas? Sebagaimana tercantum dalam literatur fiqih, haram bagi laki-laki mengunakan perhiasan emas. Pertanyaannya: apakah susuk masuk kategori perhiasan?

 

KH Thoifur Ali Wafa, dalam kitabnya Bulghatut Thullab menyatakan bahwa susuk dari emas, perak diperbolehkan dengan argumentasi bahwa yang dilarang oleh syara’ bagi seorang laki-laki adalah memakai emas. Sedangkan susuk sifatnya bukan dipakai namun ditanam di bawah kulit sehingga tidak tampak di mata orang lain.

 

كما في باللغة الطلاب الجزء الخامس صحيفة 543 ما نصه : غرز إبرة الذهب أو الفضة في جلد الرجل كما هو معروف في بعض البلدان للتداوي وللقوة أو لغير ذلك جائز لأنه لا يعد لبسا ولأنها مستورة وليس هذا من الوشم لاستتارها ولعدم ظهورها دم فيه. إهـ.

 

Artinya: “Jarum emas atau perak ditanam di kulit seorang laki-laki sebagaimana yang biasa diketahui masyarakat di sebagian negara untuk berobat, supaya kuat atau dengan tujuan lain hukumnya boleh karena tidak dianggap memakai, dan benda tersebut tertutup. Hal ini juga tidak diklasifikasikan sebagai tato karena tertutup dan tidak sampai mengeluarkan darah di sana.” (KH Thoifur Ali Wafa, Bulghatut Thullab, juz 5, hlm. 543).

 

Dengan demikian, memakai susuk emas bagi laki-laki selama memenuhi kriteria dasar pemakaian dasar susuk, hukumnya diperbolehkan. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (8) Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Kalender Hijrah

Membaca Trend Globalisasi (8)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Kalender Hijrah

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Globalisme memang tak terbendung, tetapi Islam memiliki antisipasi dengan tetap mempertahankan karakter khususnya untuk ditawarkan di dalam pasar globalisasi. Islam memang sarat dengan ajaran universal tetapi tidak serta-merta mengharuskan dirinya mengakomodir nilai-nilai local yang tidak sejalan dengan perinsip ajarannya. Bahkan Islam menawarkan bukan hanya unsur substansial (dharuriyyah) dan kebutuhan vital (hajjiyah) yang mendukung substansi ajarannya tetapi juga yang bersifat aksesoris (tahsiniyya) ikut juga ditawarkan. Dengan demikian tidak benar jika dikatakan Islam adalah sistem yang merupakan sintesa dari ajaran-ajaran yang pernah ada sebelumnya dan dapat mengakomodir apa saja yang ada di hadapannya.

 

Di antara karakter khusus yang melekat di dalam Islam ialah penentuan kalender khusus, kiblat khusus, dan system syari'ah dan peribadatan lainnya yang juga secara khusus. Soal penentuan kalender khususn, Semenjak Nabi masih hidup sesungguhnya sudah merintis sistem kalender sendiri tetapi peresmiannya terlaksana sepenuhnya pada zaman Umar ibn Khathab. Kalender yang berlaku saat itu belum teratur. Bangsa Arab menggunakan sistem penanggalan syamsiyah (solar years) dan tahunnya dihubungkan dengan peristiwa terpenting dalam tahun itu. Pengaturan ibadah-ibadah rutin seperti bulan puasa Ramadhan dan ibadah haji sudah menggunakan kalender khusus, meskipun saat itu belum diberi nama khusus.

 

Ketika dunia Islam semakin meluas sampai keluar dari jazirah Arab, terutama pada zaman pemerintahan Khalifah Umar (635-645 M) yang meluas sampai ke Mesir, Persia, dan berbagai wilayah di luar Arab lainnya. Untuk mengatur pemerintahannya yang semakin luas, Umar mengangkat beberapa sahabat untuk menjadi Gubernur di antaranya: Muawiyyah diangkat menjadi Gubernur di Syiria, termasuk wilayahnya adalah Yordania. Amru bin Ash diangkat menjadi Gubernur Mesir. Musa Al-As'ari diangkat menjadi Gubernur Kuffah. Mu'adz bin Jabal diangkat menjadi Gubernur Yaman. Abu Hurairah diangkat menjadi Gubernur Bahrain.

 

Melalui musyawarah pada zaman khalifah Umar Ibn Khatthab dipilih dan ditetapkan kalender resmi Islam yaitu kalender Hijrah, yang diambil dari momentum hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Penetapan tahun baru Hijriyah ini ditetapkan langsung oleh keluarnya keputusan Khalifah Umar yang ditandai dengan keluarnya Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Yerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi pada tahun ke 17 H. (638 M).

 

Kalender Hijriyah setiap tahunnya lebih 11 hari daripada kalender Miladiyah, sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender itu semakin mengecil. Angka tahun Hijriyah pelan-pelan "mengejar" angka tahun Masehi. Menurut Marshall G.S. Hodgson dalam The Venture of Islam, Satu abad kalender Islam dicapai dalam satu abad kalender Miladiyah dikurangi tiga tahun. Pada tahun satu Hijriyah, ada perbedaan enam abad tahun ditambah 21 tahun (622M). Pada tahun 100 H, ada perbedaan enam abad 18 tahun (100+618=tahun 718 M.). Pada tahun 200 H, enam abad ditambah hanya 15 tahun (815 M).

 

Ketika sampai pada tahun 700 H, perbedaannya adalah enam abad tahun 1300 M. Menurut rumus di atas keduanya akan bertemu pada tahun 20526 Masehi yang bertepatan dengan tahun 20526 Hijriyah. Sistem kalender Miladiyah dan Hijriyah masing-masing memiliki keunggulan karena bulan dan matahari yang dijadikan patokan sama-sama ciptaan Tuhan yang begitu setia mengikuti perintah-Nya, tidak pernah bergeser mengalami kemajuan atau keterlambatan baranng sedikitpun sepanjang dunia Bimasakti atau biasa disebut milky way masih nornmal. Ini sejalan dengan apa yang ditegaskan di dalam Q.S. al-Isra'/17:12 dan Q.S. Yasin/36:38-40. []

 

DETIK, 14 Agustus 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(Ngaji of the Day) Peran Sayyidah Khadijah saat Nabi Muhammad Diboikot

Salah satu strategi kaum kafir Quraisy untuk menghentikan dakwah Islam adalah dengan melakukan blokade dan pemboikotan ekonomi dan sosial terhadap Nabi Muhammad dan keluarga besarnya, Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Mereka berpikiran, ketika diboikot maka Bani Hasyim dan Bani Muthalib akan terpecah-belah sehingga menyerahkan Nabi Muhammad. Namun, dugaan mereka salah. Mereka tetap solid dalam menghadapi langkah kaum musyrik tersebut.

 

Setidaknya ada empat poin yang tertera dalam piagam pemboikotan tersebut. Pertama, tidak boleh menikah dengan salah satu dari mereka dan tidak boleh pula menikahkan dengan mereka. Kedua, tidak boleh menjual dan membeli apa pun dari mereka. Ketiga, tidak menerima perdamaian dari mereka.

 

Keempat, tidak diperbolehkan merasa kasihan pada mereka sampai mereka mau menyerahkan Muhammad. Piagam tersebut kemudian digantung di dalam Ka’bah. Pemboikotan terhadap Nabi berlangsung selama tiga tahun–riwayat lain menyebut dua tahun.

 

Peristiwa ini terjadi pada tahun ketujuh kenabian, di mana istri Nabi, Sayyidah Khadijah, dan paman Nabi, Abu Thalib, masih hidup. Keduanya–yang dikenal sebagai pelindung Nabi dari gangguan kaum musyrik-juga ikut terboikot dan tidak dapat berbuat banyak. Meski demikian, Sayyidah Khadijah memiliki peran penting selama masa pemboikotan.

 

Sayyidah Khadijah telah terdidik dalam keluarga yang terhormat dan serba kecukupan. Keluargnya, Bani Asad, mengetahui kalau rasa lapar akibat pemboikotan kaum kafir Quraisy akan menyakiti Sayyidah Khadijah. Oleh karena itu, mereka berinisiatif mengirimkan sejumlah makanan dan barang-barang yang dibutuhkan lainnya untuk Sayyidah Khadijah. Barang-barang tersebut dikirim seorang budak dengan menggunakan unta pada malam hari, ketika kaum Quraisy sudah terlelap. Sayyidah Khadijah tidak memanfaatkan barang-barang itu sendirian, karena ia membaginya kepada mereka yang lebih membutuhkan.

 

Merujuk buku Khadijah Ummahatul Mukminin (Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal, 2014), Sayyidah Khadijah –meski tidak secara langsung- juga berperan penting dalam peristiwa penyobekan kertas piagam pemboikotan. Karena dia pula, paku pertama dalam penghancuran piagam pemboikotan diletakkan.

 

Ketika itu, saudara laki-laki Sayyidah Khadijah, Hakim bin Hizam, bersama seorang budak membawa gandum untuk diberikan kepada Sayyidah Khadijah. Di tengah jalan, dia dihadang Abu Jahal. Setelah terjadi ketegangan di antara keduanya, Hakim dibiarkan pergi dengan membawa makanan untuk Sayyidah Khadijah. Abu Bakhtari bin Hisyam yang saat itu juga ada di lokasi kemudian mengambil tongkat pemukul unta dan memukulkannya kepada Abu Jahal.

 

Semenjak itu, kaum berpikir untuk membatalkan pemboikotan yang dzalim tersebut. Masih menurut keterangan dalam buku yang sama, kejadian itu merupakan sebab dibatalkannya pemboikotan dan blokade kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan keluarganya.

 

Memang, setelah Hakim bin Hizam mengirimkan makanan untuk Sayyidah Khadijah dan Abu Jahal dipukul, banyak orang melakukan hal yang sama, diantaranya Hisyam bin Akhi Nahdlah. Tidak hanya itu, peristiwa itu juga membuat perempuan-perempuan Quraisy membicarakan hal itu dan mencela mereka yang tidak mengirim makanan untuk Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang diboikot.

 

Hisyam kemudian menggalang kekuatan dengan memprovokasi beberapa orang untuk membatalkan piagam pemboikotan tersebut. Semula dia mendatangi Zuhair bin Umayyah dan ibunya Atikah binti Abdul Muthalib.

 

"Wahai Zuhair, apakah engkau ridha kita memakan makanan, memakai baju, menikahi perempuan, sedangkan para pamanmu seperti yang engkau ketahui, tidak boleh menjual atau membeli dari mereka, tidak boleh menikahi ataupun menikahkan seseorang dengan mereka," kata Hisyam. Zuhair menjadi semangat setelah mendengar perkataan Hisyam tersebut. Ia kemudian meminta Hisyam untuk mencari orang lainnya.

 

Maka Hisyam mendatangi al-Mut’im bin Adi, Abul Bakhtari, dan Zam’ah bin al-Aswad. Kepada mereka, Hisyam mengatakan hal yang sama seperti yang disampaikan kepada Zuhair. Mereka menerima ajakan Hisyam untuk membatalkan pemboikotan terhadap Nabi dan keluarganya. Untuk mematangkan rencana dan strategi pembatalan pemboikotan, pada malam hari mereka berkumpul di puncak Gunung Hajun untuk bermusyawarah. Hasilnya, mereka siap melakukan apapun untuk membatalkan pemboikotan tersebut.

 

Keesokan harinya, Zuhair yang memakai baju terbaiknya melaksanakan thawaf di area Ka’bah. Di hadapan banyak orang, ia ‘memprovokasi’ penduduk Makkah perihal kondisi Nabi Muhammad dan keluarga besarnya yang begitu menderita. Ia juga mengancam tidak akan duduk sampai kertas pemboikotan yang menempel di dinding Ka’bah disobek.

 

Abu Jahal yang ketika itu berada di baitullah menyatakan tidak akan menuruti permintaan Zuhair. Namun ucapan Abu Jahal langsung ditimpali Zam’ah, Abu Bakhtari, dan Mut’im. Mereka menegaskan, tidak setuju dan tidak ridha ketika isi perjanjian pemboikotan itu ditulis. Mut’im bin Adi langsung menuju kertas penjanjian pemboikotan untuk menyobeknya. Namun, kertas tersebut telah dimakan rayap, kecuali tulisan ‘Dengan menyebut nama-Mu ya Allah.’

 

Dengan demikian, berakhirlah masa pemboikotan dan blokade kaum musyrik Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan keluar besarnya. Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah yang saat itu sedang sakit kemudian keluar dari lembah Bani Hasyim dan menuju ke rumahnya untuk memulai kehidupan yang baru. []

 

(Muchlishon Rochmat)