Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang merupakan wadah untuk menempa
ilmu-ilmu agama. Selain berperan di bidang pendidikan, pesantren juga lekat
dengan kehidupan sosial-masyarakat. Pesantren hadir melakukan pemberdayaan dan
solusi problematika umat sehingga sejak berdirinya, pesnatren tidak tercerabut
dari akar sosial-masyarakatnya.
Peran itulah yang membuat pesantren juga menjelma sebagai wadah pergerakan
nasional untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisme. Jika
dirunut perjuangan dan langkah-langkah diplomasi yang dilakukan para kiai,
pesantren merupakan satu-satunya wadah yang tidak terpengaruh oleh kepentingan
politik kolonial. Baik pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang.
Berbagai macam cara dilakukan oleh para ulama pesantren agar dapat
melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan, baik melalui pendidikan,
kemandirian dan pemberdayaan ekonomi, organisasi pemikiran, dan lain-lain.
Wadah atau perkumpulan yang didirikan oleh para kiai bertujuan menyadarkan
spirit perjuangan bangsa Indonesia, memperkuat cinta tanah, dan melakukan
perlawanan kultural.
Peran ulama pesantren begitu nyata dalam membangun pondasi kekuatan bangsa
secara embrionik melalui perkumpulan para pemuda dengan komitmen cinta tanah
air yang berhasil dilakukan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah beberapa tahun
setelah dr Soetomo mendirikan organisasi pemuda bernama Boedi Oetomo pada 20
Mei 1908 sebagai titik pijak kebangkitan nasional.
Semangat Abdul Wahab muda sekitar tahun 1914 setelah pulang dari menuntut
ilmu di Mekkah merasa tidak bisa memaksimalkan seluruh kemampuan berpikir dan
bergeraknya saat menjadi salah satu bagian dari Syarikat Islam (SI) dengan
tokoh utamanya Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Kiai Wahab merasa tidak puas jika belum mendirikan organisasi sendiri.
Karena dalam pandangannya, SI terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedangkan
dirinya menginginkan tumbuhnya nasionalisme di kalangan pemuda melalui kegiatan
pendidikan.
Singkatnya pada tahun 1916, KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan
perguruan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dengan bantuan beberapa kiai
lain dengan dirinya menjabat sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan).
Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para
pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pejuang, pemuda berilmu, dan cinta tanah
air. Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan
terlebih dahulu menyayikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Syubbanul Wathan.
Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui
wadah pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti
Tashwirul Afkar (kebangkitan pemikiran).
Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti
Indonesische Studieclub, Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air), dan kursus
masail diniyyah bagi para ulama muda pembela mazhab tidak lepas dari kerangka
tujuan utamanya, yakni membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang
terjajah.
Kiai Wahab telah membuktikan diri bahwa internalisasi semangat nasionalisme
sangat efektif diwujudkan melalui ranah pendidikan. Hal ini dilakukan dengan
masif di berbagai pesantren sehingga peran ulama pesantren sendiri diakui oleh
dr Soetomo (Bung Tomo) sebagai lembaga yang berperan besar dalam membangun
keilmuan yang kokoh bagi bangsa Indonesia sekaligus dalam pergerakan nasional
untuk mewujudkan kemerdekaan.
Dalam salah satu sumber historis, Bung Tomo berkata: “Sebelum gopermen
Hindia Belanda membuka sekolahnja, pada waktoe itoe, pesantrenlah jang mendjadi
soember pengetahoean, mendjadi mata air ilmoe bagi bangsa kita
boelat-boelatnja”.
Selain itu dia juga memberikan pernyataan jelas terkait nasionalisme yang
terus dibangun oleh kalangan pesantren. Bung Tomo berkata: “Pesantren adalah
konservatorium nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Andai tidak ada
pesantren, andai kata tokoh-tokoh Indonesia hanya mendapatkan pendidikan Barat,
kiranya sulit mengajak mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.”
Semacam testimoni dr Soetomo tersebut bukan isapan jempol belaka.
Tokoh-tokoh ulama dan kiai tidak hanya menginspirasi kalangan pesantren, tetapi
juga memberikan spirit (ruh) perjuangan kepada para tokoh nasional seperti
Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain sebagainya.
Tokoh perjuangan dari kalangan nasionalis itu secara mantap menjadikan
ulama sebagai pelabuhan berpikir dan bertindak dalam melakukan perjuangan
kemerdekaan saat itu, terutama kepada KH Muhammada Hasyim Asy’ari yang kerap
kali menjadi tempat meminta pendapat bagi para pemuda pergerakan nasional dalam
melawan menjajah.
Bahkan Kiai Hasyim Asy’ari merumuskan ‘dalil’ bahwa mencintai tanah air
adalah sebagian dari iman, hubbul wathani minal iman yang berhasil membuat
bangsa Indonesia tergerak untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Artinya, memperjuangkan kemerdekaan rakyat dari belenggu penjajah sama
dengan menegakkan agama. Karena di tanah air Indonesia yang merdeka inilah,
nilai-nilai agama Islam bisa tumbuh dan berkembang.
Selain spirit nasionelisme dan pemikiran berbasis keilmuan pesantren yang
ingin dibangkitkan, Kiai Wahab Chasbullah juga mengumpulkan para pengusaha atau
saudagar-saudagar pesantren dalam perkumpulan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan
saudagar) yang didirikannya pada 1918.
Tujuan utamanya memperkuat pemberdayaan dan kemandirian, tidak terpenjara
dengan politik-politik kolonial yang kerap mengiming-imingi materi sehingga
bangsa Indonesia terus terjajah dan martabat bangsa tergadaikan.
Saking pentingnya membangun kemandirian ekonomi ini, Rais Akbar NU KH
Hasyim Asy’ari sendiri yang mendorong para pemuda dan kalangan pesantren untuk
memaksimalkan pendirian koperasi melalui spirit Nahdlatut Tujjar.
“Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia,
mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi
di mana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom untuk menghidupi para
pendidik dan penyerap laju kemaksiatan.” (Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari –
Deklarasi Nahdlatut Tujjar 1918 dalam Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011).
Dari perkumpulan Nahdlatut Tujjar, perjuangan para kiai pesnatren makin
kokoh dalam upaya melawan kolonialisme Hindia-Belanda. Semua perjuangan
kiai-kiai melalui pendidikan, dan lain-lain tertunjang dengan kebangkitan para
pedagang yang digerakkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah.
Spirit kebangkitan ke arah yang lebih baik untuk kepentingan rakyat banyak,
itulah ruh perjuangan yang digelorakan oleh KH Hasyim Asy’ari beserta para
ulama lain dan Bung Tomo sebagai pendiri Boedi Oetomo yang dinilai sebagai
organisasi modern pertama yang memulai penggalangan kesatuan nasional. []
(Fathoni Ahmad)