Jumat, 27 November 2020

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (7) Menyatukan Irano-Semit dan Afro-Erasia

Membaca Trend Globalisasi (7)

Menyatukan Irano-Semit dan Afro-Erasia

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Kekuatan nilai reformasi yang melekat di dalam Islam, ajarannya mampu menembus dan menyatukan dua kekuatan peradaban, yang oleh Marshall G.S. Hodgson dalam The Venture of Islami diistilahkan dengan Irano-Semit di Timur dan Afro-Erasia di Barat. Jazirah Arab juga berada di antara dua kekuatan negara adidaya yang selama ini berhadap-hadapan satu sama lain, yaitu Romawi-Bizantium yang ada di Barat dan berpusat di Istambul dan Sasania-Persia yang ada di Timur dan berpusat di Kawasan Iraan sekarang. Sementara kedua negara adidaya ini sibuk memerebutkan pengaruh, yang terkadang diwujudka dalam bentuk perang terbuka, pada saat itu Sang Tokoh Pembahari, Nabi Muhammad Saw lahir dan mengembangkan ajaran Islam yang baru diterimanya. Ia dengsn piawai mengembang misi Islam di tengah kekuatan geopolitik yang sudah lama mapan.

 

Posisi jazirah Arab saat itu tidak pernah secara langsung bersentuhan dengan central power kedua negara adidaya itu karena Kawasan ini samasekali tidak dihitung sebagai Kawasan yang memiliki potensi secara ekonomi. Bentangan luas ini hanya diisi oleh kabilah-kabilah tradisional yang amat priwitif, kecuali ada kantong-kantong tertentu yang memiliki mata air local (wadi/oasis). Kantong-kantong ini juga tidak efektif dan tidak efisien untuk diperebutkan karena cost ekonominya sangat tinggi, karena selain jauh, terlalu luas, dan wilayahnya gersang, juga penduduknya terkebelakang (badawa/tribal).


Justru di wilayah yang tidak pernah diperhitungkan ini lahir seorang tokoh luar biasa itu mampu menundukkan kedua pusat peradaban dan negeri adidaya dalam tempo yang relatif singkat. Meskipun berbeda kawasan dan latar belakang budaya, keduanya memiliki peradaban yang maju. Keduanya masing-masing memilki kawasan subur untuk pertanian dan peternakan, meskipun tidak secara keseluruhan. Keduanya juga masing-masing mengembangkan tradisi perdagangan antar negeri. Corak perkotaan dan cikal-bakal civil society menjadi ciri khas kedua negeri ini. Produk-pruduk andalan dan kerajinan masing-masing wilayah dipasarkan melalui tradisi perdagangan, baik melalui laut maupun melalui daratan.


Perkembangan kebudayaan dan peradaban kedua kawasan ini ikut membentuk wawasan Nabi Muhammad sebagai seorang anak muda-cerdas yang pernah melang-lang buana membawa barang dagangan bosnya, Siti Khadijah, yang kemudian menjadi isterinya. Tidak heran ketika Nabi Muhammad Saw diamanati menjadi pemimpin Madina dengan mudah mengadakan hubungan diplomatic dan ekonomi dengan negri-negri tetangganya. Surat-menyurat dan utusan misi-misi khusus yang dikirim Nabi ke berbagai pusat kerajaan dan pemerintahan dianggap salahsatu factor yang mendatangkan benefit, baik dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik di di Madinah/negeri muslim maupun sebagai pemimpin spiritual (Islam).


Akar historis tradisi budaya dan peradaban Irano-Semit di Timur dan Afro-Erasia di Barat diakomodasi di dalam kepemimpinan Nabi. Pengiriman misi dagang, misi ilmu pengetahuan, misi politik, dan misi agama ke berbagai negara dilakukan untuk memperkaya sumber daya manusia yang handal dan kompetitif. Sahabat-sahabat dekatnya di Madinah belakangan menjadi gubernur atau kepala pemerintahan di daerah yang baru diambil alih, misalnya Muawiyyah diangkat menjadi Gubernur di Syiria, termasuk wilayahnya adalah Yordania. Amru bin Ash diangkat menjadi Gubernur Mesir. Musa Al-Asy'ari diangkat menjadi Gubernur Kufah. Mu'adz bin Jabal diangkat menjadi Gubernur Yaman. Abu Hurairah diangkat menjadi Gubernur Bahrain. Akulturasi dan enkulturasi budaya dan peradaban Irano-Semit dan Afro-Erasia menjadi salahsatu factor kekuatan budaya dan peradaban Islam. Namun Islam tidak semata-mata meng-copy-paste peradaban tersebut melainkan Islam tetap menampilkan orisinalitasnya yang bercorak kosmologi teomorfis. Orisinalitas peradaban Islam, sebagaimana yang akan dipaparkan dalam artikel-artikel mendatang, jelas sangat berbeda dengan produk-produk sebelumnya. []

 

DETIK, 13 Agustus 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar