Modal Utama Berbangsa-Bernegara dan Sisi-Sisi yang Rapuh (IV)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dalam masyarakat Indonesia, tipe manusia yang mudah berubah itu masih berkeliaran di mana-mana, di pusat dan di daerah. Di ranah politik, fenomena manusia tipe ini sangat kentara, apalagi pada musim politik uang yang masif dan merajalela.
Mentalitas mereka sangat rapuh. Harga dirinya murah sekali. Angin-anginan, bergantung pada peluang untuk berebut rezeki dan kedudukan. Ajip dari sisi ekonomi sudah selesai dengan dirinya. Maka itu, sikap skeptisnya tak ada kaitannya dengan budaya aji mumpung.
Sekalipun saya belum ke pendirian seekstrem itu. Bagi saya, Indonesia masih bisa diperbaiki, syaratnya budaya aji mumpung ditinggalkan. Budaya ini telah lama menggerogoti sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
stilah aji mumpung (bahasa Jawa) perlu sedikit dijelaskan. Mungkin maknanya dekat dengan “mentalitas menerabas” dalam teori Koentjaraningrat: “Mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuannya secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara langkah demi selangkah… merupakan akibat dari meremehkan mutu…” (Lih. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm. 46).
Dalam ungkapan lain, aji mumpung adalah perilaku mementingkan diri sendiri tanpa hirau dengan moral, etika, dan kepentingan lebih besar. Aji=raja, penguasa, amir, sinuhun, sultan, paduka, dan yang sejenis itu. Mumpung=peluang, senyampang.
Manusia dengan sifat ini akan berbuat apa pun untuk kepentingan dirinya, senyampang punya kesempatan dan peluang untuk itu.
Mochtar Lubis telah menghabiskan sebagian besar usianya melawan budaya aji mumpung ini, di dalamnya termasuk tindak korupsi yang masif dan belum tampak tanda-tanda kapan penyakit sosial busuk ini akan berakhir.
Saat berbicara tentang kualitas manusia Indonesia, Mochtar Lubis pada Maret 1984 menulis: “Jika lingkungan kita semua brengsek, kemungkinan lebih besar kualitas manusia kita juga akan brengsek. Kalau tauladan yang diberikan kepada kita betapa kekuasaan memberi seseorang kemudahan dan kekayaan, maka kita juga menginginkan kekuasaan, dan kalau sudah berkuasa kita pergunakan pula kekuasaan itu dengan segala kecongkakan.” (Lih. Mochtar Lubis, ibid.,hlm. 186-187).
Telah berjalan 36 tahun sejak tulisan Mochtar Lubis di atas beredar, aji mumpung itu masih setia bersama kita sampai akhir 2020 ini.
Revolusi mental yang dicetuskan Presiden Joko Widodo beberapa tahun lalu adalah gagasan bagus, tetapi belum menampakkan titik terang yang terlalu menggembirakan hasilnya.
Sejarah modern bangsa ini telah mengenal beraneka revolusi. Ada revolusi kemerdekaan. Ada doktrin revolusi yang belum selesai, konsep Lenin yang dibawa ke Indonesia.
Ada lagi Resopim (revolusi, sosialisme, dan pimpinan nasional). Dari semua revolusi itu, hanya revolusi kemerdekaan yang membuahkan hasil konkret, yaitu terusirnya penjajahan dari bumi Indonesia.
Sudah sering saya sampaikan, bangsa ini dalam menciptakan istilah dan konsep, alangkah piawainya. Kepiawaian semacam ini tampaknya sudah menjadi bakat sejak dari nenek moyang. Sebuah talenta yang dimiliki berbagai suku di nusantara.
Namun, sekali konsep itu digumulkan untuk meraih tujuan konkret, berlakulah adagium: pecah kongsi antara kata dan laku. Terputusnya mata rantai antara ide dan realitas adalah masalah kebudayaan yang serius.
Fenomena ini pulalah yang diderita Pancasila, rumusan filosofis-ideologis yang dahsyat, tetapi dalam upaya membawa nilai-nilai luhurnya turun ke bumi, rintangan dan hambatan yang ditemui luar biasa beratnya.
Dalam bacaan saya, di antara modal utama berbangsa dan bernegara, yang paling rapuh dalam pelaksanaannya adalah demokrasi dan Pancasila. Lingkungan sosio-budaya-politik yang berengsek adalah musuh demokrasi dan Pancasila.
Namun, mengapa musuh utama itu tetap saja dipelihara dan tidak dihalau? Karena itu, waktunya sudah sangat tinggi agar kita berhenti untuk bersandiwara dengan berlindung di balik topeng palsu atas nama rakyat, atas nama pembangunan, atas nama agama.
Pertanyaan ini harus dijawab sekarang oleh elite bangsa ini dan kita semua. Jika tidak dijawab, berarti kita sengaja agar sisi-sisi yang rapuh itu berlangsung terus, demi memuaskan syahwat aji mumpung yang busuk dan terkutuk itu.
Akibat jangka panjangnya, bangsa Indonesia masih harus menunggu sampai datang anak-anaknya yang benar-benar tampil sebagai patriot sejati yang jujur. Mereka ini diharapkan mampu menciptakan Indonesia adil, makmur, dan bermartabat.
Inilah sekilas analisis sederhana tentang perjalanan bangsa dan negara dalam perspektif ajaran agama dan moral Pancasila, dengan segala keterbatasan pengetahuan dan wawasan yang saya miliki! []
REPUBLIKA, 10 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar