Nabi Muhammad saw. bisa saja hidup bermewah-mewahan, sebagaimana kehidupan raja atau pemimpin lainnya pada saat itu. Namun itu tidak dilakukan. Beliau lebih memilih hidup sehari-harinya dalam kesederhanaan. Nabi Muhammad bahkan mengerjakan pekerjaannya sendiri seperti menyulam bajunya yang robek dan memperbaiki sendalnya yang rusak.
Hal yang sama juga Nabi Muhammad tanamkan kepada anak-anaknya. Beliau tidak ingin taraf hidup anaknya berada di atas orang lain. Nabi ingin agar anak-anaknya dalam menjalani kehidupan itu biasa saja, sebagaimana umumnya manusia lainnya. Tidak berlebih-lebihan dan tidak bermewah-mewahan. Nabi Muhammad tidak segan-segan memberikan teguran manakala ada anaknya yang hidup bermewah-mewahan.
Dikisahkan, suatu hari Nabi Muhammad berkunjung ke rumah salah satu anaknya, Sayyidah Fatimah. Beliau melihat Sayyidah Fatimah sedang memakai gelang emas. Mengetahui ayahandanya memperhatikannya, Sayyidah Fatimah langsung memberikan penjelasan bahwa gelang yang dipakaianya itu merupakan hadiah dari suaminya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Seketika itu juga, Nabi Muhammad langsung ‘menegur’ putrinya itu.
“Wahai Fatimah, senangkah kau bila orang-orang mengatakan, ‘Lihat, itu putri Nabi mengenakan gelang neraka?” kata Nabi Muhammad, dikutip buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018).
Mendengar perkataan ayahandanya seperti itu, Sayyidah Fatimah cepat-cepat langsung melepaskan gelangnya itu. Kemudian dia keluar rumah dan meminta seseorang untuk menjual gelangnya itu. Sayyidah Fatimah juga membeli seorang budak dan kemudian memerdekakannya. Nabi Muhammad gembira dengan apa yang dilakukan puteri kesayangannya itu. Beliau lantas mendoakannya.
Begitulah sikap Nabi Muhammad kepada anak-anaknya. Beliau tidak ingin anak-anaknya hidup dalam kemewahan, sementara banyak umat Muslim yang hidup dalam kesengsaraan dan kekurangan. Beliau ingin agar keluarganya menjadi teladan bagi seluruh umat Islam, terutama dalam hal ini adalah soal sederhana dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Nabi Muhammad juga tidak ingin anak-anaknya mengandalkannya. Dalam artian, apapun yang mereka lakukan di dunia ini pasti akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Mereka tidak bisa meminta jaminan kepada ayahandanya –yang notabennya adalah seorang Nabi dan Rasul Allah- agar terbebas dari semua itu.
“Sedikitpun tidak ada yang bisa kubebaskan kau dari Allah,” tegas Nabi Muhammad kepada Sayyidah Fatimah. []
(Muchlishon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar