“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa….” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ada manusia yang menganggap ras dan sukunya lah yang paling unggul, sementara ras selainnya tidak. Ada juga yang berpandangan, manusia dengan kedudukan dan jabatan lah yang mulia, sementara mereka yang tidak memiliki itu semua tidak. Begitupun dengan manusia yang mempunyai kekayaan. Terkadang mereka bersikap diskriminatif (membeda-bedakan) dan menganggap rendah terhadap mereka yang tidak punya.
Kejadian-kejadian seperti itu juga pernah terjadi pada zaman Rasulullah sehingga Allah menurunkan wahyu dan menegurnya. Diantaranya adalah beberapa sahabat Rasulullah yang menganggap rendah Bilal bin Rabah karena statusnya budak dan berkulit hitam. Memang, Bilal bin Rabah merupakan salah seorang sahabat Nabi yang berkulit hitam dan berasal dari Habasyah (Ethiopia).
Merujuk buku Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018), Bilal bin Rabah ditunjuk Rasulullah untuk mengumandangkan adzan di atas Ka’bah pada saat pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Rupanya ada beberapa sahabat Nabi –seperti Al-Harits bin Hisyam, Sahl bin Amr, dan Khalid bin Usaid- yang tidak suka dengan hal itu sehingga mengeluarkan komentar yang bernada diskriminatif. Mereka tidak terima kalau Bilal bin Rabah yang mantan budak dan berkulit hitam diberi tugas untuk mengumandangkan adzan.
“Mengapa yang mengumandangkan adzan budak hitam ini (Bilal bin Rabah)?” kata mereka.
Setelah kejadian itu, Allah kemudian menurunkan QS. al-Hujurat ayat 13: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa….” (QS. Al-Hujurat: 13)
Turunnya ayat tersebut di atas merupakan teguran Allah kepada mereka yang berbuat diskriminatif dan rasis. Melalui ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa yang paling mulia di hadapan-Nya adalah orang yang paling bertakwa, bukan yang memiliki warna kulit tertentu dan status sosial yang tinggi.
Kejadian diskriminatif juga pernah terjadi kepada ahlu Shuffah, sahabat miskin Nabi yang tinggal di emperan Masjid Nabawi seperti Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Abi Dzar, Salman, Suhaib, Khabbab bin Irt, dan Bilal. Suatu ketika, beberapa sahabat Nabi yang kaya –seperti Abbas bin Mirdas as-Sulami, Uyainah bin Hishn al-Fazari, dan al-Aqra bin Habis at-Tamimi- mengajukan usul kepada Rasulullah agar menyelenggarakan dua majelis pengajaran; yang satu untuk mereka dan yang satunya lagi untuk sahabat ahlu Shuffah. Mereka beralasan, pemisahan itu dimaksudkan agar mereka tidak terganggu dengan aroma tidak sedap sahabat-sahabat fakir tersebut.
Rasulullah menganggap, keberadaan beberapa sahabatnya yang bergelimangan harta itu akan membuat Islam semakin kuat. Bukan karena sebab lainnya. Oleh sebab itu, semula Rasulullah sepakat dengan usulan tersebut. Akan tetapi, kemudian Allah menurunkan al-Kahfi ayat 28-29. Inti dari ayat tersebut adalah Rasulullah diperintahkan untuk bersabar bersama dengan orang-orang yang menyeru Allah dengan mengharap ridha-Nya. Rasulullah juga diperingatkan agar tidak berpaling dari mereka karena mengharap harta benda duniawi.
“Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (QS. Al-Hujurat: 28)
Demikian lah prinsip persamaan dalam Islam. Islam sangat menekankan persamaan untuk terwujudnya keadilan. Oleh sebab itu, Islam tidak membenarkan tindakan atau sikap diskriminatif, berdasarkan apapun itu. []
(A Muchlishon Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar