Era Baru Hubungan AS-Iran
Oleh: Zuhairi Misrawi
Peta politik Timur-Tengah akan mengalami perubahan yang sangat signifikan, cepat atau lambat. Salah satunya perihal relasi antara Amerika Serikat dan Iran, yang dampaknya akan mengubah arah jarum jam politik Timur-Tengah dalam konteks yang lebih besar. AS tidak akan lagi memberikan karpet merah kepada Mesir, Arab Saudi, Israel, dan Uni Emerate Arab (UAE) yang selama ini menjadi kekuatan besar untuk menggempur posisi Iran di Timur-Tengah.
Dalam empat tahun terakhir, khususnya pada pemerintahan Trump, AS sedang membangun imperium politik untuk menggembosi posisi Iran dan pengaruhnya di Timur-Tengah. Langkah Trump untuk menyegerakan kerja sama politik antara Israel dengan sejumlah negara-negara Arab Teluk, seperti UAE, Bahrain, dan Sudan dapat dipahami sebagai bagian dari strategi AS untuk melemahkan posisi Iran yang terus meluas pengaruhnya di kawasan.
Meskipun harus diakui strategi AS tersebut tidak bermakna apa-apa, karena posisi Iran masih kokoh. Di tengah kepungan aliansi Israel di negara-negara Arab Teluk, Iran tidak surut sedikit pun untuk memperkokoh pengaruhnya di kawasan. Bahkan di tengah pandemi sekalipun, Iran mampu berdiri tegak di tengah embargo ekonomi dari AS.
Langkah Trump yang melakukan pembunuhan terhadap orang nomor wahid di Garda Revolusi Iran, Qassem Soelaimani, tidak menyusutkan posisi Iran. Bahkan, kalau mau jujur, posisi Iran justru semakin solid untuk menghadapi aliansi strategis AS dan Iran di kawasan. Kemartiran Qassem Soelaimani mampu mempersatukan Iran dan menyadarkan betapa AS akan selalu benalu bagi stabilitas politik dan ekonomi di kawasan.
Maka dari itu, kebijakan Trump dengan mengisolasikan Iran dan melakukan embargo ekonomi tidak memberikan dampak apa-apa. Secara ekonomi, Iran memang harus berdarah-darah untuk melakukan penyesuaian dengan memberikan perhatian lebih terhadap kelompok menengah ke bawah. Namun, dengan pengalaman yang panjang dalam menghadapi embargo ekonomi, Iran mampu bertahan dalam suka dan duka.
Daya tahan politik, ekonomi, dan sosial Iran di tengah embargo sudah terbukti sangat luar biasa, karena Iran sudah berada dalam situasi seperti ini dalam jangka waktu yang panjang. Bahkan, Iran mampu melakukan pembangunan di berbagai sektor kehidupan, dan militer Iran salah satu yang terkuat di Timur-Tengah. Hal itu terbukti pada kokohnya posisi Suriah, Houthi, Hamas, dan Hizbullah. Pengaruh Iran di Irak juga semakin kokoh.
Langkah Trump memusuhi Iran dalam realitasnya tidak berdampak apa-apa selain memperkokoh posisi Iran. Warga Iran juga semakin solid, dan sebaliknya cara pandang mereka terhadap AS akan terus memburuk. Mereka melihat AS tidak akan dan tidak mau berubah sejak tumbangnya rezim Shah Pahlevi pada 1979.
Atas dasar tersebut, Joe Biden sebagai Presiden AS terpilih akan merombak total kebijakan luar negeri AS di Timur-Tengah. Dalam sebuah pernyataan terbaru yang dilansir Biden, ia akan melakukan perundingan kembali perihal pembatasan senjata nuklir Iran. Maklum, sejak Trump mencabut kesepakatan nuklir secara unilateral, Iran terus mengembangkan senjata nuklirnya. Iran tidak gentar sedikitpun dengan manuver politik Trump dan Netanyahu.
Biden akan mengacu pada kesepakatan nuklir antara Presiden Obama dan Presiden Hasan Rouhani pada 2015. Bersama Inggris, Prancis, China, Jerman, dan Rusia, AS dan Iran mencapai kesepakatan nuklir yang bersejarah dengan pencabutan embargo ekonomi. Puncaknya, AS dan Iran bersama-sama mampu saling bahu-membahu dalam rangka menjungkalkan ISIS di Irak dan Suriah. Koalisi besar melawan ISIS sudah terbukti berhasil.
Gayung pun bersambut, Presiden Rouhani menyambut baik inisiatif Biden dalam memulai kembali perundingan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir. Javad Zarif mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Biden karena keduanya terlibat dalam perundingan yang dicapai Presiden Obama pada 2015.
Saya memandang, kesepakatan nuklir yang berlangsung dari 2015 hingga 2018 lalu akan dihidupkan kembali. Biden memilih jalan untuk berdamai dengan Iran, sehingga setidaknya akan terjadi diplomasi yang terbuka dan rasional di antara dua negara. Iran pun akan menggunakan momentum ini untuk keluar dari jebakan krisis ekonomi yang semakin terpuruk akibat pandemi. Iran membutuhkan dana segar untuk bernafas untuk menggairahkan aktivitas ekonomi.
Namun, masalahnya tidak sesederhana itu, karena langkah Biden memilih berdamai dengan Iran akan mendapatkan penentangan kuat dari para mitra strategis AS di kawasan. Israel, Arab Saudi, Mesir, UAE, Bahrain, dan Sudan akan mutung dan bisa jadi mengambil jarak dengan AS. Belum lagi, kubu konservatif akan melancarkan kritik kerasan terhadap Biden. Satu-satunya cara Biden untuk mendapatkan dukungan yang luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yaitu memastikan situasi di kawasan tanpa gonjang-ganjing.
Sementara bagi Iran, posisinya juga kurang lebih sama. Kubu konservatif Iran yang sekarang menguasai parlemen dan lembaga-lembaga strategis lainnya akan menentang kebijakan berdamai dengan AS. Kemartiran Qassem Soelaimani menjadi puncak dari soliditas warga Iran untuk memberikan perlawanan terhadap AS.
Walaupun demikian, posisi Iran secara umum sangat tergantung pada Pemimpin Spiritual, Ayatullah Ali Khamenei, yang keputusannya dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat di Iran. Kesepakatan nuklir pada 2015 pun sebenarnya mendapatkan penentangan dari berbagai lapisan warga Iran, khususnya kubu konservatif. Namun, semuanya bisa menerima karena Ayatullah Ali Khamenei mengamini langkah Presiden Rouhani yang telah mencapai kesepakatan nuklir bersejarah dengan Presiden Obama. Akankah nostalgia tersebut terulang kembali dalam waktu dekat, kita tunggu episode akhirnya. []
DETIK, 20 November 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan muslim, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar