Kamis, 19 November 2020

Azyumardi: Joe Biden dan Muslim

Joe Biden dan Muslim

Oleh: Azyumardi Azra

 

Jika tak ada aral melintang, Joe Biden bakal dilantik sebagai presiden ke-46 AS pada 20 Januari 2021. Biden bersama wakil presiden Kamala Harris memenangkan Pemilu Presiden AS setelah mengalahkan pejawat Donald Trump pekan lalu (4-7/11/2020).

 

Kemenangan Joe Biden (78 tahun) disebut banyak kalangan di dalam negeri AS dan mancanegara sebagai pertanda berakhirnya era Trump. yang penuh gejolak dan kekacauan.

 

Presiden Trump tak hanya membangkitkan politik identitas, tapi juga pembelahan dan kegaduhan rasisme kulit putih terhadap kulit hitam, juga Latino (Hispanik) dan Asia. Secara retrospektif, tak kurang pentingnya, Presiden Trump menampilkan sikap dan kebijakan anti-Muslim.

 

Dia mengeluarkan Perintah Eksekutif Presiden (Executive Order 13769), yang secara resmi disebut untuk “protecting the nation from foreign terrorist entry into the United States”.

 

Perintah Eksekutif itu yang juga disebut Muslim ban (pelarangan Muslim) itu melarang masuknya Muslim dari enam negara: Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.

 

Ketika Perintah Eksekutif ini diberlakukan pada 27 Januari 2017, sekitar 700 pelancong yang sudah sampai di berbagai bandara AS, dikembalikan ke negara masing-masing dan sekitar 700 ribu visa AS yang diterbitkan untuk warga dari keenam negara itu dibatalkan.

 

Agaknya, masih terlalu dini membayangkan kebijakan Biden setelah dilantik sebagai presiden menjelang akhir Januari 2021 nanti.

 

Karena itu, negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dan warga individu serta jamaah Muslim di negara-negara Eropa, Australia, India, Cina, dan AS, yang merupakan minoritas, tak perlu terjerumus euforia menyongsong pemerintahan Biden-Harris.

 

Meski demikian, rekam jejak Biden dapat dilacak yang sejauh menyangkut Islam, berbeda dengan Trump. Nama terakhir ini jauh sebelum menjadi presiden ke-45 AS, berkali-kali mengeluarkan pernyataan tak bersahabat terhadap Muslim dan Islam.

 

Trump menyatakan ‘masjid perlu ditutup’, ‘perlu membuat database Muslim untuk mengawasi’ dan ‘migran Muslim boleh jadi adalah laskar ISIS’. Rekam jejak Biden tampaknya tak memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam dan Muslim.

 

Selama dua kali masa jabatan sebagai wakil presiden ke-47 AS (2009-2017), Biden bersama presiden Barack Obama memberikan banyak gestur bersahabat dengan dunia Muslim. Trump dalam banyak kesempatan mengkritik Obama-Biden sebagai ‘terlalu bersahabat atau terlalu pro-Muslim’.

 

Meski Trump menganggap Biden ‘terlalu bersahabat’ dengan Muslim, ‘hanya’ 69 persen pemilih Muslim yang memberikan suara kepada Biden-Harris dalam pilpres lalu. Artinya, sekitar 17 persen dari jumlah pemilih Muslim masih pro-Trump. Tak begitu jelas, alasan pemilih Muslim yang ‘pro-Trump’ itu.

 

Sejak masa kampanye pilpres, pencoblosan kartu suara 4 November, penghitungan suara yang berakhir dengan kemenangan capres Joe Biden, presiden ke-46 AS ini menjadi tambah populer di kalangan Muslim.

 

Popularitas itu terkait ketika capres Biden mengucapkan ‘insya Allah’ di sela-sela debat dengan capres pejawat Trump soal pajak yang dia ‘kemplang’ (6/10/20). Trump berdalih akan mengembalikan pajak itu [ke kas negara], yang langsung ditukas Biden dengan ucapan: ‘Insya Allah’.

 

Popularitas Biden meningkat ketika di tengah masa penghitungan suara menyatakan, akan bersungguh-sungguh memperlakukan Islam semestinya—seperti dia juga memperlakukan agama besar lainnya.

 

Biden kemudian mengutip hadis yang sangat populer tentang kewajiban mengubah kemungkaran. “Hadis Nabi Muhammad memerintahkan siapa pun di antara kamu melihat kesalahan [kemungkaran], hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya; jika dia tidak mampu, dengan lidahnya; jika dia tidak mampu, dengan hatinya,” ujar Biden.

 

Selanjutnya, Biden menyatakan, akan mencabut Muslim [travel] ban pada hari pertamanya. Pernyataan ini mendapat sambutan hangat dari berbagai penjuru dunia Muslim.

 

Dalam konteks lebih luas itu, Biden dalam artikelnya “Why America Must Lead Again” (Foreign Affairs, Vol 99, 2; 2020) menyatakan, akan menghentikan destabilisasi Timur Tengah yang meningkat pada masa Presiden Trump, baik karena ancaman senjata nuklir maupun terorisme.

 

Biden juga bermaksud, membawa pulang mayoritas tentara AS di Afghanistan dan wilayah Timur Tengah lain. Dia ingin pula menghentikan dukungan AS terhadap Arab Saudi, dengan koalisi militernya yang menghancurkan Yaman. []

 

REPUBLIKA, 12 November 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar