Senin, 30 November 2020

(Ngaji of the Day) Peran Sayyidah Khadijah saat Nabi Muhammad Diboikot

Salah satu strategi kaum kafir Quraisy untuk menghentikan dakwah Islam adalah dengan melakukan blokade dan pemboikotan ekonomi dan sosial terhadap Nabi Muhammad dan keluarga besarnya, Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Mereka berpikiran, ketika diboikot maka Bani Hasyim dan Bani Muthalib akan terpecah-belah sehingga menyerahkan Nabi Muhammad. Namun, dugaan mereka salah. Mereka tetap solid dalam menghadapi langkah kaum musyrik tersebut.

 

Setidaknya ada empat poin yang tertera dalam piagam pemboikotan tersebut. Pertama, tidak boleh menikah dengan salah satu dari mereka dan tidak boleh pula menikahkan dengan mereka. Kedua, tidak boleh menjual dan membeli apa pun dari mereka. Ketiga, tidak menerima perdamaian dari mereka.

 

Keempat, tidak diperbolehkan merasa kasihan pada mereka sampai mereka mau menyerahkan Muhammad. Piagam tersebut kemudian digantung di dalam Ka’bah. Pemboikotan terhadap Nabi berlangsung selama tiga tahun–riwayat lain menyebut dua tahun.

 

Peristiwa ini terjadi pada tahun ketujuh kenabian, di mana istri Nabi, Sayyidah Khadijah, dan paman Nabi, Abu Thalib, masih hidup. Keduanya–yang dikenal sebagai pelindung Nabi dari gangguan kaum musyrik-juga ikut terboikot dan tidak dapat berbuat banyak. Meski demikian, Sayyidah Khadijah memiliki peran penting selama masa pemboikotan.

 

Sayyidah Khadijah telah terdidik dalam keluarga yang terhormat dan serba kecukupan. Keluargnya, Bani Asad, mengetahui kalau rasa lapar akibat pemboikotan kaum kafir Quraisy akan menyakiti Sayyidah Khadijah. Oleh karena itu, mereka berinisiatif mengirimkan sejumlah makanan dan barang-barang yang dibutuhkan lainnya untuk Sayyidah Khadijah. Barang-barang tersebut dikirim seorang budak dengan menggunakan unta pada malam hari, ketika kaum Quraisy sudah terlelap. Sayyidah Khadijah tidak memanfaatkan barang-barang itu sendirian, karena ia membaginya kepada mereka yang lebih membutuhkan.

 

Merujuk buku Khadijah Ummahatul Mukminin (Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal, 2014), Sayyidah Khadijah –meski tidak secara langsung- juga berperan penting dalam peristiwa penyobekan kertas piagam pemboikotan. Karena dia pula, paku pertama dalam penghancuran piagam pemboikotan diletakkan.

 

Ketika itu, saudara laki-laki Sayyidah Khadijah, Hakim bin Hizam, bersama seorang budak membawa gandum untuk diberikan kepada Sayyidah Khadijah. Di tengah jalan, dia dihadang Abu Jahal. Setelah terjadi ketegangan di antara keduanya, Hakim dibiarkan pergi dengan membawa makanan untuk Sayyidah Khadijah. Abu Bakhtari bin Hisyam yang saat itu juga ada di lokasi kemudian mengambil tongkat pemukul unta dan memukulkannya kepada Abu Jahal.

 

Semenjak itu, kaum berpikir untuk membatalkan pemboikotan yang dzalim tersebut. Masih menurut keterangan dalam buku yang sama, kejadian itu merupakan sebab dibatalkannya pemboikotan dan blokade kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan keluarganya.

 

Memang, setelah Hakim bin Hizam mengirimkan makanan untuk Sayyidah Khadijah dan Abu Jahal dipukul, banyak orang melakukan hal yang sama, diantaranya Hisyam bin Akhi Nahdlah. Tidak hanya itu, peristiwa itu juga membuat perempuan-perempuan Quraisy membicarakan hal itu dan mencela mereka yang tidak mengirim makanan untuk Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang diboikot.

 

Hisyam kemudian menggalang kekuatan dengan memprovokasi beberapa orang untuk membatalkan piagam pemboikotan tersebut. Semula dia mendatangi Zuhair bin Umayyah dan ibunya Atikah binti Abdul Muthalib.

 

"Wahai Zuhair, apakah engkau ridha kita memakan makanan, memakai baju, menikahi perempuan, sedangkan para pamanmu seperti yang engkau ketahui, tidak boleh menjual atau membeli dari mereka, tidak boleh menikahi ataupun menikahkan seseorang dengan mereka," kata Hisyam. Zuhair menjadi semangat setelah mendengar perkataan Hisyam tersebut. Ia kemudian meminta Hisyam untuk mencari orang lainnya.

 

Maka Hisyam mendatangi al-Mut’im bin Adi, Abul Bakhtari, dan Zam’ah bin al-Aswad. Kepada mereka, Hisyam mengatakan hal yang sama seperti yang disampaikan kepada Zuhair. Mereka menerima ajakan Hisyam untuk membatalkan pemboikotan terhadap Nabi dan keluarganya. Untuk mematangkan rencana dan strategi pembatalan pemboikotan, pada malam hari mereka berkumpul di puncak Gunung Hajun untuk bermusyawarah. Hasilnya, mereka siap melakukan apapun untuk membatalkan pemboikotan tersebut.

 

Keesokan harinya, Zuhair yang memakai baju terbaiknya melaksanakan thawaf di area Ka’bah. Di hadapan banyak orang, ia ‘memprovokasi’ penduduk Makkah perihal kondisi Nabi Muhammad dan keluarga besarnya yang begitu menderita. Ia juga mengancam tidak akan duduk sampai kertas pemboikotan yang menempel di dinding Ka’bah disobek.

 

Abu Jahal yang ketika itu berada di baitullah menyatakan tidak akan menuruti permintaan Zuhair. Namun ucapan Abu Jahal langsung ditimpali Zam’ah, Abu Bakhtari, dan Mut’im. Mereka menegaskan, tidak setuju dan tidak ridha ketika isi perjanjian pemboikotan itu ditulis. Mut’im bin Adi langsung menuju kertas penjanjian pemboikotan untuk menyobeknya. Namun, kertas tersebut telah dimakan rayap, kecuali tulisan ‘Dengan menyebut nama-Mu ya Allah.’

 

Dengan demikian, berakhirlah masa pemboikotan dan blokade kaum musyrik Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan keluar besarnya. Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah yang saat itu sedang sakit kemudian keluar dari lembah Bani Hasyim dan menuju ke rumahnya untuk memulai kehidupan yang baru. []

 

(Muchlishon Rochmat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar