Selasa, 24 November 2020

(Hikmah of the Day) Majidah Al-Qurasyiyah, Sufi Perempuan yang Mengejar Ridha Ilahi

Majidah Al-Qurasyiyyah tidak banyak yang diketahui perihal dirinya. Ia hanya dikenal sebagai ahli ibadah perempuan yang berkebangsaan Quraisy di masa genarasi awal Islam. Namun demikian, pandangan-pandangan spiritualnya dikenang di kalangan para sufi seperti dikutip Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam At-Thabaqatul Kubra: Lawaqihul Anwar fi Thabaqatil Akhyar.


Majidah hamba Allah yang waspada atas pergantian waktu. Ia merasa maut terus mendekat seiring perubahan waktu. Ia mengatakan, “Tiada sebuah gerakan yang terdengar dan langkah kaki yang berderap melainkan aku merasa ajalku tiba sesudah itu.”


Majidah tidak habis pikir atas kelalaian kebanyakan manusia di dunia yang fana ini. Baginya, kebanyakan manusia lalai atas perjalanannya yang sangat singkat di dunia. Sering kali mereka menyaksikan bukti-bukti kematian orang-orang di sekitar mereka. Meski demikian, mereka merasa bukti itu tidak dialamatkan kepada mereka.


“Betapa kurangnya akal pikiran ini. Penghuni dunia ini diberitahukan untuk pindah. Tetapi mereka malah bingung dan memacu diri mereka begitu lambat. Seolah bukan mereka yang dituju. Pemberitahuan itu seakan bukan untuk mereka dan yang dituju pada perintah tersebut seolah selain mereka.” (As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 66).

 

Majidah bukan tipikal hamba Allah yang senang melewatkan waktu tanpa aktivitas ibadah. Menurutnya, ganjaran surga dan ridha Ilahi didapat bukan dengan tangan kosong, tetapi melalui keringat dan jerih payah ibadah.


“Para hamba Allah yang taat itu tidak mendapatkan surga dan ridha Allah kecuali dengan aktivitas ibadah hingga terasa letih.” (As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 66).


Abdurrahman Ibnul Jauzi mengutip Iyas bin Hamzah, seorang penduduk Bahrain, yang bercerita bahwa ada seorang perempuan dari Quraisy yang bernama Majidah. Perempuan yang terkenal salehah itu mengatakan, “Terbit dan tenggelam matahari telah menyusutkan angan-anganku yang panjang. Tiada sebuah gerakan yang terdengar dan langkah kaki yang berderap melainkan aku merasa ajalku tiba sesudah itu.”


Salah satu kedunguan ahli maksiat yang paling menyengsarakan, kata Majidah, adalah penundaan dan istidraj yang memperdaya mereka. Mereka menggelar panjang angan-angan, lalu mengabaikan amal saleh. Kalau mereka menegakkan ajal dan memangkas habis angan-angan itu, niscaya amal saleh itu akan terasa ringan. (Ibnul Jauzi, Shafwatus Shafwah: 1979 M).


Menurut Majidah, amal saleh harus dilakukan saat hati senang atau saat hati sedang penat. Sebenarnya, perhatian terhadap hari akhir sudah cukup menyibukkan orang-orang mukmin.

 

“Kalau saja orang-orang yang zuhud itu dapat melihat ganjaran pahala yang disediakan Allah bagi mereka yang berpaling dari dunia, niscaya mereka akan remuk redam karena merindukan kematian untuk mendapatkan karunia Allah yang mereka cita-citakan.” (Ibnul Jauzi, Shafwatus Shafwah: 1979 M). Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar