Majidah Al-Qurasyiyyah tidak banyak yang diketahui perihal dirinya. Ia hanya dikenal sebagai ahli ibadah perempuan yang berkebangsaan Quraisy di masa genarasi awal Islam. Namun demikian, pandangan-pandangan spiritualnya dikenang di kalangan para sufi seperti dikutip Abdul Wahhab As-Sya’rani dalam At-Thabaqatul Kubra: Lawaqihul Anwar fi Thabaqatil Akhyar.
Majidah hamba Allah yang waspada atas pergantian waktu. Ia merasa maut terus
mendekat seiring perubahan waktu. Ia mengatakan, “Tiada sebuah gerakan yang
terdengar dan langkah kaki yang berderap melainkan aku merasa ajalku tiba
sesudah itu.”
Majidah tidak habis pikir atas kelalaian kebanyakan manusia di dunia yang fana
ini. Baginya, kebanyakan manusia lalai atas perjalanannya yang sangat singkat
di dunia. Sering kali mereka menyaksikan bukti-bukti kematian orang-orang di
sekitar mereka. Meski demikian, mereka merasa bukti itu tidak dialamatkan
kepada mereka.
“Betapa kurangnya akal pikiran ini. Penghuni dunia ini diberitahukan untuk
pindah. Tetapi mereka malah bingung dan memacu diri mereka begitu lambat. Seolah
bukan mereka yang dituju. Pemberitahuan itu seakan bukan untuk mereka dan yang
dituju pada perintah tersebut seolah selain mereka.” (As-Sya’rani,
At-Thabaqatul Kubra: 66).
Majidah bukan tipikal hamba Allah yang senang melewatkan waktu tanpa aktivitas ibadah. Menurutnya, ganjaran surga dan ridha Ilahi didapat bukan dengan tangan kosong, tetapi melalui keringat dan jerih payah ibadah.
“Para hamba Allah yang taat itu tidak mendapatkan surga dan ridha Allah kecuali
dengan aktivitas ibadah hingga terasa letih.” (As-Sya’rani, At-Thabaqatul
Kubra: 66).
Abdurrahman Ibnul Jauzi mengutip Iyas bin Hamzah, seorang penduduk Bahrain,
yang bercerita bahwa ada seorang perempuan dari Quraisy yang bernama Majidah.
Perempuan yang terkenal salehah itu mengatakan, “Terbit dan tenggelam matahari
telah menyusutkan angan-anganku yang panjang. Tiada sebuah gerakan yang
terdengar dan langkah kaki yang berderap melainkan aku merasa ajalku tiba
sesudah itu.”
Salah satu kedunguan ahli maksiat yang paling menyengsarakan, kata Majidah,
adalah penundaan dan istidraj yang memperdaya mereka. Mereka menggelar panjang
angan-angan, lalu mengabaikan amal saleh. Kalau mereka menegakkan ajal dan
memangkas habis angan-angan itu, niscaya amal saleh itu akan terasa ringan.
(Ibnul Jauzi, Shafwatus Shafwah: 1979 M).
Menurut Majidah, amal saleh harus dilakukan saat hati senang atau saat hati
sedang penat. Sebenarnya, perhatian terhadap hari akhir sudah cukup menyibukkan
orang-orang mukmin.
“Kalau saja orang-orang yang zuhud itu dapat melihat ganjaran pahala yang disediakan Allah bagi mereka yang berpaling dari dunia, niscaya mereka akan remuk redam karena merindukan kematian untuk mendapatkan karunia Allah yang mereka cita-citakan.” (Ibnul Jauzi, Shafwatus Shafwah: 1979 M). Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar