Jumat, 29 Maret 2019

(Do'a of the Day) 21 Rajab 1440H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma inni a'uudzu bika min 'ilmin laa yanfa'u, wa min qalbin laa yakhsya'u, wa min nafsin laa tasyba'u, wa min da'watin laa yustajaabu lahaa.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu', diri yang tidak pernah puas, dan do'a yang tidak diperkenankan.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

(Khotbah of the Day) Tiga Hal Penting di Bulan Rajab


KHUTBAH JUMAT
Tiga Hal Penting di Bulan Rajab

Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Alhamdulillah, pada bulan ini kita masih berada di bulan mulia, yaitu bulan Rajab 1440 H. Perlu kita syukuri karena Rajab termasuk bulan yang mulia. Kata Rajab berasal dari kata “tarjib” yang bermakna agung dan mulia. Allah SWT memberikan keistimewaan terhadap Rajab di antara bulan-bulan lain yang juga menyandang predikat mulia, yaitu Muharram, Dzulhijjah, Dzulqa’dah, dan Rajab. Bulan Rajab adalah bulan yang penuh rahmat, anugerah, dan kebaikan dari Allah SWT.

Menurut Syekh Abdul Qodir Al Jailani dalam kitab al-Ghuniyah, Rajab terdiri dari tiga huruf, yaitu Ra’, Jim, dan Ba’. Ra’ adalah Rahmatullâh (rahmat Allah), Jim adalah Jûdullâh (kemudahan Allah), dan Ba’ adalah Birrullâh (kebaikan Allah). Maksudnya, mulai awal hingga akhir bulan Rajab, Allah SWT melimpahkan tiga anugerah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu limpahan rahmat, kemudahan, dan kebaikan dari Allah SWT. Ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan dari bulan Rajab. 

Kemuliaan bulan Rajab semakin bertambah dengan peristiwa monumental  isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad SAW dari dari Masjidil haram  Makkah menuju masjidil Aqsho Palestina. Kemudian dilanjutkan dari masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha untuk menghadap Allah SWT sang pencipta Alam semesta. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Isra’ ayat 1:

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Artinya: Maha-Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsho yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. 

Peristiwa tersebut juga mendapat penjelasan dalam Shahih Bukhari,  juz 5 halaman 52. Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Allah SWT.  Allah SWT memerintahkan Nabi untuk melaksanakan shalat fardlu sebanyak lima puluh rakaat setiap hari. Nabi menerima dan kemudian kembali pulang, dalam perjalanan, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Musa AS, Nabi Musa mengingatkan bahwa umat Nabi Muhammad tidak akan mampu dengan perintah shalat lima puluh kali sehari, Nabi Musa mengatakan, umatku telah membuktikannya. Lalu meminta kepada Nabi Muhammad untuk kembali pada Allah SWT, mohonlah keringanan untuk umatmu. Kemudian Nabi menghadap kepada Allah dan diringankan menjadi shalat sepuluh kali. kemudian Nabi Muhammad kembali kepada Nabi Musa, dan Nabi Musa mengingatkan sebagiamana yang pertama.  Kembali Nabi menghadap Allah hingga dua kali, dan akhirnya Allah mewajibkan shalat lima waktu. Nabi Muhammad kembali pada Nabi Musa, Nabi musa tetap mengatakan bahwa umatmu tidak akan kuat wahai Nabi Muhammad, Nabi Muhammad menjawab, saya malu untuk kembali menghadap pada Allah SWT. Saya ridho dan pasrah kepada Allah SWT. 

Peristiwa isra’ dan mi’raj yang terjadi di bulan Rajab semakin menambah terhadap kemuliaan bulan ini, lalu amalan apa yang perlu dilakukan dalam bulan Rajab yang mulia ini?

Pertama adalah melakukan puasa sunnah di bulan Rajab. Terkait kesunahan puasa di bulan Rajab ini terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahih Muslim juz 2 halaman 811:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: " كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ "

Artinya: “Utsman bin Hakim berkata: saya bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab, ketika itu kami berada di bulan Rajab. Sa’id menjawab: saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW berpuasa (berturut-turut) hingga kami menduga beliau berpuasa, dan beliau tidak berpuasa (berturut-turut) hingga kami menduga beliau tidak puasa.” 

Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim juz 8 halaman 38, hadits di atas tidak menunjukkan larangan khusus atau kesunahan khusus puasa di bulan Rajab. Karena itu, kesunahan puasa di bulan Rajab melihat terhadap dua aspek, pertama  hukum asal puasa hukumnya adalah sunnah.  Kedua, perintah Nabi yang menganjurkan puasa di bulan-bulan mulia, bulan Rajab adalah salah satunya.  Imam ats-Tsauri sebagaimana dikutip Ibnu Rajab dalam kitab Lathaiful Ma’arif juz 1 halaman 119 menyatakan: “Aku amat menyukai amalan puasa di bulan-bulan haram (mulia).  Hal ini telah dipraktikkan oleh sebagian ulama salaf yang berpuasa di setiap bulan yang mulia, seperti Ibnu Umar, Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq as-Sabi’i.”

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Kedua, selalu menjalankan kewajiban shalat lima waktu tepat pada waktunya. Musthafa As Siba’i dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah, Durus wa ‘Ibar, jilid 1 halaman 54 menjelaskan bahwa jika Nabi melakukan isra’ dan mi’raj dengan ruh dan jasadnya sebagai mu’jizat, maka sebuah keharusan bagi tiap Muslim menghadap (mi’roj) kepada Allah SWT lima kali sehari dengan jiwa dan hati yang khusyu’. Dengan shalat yang khusyu’, seseorang akan merasa diawasi oleh Allah SWT, sehingga ia malu untuk menuruti syahwat dan hawa nafsu, malu untuk berkata kotor, malu untuk mencaci orang lain, malu untuk berbuat bohong, dan sebaliknya lebih senang dan mudah untuk melakukan banyak kebaikan.  Hal tersebut demi untuk mengagungkan keesaan Allah, kebesaran Allah, sehingga dapat menjadi makhluk Allah yang terbaik di muka bumi ini.
   
Ketiga, Rajab adalah bulan yang tepat untuk bertobat dari segala maksiat. Ibnu Rajab dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif juz 1 halaman 122 menganjurkan umat manusia untuk bertobat di bulan Rajab yang mulia ini. Beliau mengatakan: “Putihkanlah lembaran hitammu di bulan Rajab, dengan amal baik yang menyelamatkanmu dari api yang melalap.” 

Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab al-Ghuniyah menjelaskan ada tiga syarat agar tobat kita diterima oleh Allah SWT. Pertama, menyesali kesalahan dan kemaksiatan yang telah kita perbuat. Kedua, meninggalkan setiap kesalahan di mana pun dan kapan pun. Ketiga, berjanji untuk tidak mengulang dosa dan kesalahan. Ketiga syarat tersebut harus kita laksanakan agar tobat kita benar-benar diterima oleh Allah SWT.

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Mengapa kita perlu memperhatikan bulan Rajab yang mulia ini? Karena Bulan Rajab adalah bulan yang mulia. Berdoa pada Allah di bulan ini tidak akan sia-sia. Sungguh beruntung seseorang yang memperbaiki amalan, menjauhkan diri dari perbuatan keji dan kemungkaran. Beramal di bulan ini bagaikan mendapatkan emas mulia, memanfaatkan waktu dengan taat merupakan hal yang utama. 

Khatib berwasiat kepada diri sendiri dan para jamaah sekalian. Wahai hamba Allah, raihlah (kebaikan) bulan Rajab dan kembalilah ke jalan Allah, Ampunan Allah akan diberikan pada hamba yang bertobat.  Di bulan ini pintu-pintu ampunan Allah telah terbuka, segeralah bertobat dan menyambutnya.

Syekh Dzunnun Al-Mishri sebagaimana dikutip Syekh Abdul Qadir dalam kitab al-Ghuniyah juz 1 halaman 326 mengatakan, Rajab adalah bulan untuk meninggalkan kejelekan, Sya’ban adalah bulan untuk menambah ketaatan, Ramadhan adalah bulan untuk menjemput kemuliaan. Seseorang yang tidak meninggalkan kejelekan, tidak melaksanakan ketaatan, tidak menjemput kemuliaan, maka ia adalah pengikut setan.  Na‘ûdzu billâhi min dzâlik.

Selain itu, Rajab adalah bulan bercocok tanam, Sya’ban bulan untuk menyiram, dan Ramadhan adalah bulan panen hasil bertanam. Setiap orang akan menuai apa yang ia tanam, setiap orang akan menuai perbuatannya. Siapa pun yang tidak menghiraukan tanamannya, ia akan menyesal di hari pembalasan.

Di Bulan Rajab ini, semoga kita menjadi hamba yang terhindar dari segala kejelekan dan kemaksiatan, selalu beruntung dengan melakukan banyak ladang amal ibadah, mendapatkan pahala amal ibadah yang berlipat dan selalu mendapatkan ridha dari Allah SWT.  Aamiin ya rabbal ‘alamiin.  

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Rustam Ibrahim, Dosen UNU Surakarta

Peran NU dalam Pembebasan Irian Barat dari Belanda


Peran NU dalam Pembebasan Irian Barat dari Belanda

Pulau Irian Barat (kini bernama Papua) merupakan tanah jajahan yang lama dikoloni oleh Belanda. Karena hingga tahun 1961, Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda. Irian Barat memang salah satu tanah jajahan kaya yang banyak menguntungkan Belanda dengan hasil bumi dan lautnya.

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama KH Abdul Wahab Chasbullah bersama KH Saifuddin Zuhri, dan KH Idham Chalid berupaya menginisiasi perundingan dengan Belanda dalam rangka pembebasan Irian Barat. Sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) hasil Dekrit 5 Juli 1959, usulan tiga kiai NU tersebut sangat dipertimbangkan oleh Soekarno.

Singkatnya, dengan ikhtiar dan gagasan Kiai Wahab Chasbullah yang disampaikan kepada Presiden Soekarno, Indonesia berhasil mengusir Belanda dari Irian Barat. Pulau paling timur Indonesia tersebut kembali ke pangkuan Indonesia.

Awalnya, para kiai NU melihat bahwa masyarakat Irian Barat berada dalam kondisi senasib sepenanggungan karena sama-sama dalam kondisi terjajah oleh Belanda. Sebab itu, melepaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda sama seperti memerdekakan saudara sendiri. Peran para kiai NU diakui oleh Soekarno saat ia menyampaikan pidato di depan peserta Muktamar ke-23 NU di Surakarta (Sala), 24-29 Desember 1962:

"Baik ditinjau dari sudut agama, nasionalismem, maupun sosialisme, NU memberi bantuan yang sebesar-besarnya. Malahan, ya memang benar, ini lho Pak Wahab ini bilang sama saya waktu itu di DPA dibicarakan: berunding apa tidak dengan Belanda mengenai Irian Barat, beliau mengatakan, jangan politik keling. Ya bilang ya pak Bandrio, katanya. Ketika itu saya katakan, nanti orang keling marah lho. ‘Jangan politik keling’. Atas advis anggota DPA bernama Kiai Wahab Chasbullah itu, maka kita menjalankan Trikora, dan Trikora berhasil saudara-saudara. Pada 1 Oktober, bendera Belanda turun di Irian Barat diganti bendera UNTEA. Pada tanggal 31 Desember, UNTEA akan didampingi bendera Merah Putih. Dan 1 Mei 1963 nanti, bendera satu-satunya di Irian Barat adalah Merah Putih."

Awal riwayat peran NU dalam pembebasan Irian Barat seperti diungkapkan Choirul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985). Ia menyebutkan, hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS. Ketika itu DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat dengan pihak Belanda.

Kiai Wahab segera menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’. Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.

Ikhtiar lahir batin tersebut ialah urusan dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu, kehidupan politik harus sehat, partai politik harus diberi jaminan untuk ikut berpatisipasi secara jujur dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.

Semua pertimbangan tersebut perlu dipikirkan dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan, keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan, ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ memang memerlukan waktu karena pertimbangan keadaan dalam negeri.

Tetapi bukan berarti ikhtiar tersebut harus berhenti. Diplomasi dengan pihak Belanda terus dilakukan dan ‘Cancut Tali Wondo’ juga tidak boleh berhenti. Ibarat orang yang mau ‘adu jotos’ (berkelahi), siasat yang digunakan dengan cara memperlama waktu dan menyingsingkan lengan baju sambil mulut terus mengeluarkan tantangan untuk membuat musuh menjadi gentar.

Kalau musuh tiba-tiba menyodorkan kepalanya untuk memukul, dan kita belum siap, maka hindari terlebih dahulu. Dan kalau perlu ditambah waktu satu tahun lagi untuk menyingisingkan lengan baju. Kalau Indonesia sudah ‘punya keris’, maka bisa bersikap keras kepada Belanda.

Ternyata, saran Kiai Wahab tidak meleset. Pada mulanya, Belanada menganggap bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak mempunyai kemampuan ofensif. Tetapi setelah persiapan sudah matang dan di antaranya dilakukan pembelian peralatan ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Republik Indonesia. []

(Fathoni)

(Ngaji of the Day) Hukum Makan dan Minum sambil Berdiri


Hukum Makan dan Minum sambil Berdiri

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, beberapa teman saya menegur salah seorang sahabat saya  karena minum sambil berdiri di depan gallon air. Pasalnya, makan dan minum dalam posisi berdiri dilarang oleh agama. Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Hadi – Medan

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Makan dan minum dalam posisi berdiri ini kerap menjadi perbincangan kecil beberapa orang di tengah masyarakat. Pada kesempatan ini, kami mencoba memberikan informasi keagamaan perihal ini.

Praktik makan dan minum dalam posisi berdiri disinggung dalam sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW. Sebagian hadits nabi melarang umat Islam melakukan praktik ini. Larangan ini tampak jelas dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Muslim berikut ini:

وعن أبي سعيد أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم نهى عن الشرب قائما رواه أحمد ومسلم

Artinya, “Dari Abu Said bahwa Nabi SAW melarang minum sambil berdiri,” (HR Ahmad dan Muslim).

Pada kesempatan lain, Nabi SAW juga pernah meminum air zam-zam dalam posisi berdiri. Riwayat Imam Ahmad dan Bukhari berikut ini mengisahkan Sayyidina Ali RA yang minum dalam posisi berdiri:

وعن الإمام علي رضي الله عنه أنه في رحبة الكوفة شرب وهو قائم قال إن ناسا يكرهون الشرب قائما وإن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم صنع مثل ما صنعت رواه أحمد والبخاري

Artinya, “Dari Imam Ali RA bahwa ia di satu lapangan di Kota Kufah meminum dalam posisi berdiri. Ia berkata, ‘Banyak orang memakruhkan minum dalam posisi berdiri. Padahal Rasulullah SAW melakukan apa yang kulakukan,’” (HR Ahmad dan Bukhari).

Bagaimana menyikapi dua dalil yang bertentangan perihal praktik makan dan minum smabil berdiri? Imam An-Nawawi mencari titik temu antara kedua hadits tersebut. Metode ini digunakan agar semangat kedua hadits tersebut tetap terakomodasi dalam putusan hukum sebagai berikut ini:

ولا يكره الشرب قائما وحملوا النهي الوارد على حالة السير قلت هذا الذي قاله من تأويل النهي على حالة السير قد قاله ابن قتيبة والمتولي وقد تأوله آخرون بخلاف هذا والمختار أن الشرب قائما بلا عذر خلاف الأولى للأحاديث الصريحة بالنهي عنه في صحيح مسلم وأما الحديثان الصحيحان عن علي وابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم شرب قائما فمحمولان على بيان الجواز جمعا بين الأحاديث

Artinya, “Minum sambil berdiri tidak makruh. Ulama memahami larangan yang tersebut itu dalam keadaan perjalanan. Menurut saya, pendapat yang dikatakan ini berdasar pada takwil larangan dalam keadaan perjalanan sebagaimana dipegang oleh Ibnu Qutaibah dan Al-Mutawalli. Ulama lain menakwil berbeda. Pendapat yang kami pilih, minum sambil berdiri tanpa uzur menyalahi yang utama berdasarkan larangan pada hadits riwayat Imam Muslim. ” Lihat Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1405 H], juz VII, halaman 340).

Mayoritas sendiri dari hadits yang ada perihal makan dan minum sambil berdiri menganjurkan mereka yang tidak memiliki uzur apa pun untuk makan dan minum sambil duduk. Sedangkan makan dan minum sambil berdiri menyalahi keutamaan.

لا خلاف بين الفقهاء أنه يندب الْجُلُوسُ لِلأكْل وَالشُّرْبِ وَأَنَّ الشُّرْبَ قَائِمًا بِلاَ عُذْرٍ خِلاَفُ الأَوْلَى عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ

Artinya, “Tiada khilaf di kalangan ahli fiqih bahwa seseorang dianjurkan makan dan minum sambil duduk. Tetapi minum sambil berdiri tanpa uzur menyalahi yang afdhal menurut mayoritas ulama,” (Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz XV, halaman 270-271).

Pada prinsipnya, praktik makan dan minum sambil berdiri boleh dilakukan. Hanya saja makan dan minum sambil duduk lebih utama.

ويجوز الشرب قائماً، والأفضل القعود

Artinya, “Minum sambil berdiri boleh. Tetapi afdhalnya minum dilakukan sambil duduk,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz III, halaman 536).

Kami menyarankan orang-orang yang tidak memiliki uzur atau hajat tertentu untuk makan dan minum sambil duduk untuk mengejar keutamaan.

Bagi mereka yang memiliki uzur, hajat tertentu, atau lupa, apa boleh buat makan dan minum dalam kondisi berdiri sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya yang disaksikan oleh sejumlah sahabat. Tetapi hal ini sebaiknya tidak menjadi kebiasaan.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU