Tanggapan atas Tuduhan
Antibendera Tauhid Khilafah
Meski organisasi Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) telah dibubarkan, yaitu melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, namun sebagai ideologi tidak otomatis berhenti. Para eks HTI
pun dengan berbagai cara terus melakukan propaganda khilafah di tengah
masyarakat.
Mereka melakukan propaganda secara
terang-terangan dan bawah tanah dengan berbagai kamuflasenya. Dengan dalih
mengenalkan kalimat tauhid mereka melakukan propaganda politik melalui stiker,
topi, kaos, berbagai atribut dan tentunya bendera ala Hizbut Tahrir.
Tidak jarang, sebagian masyarakat pun
ikut-ikutan karenanya. Kemudian kalau ada orang yang menolaknya, sejurus
kemudian langsung dicap dan divonis sebagai antitauhid, sebagaimana terjadi
dalam berbagai diskusi di facebook, grup-grup WA dan media sosial lainnya. Lalu
bagaimana kita menjawabnya?
Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa
menolak bendera Hizbut Tahrir (demikian atribut lainnya) yang identik dengannya
tidak berarti menolak tauhid sebagaimana klaimnya. Kenapa demikian? Berikut ini
argumentasinya.
Substansi dan Fungsi Suatu Bendera
Argumentasi pertama tentang substansi dan
fungsi bendera. Suatu bendera merupakan simbol dari berbagai ide dan substansi
yang diusung di baliknya. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh pakar hadits asal
Cordova, Abul Abbas Al-Qurthubi (578-656 H/1186-1258 M), yang kemudian dikutip
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqallani (773-852 H/1372-1449 M).
Dalam tradisi Arab tempo dulu, masyarakat
menggunakan simbol bendera hitam untuk menunjukkan orang yang tidak memenuhi
janji dan sebaliknya menggunakan simbol bendera putih untuk menunjukkan orang
yang memenuhi janji, (Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqallani, Fathul Bari
Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1379 H], juz VI, halaman 284).
Demikian pula suatu bendera merupakan simbol
dan representasi berbagai ide serta substansi yang ada di baliknya akan berlaku
sampai kapan pun, bahkan hingga kiamat kelak, sebagaimana disabdakan oleh
Rasulullah SAW:
لِكُلِّ
غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعْرَفُ بِهِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ
فُلاَنٍ. متفق عليه
Artinya, “Setiap orang yang tidak memenuhi
janji akan mempunyai bendera pada hari kiamat yang menjadi atributnya, yang
dikatakan kepadanya: ‘Ini tanda si fulan tidak memenuhi janji,’” (Muttafaq
‘alaih)
Sementara dilihat dari fungsi teknisnya,
bendera Rasulullah SAW sebagai atribut perang, sebagaimana diriwayatkan dalam
perang Khaibar dan Fathu Makkah:
عَنْ
سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحبُّ اللهَ وَرَسولَهُ. رواه البخاري
Artinya, “Diriwayatkan dari Salamah bin
Al-Akwa’, Rasulullah SAW bersabda, ‘Niscaya besok kuberikan bendera ini kepada
seseorang (Ali karramallahu wajhah) yang mencintai Allah dan Rasul-Nya,’” (HR
Al-Bukhari).
عَنْ
نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ الْعَبَّاسَ يَقُولُ لِلْزُّبَيْرِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا: هَا هُنَا أَمَرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ تَرْكُزَ الرَّايَةَ. رواه البخاري
Artinya, “Diriwayatkan dari Nafi’ bin Jubair,
ia berkata, ‘Aku mendengar Al-‘Abbas berkata kepada Az-Zubair RA, ‘Di sini Nabi
SAW memerintahkanmu untuk menancapkan bendera perang,’” (HR Al-Bukhari).
Berkaitan hadist-hadits seperti ini, pakar
hadits Al-Muhallab bin Abi Shafrah Al-Maliki (7-83 H/628-702 M) lalu
menjelaskan bahwa disunnahkan membuat bendera dalam perang. (Lihat Ahmad bin
Ali bin Hajar al-‘Asqallani, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul
Ma’rifah: 1379 H], juz VI, halaman 127).
Pertanyaannya yang muncul adalah bahwa dalam
kondisi damai, untuk apa Hizbut Tahrir mengarak-arak bendera yang diklaim
sebagai bendera tauhid itu? Apakah untuk memprovokasi semangat perang kepada
para simpatisannya sebagaimana selama ini mengafir-ngafirkan negara dan
menaghut-taghutkan Pancasila?
Karenanya, bendera kalimat tauhid Hizbut
Tahrir yang sering diklaim sebagai bendera Islam dan bukan bendera Hizbut
Tahrir sendiri sampai kapan pun tetap menjadi simbolisasi dan representasi
ide-ide khilafah ala Hizbut Tahrir. Fungsinya adalah tetap untuk memprovokasi
semangat ‘perang’ para simpatisannya dalam mengafir-ngafirkan negara dan
menaghut-taghutkan Pancasila, sebagaimana mereka bangga-banggakan dalam berbagai
pawai sebelum dibubarkan maupun setelahnya dalam berbagai kamuflasenya.
Oleh karenanya, menolak bendera Hizbut Tahrir
tidak berarti menolak tauhid, tetapi menolak ide dan substansi yang
dipropagandakan kelompok khilafah sekaligus menolak penggunaan simbol-simbol
agama tidak pada tempatnya.
Tulisan dalam Bendera
Argumentasi kedua tentang tulisan dalam
bendera. Klaim bahwa bendera Hizbut Tahrir yang bertuliskan kalimat tauhid ‘Lā
ilāha illallāh, Muhammadur rasūlullāh’ sebagai bendera Rasulullah SAW adalah
klaim yang lemah, sebab kedhaifan hadits-hadits yang dijadikan dasar oleh
mereka.
Berkaitan hal ini pakar hadits asal Baitul
Maqdis Palestina, Al-Hafizh Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi (448-507 H/1056-1113
M) telah mengemasnya secara rapi dalam satu halaman dari Al-Kamil karya
Al-Hafizh Ibn ‘Adi Al-Jurjani (277-365 H/890-976 H) dalam hadits nomor 4187:
حَدِيثُ: كَانَتْ
رَايَةُ رَسُولُ اللهِ سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ، مَكْتُوبٌ فِيهِ: لَا
اِلٰهَ اِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَّسُولُ اللهِ. رَوَاهُ حَمَّادُ بْنُ أَبِي
حَمِيدٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ.
هَكَذَا رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ أَبيِ السَّرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ وَهْبٍ
عَنْهُ. وَرَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ أَبيِ السَّرِيِّ مَرَّةً أُخْرَى عَنْ عَبَّاسَ
بْنِ طَالِبٍ عَنْ حَيَّانَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ. أَوْرَدَهُ ابْنُ عَدِيٍّ فِي ذِكْرِ حَمَّادٍ وَقَالَ:
أَظُنُّ التَّخْلِيطَ فِيهِ مِنْ قِبَلِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبيِ السَّرِيِّ. أَوْرَدَهُ
فِي ذِكْرِ أَبِي يَحْيَى الْوَقَّارِ بِهَذَا اللَّفْظِ وَفِيهِ: مَكْتُوبٌ
عَلَيْهِ: لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَّسُولُ اللهِ. رَوَاهُ الْعَبَّاسِ
بْنِ طَالِبِ الْأَوْدِيِّ عَنْ حَيَّانَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ أَبُو زُهَيْرِ
الْعَدَوِيِّ عَنِ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ. وَهَذَا
الْحَدِيثُ عَنْ حَيَّانَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ يَرْوِيهِ عَنْهُ الْعَبَّاسُ بْنُ
طَالِبٍ إِلَّا أَنَّ مَنْ رَوَاهُ عَنْهُ، قَالَ: عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ.
Artinya, “Hadits, ‘Rayah Rasulullah berwarna
hitam, liwa’nya berwarna putih dan di dalamnya tertulis kalimat: ‘Lā ilāha
illallāh, Muhammadur rasūlullāh’, Hammad bin Abi Hamid meriwayatkannya dari
Az-Zuhri dari Sa’id bin Al-Musayyab dari Abu Hurairah. Demikian pula Muhammad
bin Abis Sari meriwayatkannya dari Abdullah bin Wahab dari Abu Hurairah.
Muhammad bin Abis Sari meriwayatkan juga dari Abbas bin Thalib dari Hayyan bin
Ubaidillah dari Abi Mijlaz dari Ibn Abbas. Ibn ‘Adi menghadirkannya dalam
penjelasan tentang biografi Hammad, dan ia berkata, ‘Aku menduga takhlith
(terbolak-baliknya perawi) dari perbuatan Muhammad bin Abis Sari (Jelas sekali
kedhaifan atas apa yang diriwayatkannya). Ibn Adi juga menghadirkannya dalam
penjelasan tentang biografi Abu Yahya Al-Waqqar dengan redaksi ini dan di
dalamnya terdapat redaksi: ‘Padanya tertulis kalimat: ‘Lā ilāha illallāh,
Muhammadur rasūlullāh’. Al-‘Abbas bin Thalib Al-Audi meriwayatkannya dari
Hayyan bin ‘Ubaidillah Abu Zuhair Al-‘Adawi dari Ibn Mijlaz dari Abdullah bin
Umar. Al-‘Abbas bin Thalib meriwayatkan hadits ini dari Hayyan bin ‘Ubaidillah,
hanya saja perawi yang meriwayatkan darinya mengatakan, ‘Diriwayatkan dari Abi
Mijlaz dari Ibn ‘Abbas,’” (Lihat Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi, Dzakhiratul
Huffazh al-Mukharraj ‘alal Huruf wal Alfazh, [Riyadh, Darus Salaf: 1416 H/1996
M], cetakan pertama, tahqiq: Abdurrahman bin Abdil Jabbar al-Faryawa’i, jilid
III, halaman 1825).
Penjelasan ini dapat disederhanakan, semua
hadits baik yang berasal dari Abu Hurairah, Ibn Abbas maupun Abdullah bin Umar
RA, yang menyatakan pada bendera Rasulullah SAW tertulis kalimat: ‘Lā ilāha
illallāh, Muhammadur rasūlullāh’, adalah hadits yang lemah atau dhaif karena
lemahnya para perawinya, yaitu Hammad bin Abi Hamid, Muhammad bin Abis Sari,
maupun Abu Yahya Al-Waqqar.
Pun umpamanya riwayat ini diterima dengan
kedhaifannya, maka tetap tidak dapat mengantarkan pada keyakinan bahwa demikian
itu adanya bendera Rasulullah SAW. Apalagi menjadikannya sebagai akidah Islam.
Sebagaimana prinsip dalam disiplin musthalah
hadits yang dikatakan al-Hafiz Al-Munawi (952-1031 H/1545-1622 M):
‘Mengumpulkan dugaan pada dugaan lain tidak bisa menetapkan suatu keyakinan,
dan mungkinnya kebohongan salah satu rawi menetapkan mungkinnya kebohongan
seluruh rawinya, sebab perawi tersebut adalah individu-individu itu sendiri,’
(Lihat Abdurrauf Al-Munawi, Al-Yawaqit wad Durar fi Syarhi Nukhbah Ibn Hajar,
[Riyad, Maktabah Ar-Rusyd, 1999 M], tahqiq: Al-Murtadha Az-Zain Ahmad, juz I,
halaman 259).
Jadi jelas, tidak bisa diyakini bahwa bendera
Rasulullah SAW bertuliskan kalimat Lā ilāha illallāh, Muhammadur rasūlullāh’
sebagimana klaim Hizbut Tahrir. Selain itu tidakkah pada masa Rasullullah SAW
tulisan Arab belum mengenal harakat sebagaimana dalam bendera Hizbut Tahrir?
Bukankah dalam sejarah Islam penulisan harakat baru dikenal pada abad kedua
sebagaimana pertama kalinya digagas oleh Al-Imam Al-Khalil bin Ahmad
Al-Farahidi (100-170 H/718-786 M)? Karenanya, menolak bendera Hizbut Tahrir
tidak berarti menolak tauhid Rasulullah SAW, sebab tidak terbukti secara
meyakinkan bahwa bendera tersebut adalah benderanya.
Larangan Kegiatan HTI
Argumentasi ketiga tentang larangan kegiatan
HTI. Seiring pembubaran HTI dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
segala atribut yang identik dengan Hizbut Tahrir juga dilarang. Dalam pasal 59
ayat 4 Perppu tersebut jelas-jelas dikatakan bahwa ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau
simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau
organisasi terlarang;
b. melakukan kegiatan separatis yang
mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
c. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan
ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Payung hukum ini telah secara jelas melarang
organisasi massa untuk menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol
organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau
organisasi terlarang, dan di antaranya adalah HTI. Karenanya, penolakan bendera
Hizbut Tahrir tidak berarti menolak tauhid, tetapi menolak upaya-upaya yang
mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari argumentasi dan uraian di atas kiranya
akal sehat membenarkan bahwa menolak bendera Hizbut Tahrir tidak berarti
menolak tauhid.
Selain itu, andaikan masih dikatakan bendera
tersebut bukan bendera Hizbut Tahrir, coba dites, apakah para pengusungnya mau
diminta mengganti bendera tersebut dengan bendera Kerajaan Saudi Arabia atau
bendera Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang sama-sama bertuliskan
kalimat tauhid? Tentu enggan dan tidak berkenan. Inilah di antara pekerjaan
rumah pemerintah, kalangan akademisi, ormas, tokoh agama, tokoh masyarakat dan
warga negara secara luas dalam menghadapi kamuflase gerakan propaganda HTI usai
pembubarannya. Wallahu a’lam. []
(Ahmad Muntaha AM, Sekretaris PW LBM NU Jawa
Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar