Senin, 11 Maret 2019

Kang Komar: Culture of Fear


Culture of Fear
Oleh: Komaruddin Hidayat

BANYAK teori dan pemikir yang membahas asal-usul munculnya rasa takut dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Frank Furedi dalam bukunya How Fear Works (2018) setebal 306 halaman itu mengulas cukup panjang tentang "culture of fear", budaya ketakutan. Digunakan kata "culture" menunjukkan bahwa ketakutan itu telah meluas, membudaya, meskipun buku ini menempatkan masyarakat Amerika Serikat (AS) sebagai fokus kajiannya.

Secara garis besar persepsi dan perasaan takut masyarakat mengalami perkembangan. Dulu, orang takut terhadap bencana alam, penyakit, dan kematian. Semuanya itu sangat mempengaruhi pemikiran dan perilaku seseorang, baik secara individu maupun sosial.

Sakit dan kematian merupakan misteri yang paling menakutkan yang pada urutannya mendorong manusia mencari berbagai jalan agar terhindar dari penyakit. Sampai hari ini maka berkembang berbagai cabang ilmu kedokteran dan rumah sakit untuk membantu melayani masyarakat agar senantiasa sehat. Namun demikian misteri kematian tetap dianggap menakutkan.

Semakin berkembang penduduk bumi, kehidupan lalu diwarnai semangat persaingan dan penaklukkan antar sesama kekompok suku, bangsa dan negara sehingga ancaman kematian bukan datang dari penyakit alami, tetapi dari peperangan.

Melihat realitas ini Thomas Hobbes (1588-1679) lalu menyimpulkan bahwa manusia itu bagaikan serigala yang selalu siap menerkam terhadap yang lain. Homo homini lopus. Hobbes lalu berteori, negara diperlukan dengan fungsi utama melindungi keamanan warganya. Dan, setiap negara mesti memperkuat kekuatan militernya untuk menakuti musuh luar.

Dengan demikian, kalau ingin damai maka masing-masing negara mesti memiliki kekuatan militer yang seimbang sebab manusia pada dasarnya ingin hidup damai dari pada mati konyol dalam pertempuran. Oleh karena itu bagi Hobbes damai sejati tidak ada, yang ada hanyalah gencatan senjata dalam suasana ketegangan.

Ketika peperangan antarbangsa dan negara tak terhindarkan, yang memuncak pada Perang Dunia I dan PD II, lalu dikonstruksi teori dan doktrin untuk memaknai kematian agar tidak menakutkan. Kalaupun tetap menakutkan, paling tidak untuk memberikan motivasi dan pemaknaan bahwa di sana ada mati yang bermakna. Yaitu membela martabat keluarga, suku, bangsa dan negara.

Ketika agama dilibatkan dalam peperangan, maka agama memberi motivasi tambahan dengan istilah perang suci (holy war), sebuah ungkapan paradoksal. Kalau mati, surga telah menanti.

Memasuki abad-21 ini rasa ketakutan semakin masif dan mengglobal dengan penyebab yang semakin beragam, seperti ancaman AIDS, pemanasan global, penculikan anak, terorisme, kecelakaan lalu lintas, krisis politik dan keuangan, pengangguran dan lain sebagainya.

Dulu, berbagai macam peristiwa tragedi itu beritanya terbatas saja. Tetapi sekarang dengan kehadiran televisi dan media sosial berbasis internet, peristiwa lokal bisa berpengaruh global. Menurut Frank Furedi, peran media massa ini secara sadar dimanfaatkan oleh para teroris untuk menebar ketakutan massal.

Padahal dari segi jumlah, korban terorisme sangat kecil dibanding korban kecelakaan lalu lintas atau mati akibat penyakit demam berdarah. Namun dampak psikologisnya membuat orang takut dan selalu curiga terhadap orang asing. Keamanan di bandara pun semakin ketat dan membuat tidak nyaman.

Yang juga menggelitik, Furedi mengenalkan politics of fear dan fear project. Istilah ini memang tidak dikupas mendalam. Namun bisa dielaborasi lebih lanjut bahwa dalam dunia politik tak jarang ada skenario political doomsday, sebuah skenario pesimistis yang menghadirkan bayangan proyeksi masa depan bangsa dan negara yang menakutkan. Negara dibayangi kebangkrutan dan kegagalan.

Pandangan semacam ini juga sering dimunculkan oleh kalangan pengkhutbah agama, bahwa kita telah mendekati akhir zaman. Maka orang harus kembali pada agama kalau ingin selamat. Kadang terjadi simbiosis antara pengkhutbah agama dan aktor politik dalam menciptakan fearful society yang dimotori oleh media massa.

Mengutip Furedi, the media and the immediacy with which we get the news is why we are more fearful now than 150 years ago....We start receiving notifications on our phone as soon as dissasters happen. So, there is a false sense of infolvement that we didn't have 150 years ago. []

KORAN SINDO, 8 Maret 2019
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar