Jumat, 08 Maret 2019

Peran NU dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Peran NU dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Tanggal 5 Juli 2018 ini merupakan peringatan ke-59, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Kembali Ke UUD 1945. Peristiwa itu menandai berakhirnya sistem Demokrasi Liberal dan kembali kepada sistem Demokrasi Pancasila. Dalam peristiwa bersejarah itu Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran strategis dalam memberikan solusi, saat bangsa ini menghadapi kebuntuan, sehingga Bung Karno dengan tegas mengeluarkan dekrit itu.

Persidangan konstituante yang dimulai 10 November 1956 itu berjalan dengan lancar, sehingga ada beberapa pasal telah diselesaikan. Tetapi saat memasuki pembahasan dasar negara antara tahun 1957-1959  terjadi perdebatan alot antara kelompok pro Islam dengan kelompok pro Pancasila sebagai dasar negara. Sebenarnya, NU telah melihat persoalan ini akan mengalami kebuntuhan. Oleh karena itu, ketika pemerintah secara tertulis mengirim surat pada Ketua Konstituante untuk kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang disampaikan pada 19 Februari 1959 NU mulai mengkajinya.

Dalam sebuah rapat internal NU pada  20 Februari 1959 menawarkan jalan tengah yaitu Pancasila Islam, bukan Pancasila ala Komunis, yakni Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta. Pandangan resmi NU itu disusun secara rapi kemudian disuarakan oleh KH Saifuddin Zuhri secara resmi di dalam Sidang Konstituante pada hari Senin 4 Mei 1959, sebuah usulan jalan keluar dari kebuntuan konstitusi yang sudah terjadi beberapa tahun.

Usulan NU itu ditanggapi sangat positif dari kubu yang berseberangan, baik dari kubu Masyumi seperti yang disampaikan oleh KH Kahar Muzakkar, maupun dari Fraksi PKI seperti yang disampaikan oleh Ir Sakirman, yang intinya setuju dengan Islam Pancasila sebagaimana diusulkan NU. 

Sayangnya usulan itu tidak segera dijadikan keputusan, sehingga jalan tengah yang ditawarkan itu lewat begitu saja. Melihat kenyataan itu, pada 22 April Presiden mengambil langkah untuk mengatasi kebuntuan itu dengan mendatangi sidang konstituante dengan mendesak agar kembali ke UUD 1945.

Dengan demikian juga berarti kembali menempatkan Pancasila sebagai dasar negara seperti semula, tanpa ada amandemen sedikit pun baik pada Mukadimah dan batang tubuh, sebagaimana yang dikehendaki kalangan Islam yang menghendaki kembali ke UUD 1945 dengan disertai amandemen.

KH Idham Chalid sebagai pimpinan NU telah menyetujui langkah kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen, hanya saja fraksi Islam yang lain di konstituante memiliki pilihan berbeda, yaitu pada 26 Mei 1959 kelompok Fraksi Islam mengajukan amandemen UUD 1945. Akhirnya dilakukan pemungutan suara untuk memilih setuju atau tidak setuju, kembali pada UUD 1945 tanpa amandemen. Pemungutan suara tersebut diselenggarakan secara bertahap dengan hasil sebagai berikut: 

Pertama, pemungutan suara diselenggarakan pada 30 Mei 1959 dengan suara 269 setuju dan 199 tidak setuju. Kedua, pemungutan diselenggarakan lagi pada tanggal 1 Juni 1959 dengan 264 setuju dan 204 menolak. 

Ketiga, setelah pemilihan pertama dan kedua belum mencapai batas minimal bagi pemenang, maka diselenggarakan pemilihan lagi pada 2 Juni 1959 dengan suara 263 setuju dan 203 tidak setuju. 

Ternyata dalam ketiga pemungutan suara itu tidak pernah mencapai jumlah dua pertiga yang diperlukan yaitu 312 suara, bagi Sang Pemenang. Hal itu membuat semua pihak, baik kalangana pemerintah maupun kalangan anggota Konstituante sendiri juga mulai putus asa. Bahkan beberapa fraksi yang kelelahan dan tidak melihata jalan keluar pada menyatakan tidak akan menghadiri sidang lagi. 

Melihat kenyataan yang gawat itu Wilopo sebagai ketua Konstituante merasa gelisah lalu berusaha mencari jalan keluar dengan menemui pihak pemerintaah yaitu Perdana Menteri Djuanda. Dalam diskusi itu mereka melihat masih terdapat peluang untuk melancarkan agenda kembali ke UUD 1945 satu-satunya cara hanya dengan cara mendekati NU. Karena NU sudah membuka peluang untuk itu. 

Kalau NU setuju dengan gagasan Bung Karno itu dan ada jaminan NU untuk mengikutinya, maka langkah ini akan lancar dan aman. Tetapi sebaliknya kalau NU sebagai salah satu anggota Kabinet dan sekaligus anggota Konstituante menentang gagasan itu, maka akan diikuti oleh fraksi Islam yang lain. Nah, di sini NU berperan sebagai bandul penentu arah politik nasional. Kalau NU sebagai Fraksi besar mendukung maka semuanya beres. 

Dengan demikian dua pertiga suara bisa diperoleh oleh kelompok pro kembali ke UUD 1945. Bila ini bisa dilaksanakan Negara akan aman. Program pembangunan nasional bisa kembali dijalankan, tanpa dibebani pertikaian persoalan dasar yang masih terus diperdebatkan.

Di sisi lain dari kalangan TNI juga merasa prihatin melihat kebuntuan konstitusional yang terajadi di forum Konstituante itu. Ternyata  Menteri pertahanan/Kepala Staf Angtanan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution juga memiliki pandangan yang sama, bahwa kunci keberhasilan kembali ke UUD 1945 ada  di tangan NU.

Kalau dilihat perkembangannya NU walauapun tetap dalam barisan Islam, tetapi tetap berpegang pada Pancasila dan UUD 1945, sehingga punya peluang diajak berembuk. Sebagai partai Islam terbesar, kalau NU setuju semua partai Islam yang lain seperti PSII, dan Perti dan fraksi lainnya akan mengikutinya. Langkah itu yang dipikirkan Nasution.

Maka pada awal Juli 1959 itu Jenderal AH. Nasution mengajak Letkol Rusli Komandan CPM, pada tengah malam menjelang dini hari mendatangai rumah KH Idham Chalid Ketua Umum PBNU yang di dampingi Sekjennya KH Saifuddin Zuhri.

Nasution menyampaikan informasi dan meminta dukungan NU, karena dirinya akan pergi ke Jepang menemui Presiden Soekarno yang sedang berobat di sana. Keduanya minta saran NU dan sikapnya seandainya Presiden menetapkan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit. Keduanya menjawab bahwa pendirian NU sudah jelas bahwa NU setuju kembali ke UUD 1945. NU tidak sependapat dengan kelompok sekular yang ingin membuang begitu saja Piagam Jakarta.

Begitu juga NU juga tidak sepakat menerapkan secara formal Piagam Jakarta, seperti yang dikehendaki kelompok Islam. Maka jalan tengahnya adalah Piagam Jakarta menjadi jiwa dan semangat UUD 1945. Kalau itu yang dilakukan, langkah Dekrit yang dilakukan Presiden tidak menjadi masalah, kalau itu bertujuan untuk menyelamatkan negara. Dengan jawaban itu Jenderal Nasution dan Letkol Rusli puas dan berjanji akan segera disampaikan pada Bung Karno.

Ketika Bung Karno mendapat informasi dari Jenderal AH Nasution mengenai sikap NU itu Bung Karno sangat gembira. Segera menugaskan Nasution agar menjaga situasi keamanan nasional kondusif, sehingga pelaksanaan dekrit berjalan dengan tenteram, tidak mengundang pergolakan, teruatma dari kalangan Islam radikal.
  
Ketika Bung Karno datang dari Jepang, hasil diskusi dengan Ketua Konstituante Wilopo itu disampaikan oleh Perdana Menteri Djuanda kepada Bung Karno tentang sikap NU. Bung Karno mendesak pemerintah agar segera melakukan pembicaraan dengan pihak NU.

Maka dalam sidang Kabinet, Perdana Menteri Djuanda segera menemui Idham Chalid wakil perdana menteri dan ditanya soal kesediaannya mendukung anjuran Pemerintah kembali ke UUD 1945. Menjawab desakan Djuanda itu KH Idham Chalid menganggukkan kepala, yang dianggap oleh Djuanda sebagai bentuk persetujuan. Setelah itu Djuanda melaporkan hasil lobinya pada Wilopo dan Bung Karno.

Wilopo kurang yakin bila jawaban diberikan hanya dengan bahasa isyarat, karena ini persoalan gawat harus jawaban lisan yang meyakinkan. Akhirnya Djuanda dan Wilopo menemui Bung Karno, karena memandang hanya Bung Karno yang dengan kharisma dan wibawanya mampu mempengaruhi sikap NU dan meyakinkan mereka. Hal itu terpaksa harus dilakukan karena UUD 1945 dalam posisi sedang dipertaruhkan. Akhirnya Bung Karno menuruti saran keduanya dan menemui Idham Chalid serta beberapa pimpinan NU lainnya. 

Bung Karno bertanya: "saya sudah mendengar sikap NU, tapi bagaimana sebenarnya sikap NU terhadap gagasan Kembali ke UUD 1945, kami harap NU bisa mengurai kebuntuan konstitusi ini”.

Kepada Bung Karno KH Idham Chalid mengatakan: "Sebenarnya pendiran NU sudah jelas, jalan keluar yang diberikan NU telah sisampaikan dalam Sidang Konstituante yang lalu.” “Bagaimana sikap dan pendirian NU tolong dijelaskan kembali Tanya Bung Karno.
  
Idham Chalid mengatakan; “Sebagaimana kami jelaskan sebelunya bahwa NU menghendaki ditempuh jalan tengah”. “Jalan tengah bagaimana?” tanya Bung Karno, “ini persoalan mendesak soal keamanan negara, coba segera ketengahkan jalan tengah yang dirancang NU.”

Idham Chalid mengatakan, “Kami tidak menuntut diberlakukannya syariat Islam secara formal sebagaimana tertera dalam Piagam Jakarta, namun kami juga tidak ingin dasar Pancasila itu dibiarkan tanpa roh agama. Piagam Jakarta tidak perlu diterapkana secara formal seperti tuntutan Fraksi Islam, tetapi juga jangan sekedar dianggap sebagai dokumen historis (yang pasif) seperti yang dikehendaki kelompok Nasionalis”.

“Lalau usul jalan tengah NU seperti apa” desak Bung Karno. Idham Menjawab; “NU menghendaki Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, sehingga walaupun dasar negara kita Pancasila, tetapi memiliki dasar keislaman yang kokoh. Kalau itu yang dilakukan tidak hanya NU seluruh umat Islam akan menerima Pancasila dengan sepenuh hati dan siap mempertahankan dari gangguan apa saja”.

“Bagus, bagus, ini jalan tengah itu cerdas, sahut Bung Karno “kalau itu yang diamaksud NU saya sangat setuju, dengan demikian Piagam Jakarta tidak sia-sia kami rumuskan, Piagam Jakarta tidak dibuang tetapi menjadi Jiwa UUD 1945. Ini berarti NU menghargai perjuangan Panitia Sembilan dan itu berarati menghargai jasa saya pula sebagai salah satu perumusnya.

Kalau begitu tidak ada masalah kita kembali ke UUD 1945 dengan dukungan penuh dari NU. Terima kasih atas jalan keluar yang diberikan oleh NU, jalan tengah yang penuh kearifan, penuh penghragaan pada sejarah dan jasa perumusnya, karena itu sekali lagi  terimakasih atas  persetujuan NU, sebab kita ini sedang menyelamatkan negara dari keterpecahan.

Pertemuan Bung Karno dengan Idham Chalid itu kemudian disampikan Bung Karno kepada Wilopo dan Djuanda, ketiganaya puas dan merasa yakin gagasan kembali ke UUD 1945 akan berjalan lancar. Maka dengan adanya dukungan dan solusi dari NU dengan hujjah yang sangat meyakinkan itu beberapa  Fraksi Islam seperti PSII, Perti termasuk sebagai fraksi Masyumi menyetujui pemikiran NU.

Mengetahui perkembangan itu  Presiden Soekarno semakin yakin  dan lebih percaya diri untuk  mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dengan gagasan kembali ke UUD 1945 yang berarati kembali menempatkan  Pancasila sebagai dasar negara, itu menjadi wacana umum dalam bangsa ini.

Pada  saat Bung Karno menghadiri Seminar Pancasila di Universitas Gadjah Mahada Yogyakarta, sehabis membuka acara ditanya oleh para wartawan, bagaimana langkah teknis kembali ke UUD 1945 dan menempatkan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan diplomatis Bung Karno menjawab, urusan Pancasila dan langkah teknis kembali ke UUD 1945 sudah bukan menjadi urusan saya,  pelaksanya adalah di tangan NU dan PNI, kalau ingin tahu prosesnya tanyakan pada NU yang saat ini sedang mengatur langkah proses penerapannya.

Dekrit itu diterima oleh bangsa Indonesia, termasuk semua kelompok Islam, semuanya mengikuti langkah NU, walaupun sebagian elemen Masyumi yang menentang, tetapi saat itu Masyumi telah sangat lemah dan kehilangan pengaruh setelah terlibat dalam pemberontakan PRRI 1858, sehingga keberadaannya di Konstituante dan di DPR menjadi bulan-bulanan partai kiri terutama PKI, bahkan tidak lama setelah itu yakni tahun 1960 Masyumi dibubarkan karena terlibat pemberontakan PRRI.

Dengan demikian kendali politik Islam dipegang oleh NU, saat itu NU menjadi imamnya umat Islam. Dengan tidak melupakan usulan NU tentang jalan tengah itu, maka dalam Dekrit Presiden yang diumumkan Bung Karno itu ditegaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.

Langkah yang diambil NU itu dengan pertimbangan bahwa saat itu situasi politik di luar sangat gawat dengan terjadinya berbagai pemberontakan. Semnatar di gedung Konstitusnte sendiri juga pertentangan semakin memuncak. Maka keluar dari kemelut demokrasi liberal yanag penuh pertikaian itu perlu dilakukan. Ketika kelompok slamis dan kelompk nasionalis secular bersitegang mengenai dasar negara Maka langkah mengambil Jalan tengah, yang diusulkan NU, merupakan solusi strategis.

NU mengambil jalan tengah yaitu agar Piagam Jakarta dijadikan babon dan Jiwa UUD 1945.  Dengan menempuh jalan tengah itu, maka  kebuntuan Konstitusi itu bias diatasi. Karena itu Bung Karno segera mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Yang isinya secara tegas memasukkan usul NU yaitu:

“Bahwa Kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai  Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan rangkaian/kesatuan dengan Konstitusi tersebut.”

Dengan kembali ke UUD 1945 serta kembali menegaskan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, maka perdebatan mengenai Pancasila pada babak ini telah selesai, yang ditandai dengan kembalinya Kabinet Presidensil. Situasi menjadi relatif stabil karena kekuasan dipegang oleh orang kuat yaitu Bung Karno, untuk membersihakan dari sisa-sisa demokrasi liberal parlementer, maka Bung Karno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin.

NU menerima secara kritis gagsan itu dengan mengingatkan bahwa tekanannya pada demokrasi, agar kehidupan politik tetap dinamis, jangan pada ditekankan pada kepemimpinan karena pemerintahan akan mandek dan otoriter. Tetapi hal itu bias dipahami pada dasarnya Demokrasi Pancasila memang demokrasi terpimpin yaitu demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.

Saat Reformasi 1998 di mana UUD 1945 diamandemen secara tidak procedural, dan secara subtasi mengalami penyimpangan, maka Gus Dur yang merupakan Bapak Demokrasi Indonesia bersama elemen bangsa yang lain yang tergabung dalam Front Pembela Proklamasi 1945, pada 30 Juli 2002 melakukan protes kepada MPR yang nyata-nyata telah merombak UUD 1945 dan mengganti dengan UUD Baru 2002. Langkah itu diulangi lagi oleh Gus Dur menandatangi pernyataan pada 9 Agustus 2007 agar bangsa Indonesia  Kembali ke UUD 1945.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada tahun 2004 mengingatkan, bahwa Kita telah mengalami kegagalan dan kekacauan menganut system demokrasi Liberal tahun 1950-an. Tetapi kegagalan itu diulangi lagaia saat ini. Karena itu sebaiknya MPR menunjua lagi keputusan Mandemen itu, kita kembali ke UUD 1945. Dan dia berharap agar rakyat memilih presiden yang berseddia melakukan dekrit kembali ke UUD 1945.

Rupaanya NU terus konsiste dalm upaya menata kehiduoan bernegara inis esua dengan pancasila dan UUD 1945, karena itu pada Munas Alim Ulama di Cirebon tahun 2012, NU mengaja agar bangsa Indonesia kembali ke Khittah Indonesia, yaitu Kembali pada Pancasila dan Kembali pada UUD 1945. Selain itu NU juga mendesak agar Pemerintah dan Parlemen segera menghapus berbagai Undang-undang karena tidak sesaui dengan Pancasila. Usulan itu disampaikan pada Presiden SBY, tetapi Presiden tidak berani melakukan.

Sebagai pendiri bangsa, serta perumus Pancasila dan UUD 1945 hingga saat ini NU tetap itiqomah dengan sikapnya itu. Dalam Muktamar NU 1984, kembali ditegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila ini adalah merupakan perjuangan final bangsa Indonesai dan khusunya warga NU. Karena itu wajib hukumnya membela Pancasila dan NKRI dari musuh yang mengancam dari luar dan rongrongan dari dalam sendiri. []

Abdul Mun’im DZ, Sejarawan, Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar