Peran NU dalam Dekrit
Presiden 5 Juli 1959
Tanggal 5 Juli 2018
ini merupakan peringatan ke-59, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Kembali Ke UUD
1945. Peristiwa itu menandai berakhirnya sistem Demokrasi Liberal dan kembali
kepada sistem Demokrasi Pancasila. Dalam peristiwa bersejarah itu Nahdlatul
Ulama (NU) memiliki peran strategis dalam memberikan solusi, saat bangsa ini
menghadapi kebuntuan, sehingga Bung Karno dengan tegas mengeluarkan dekrit itu.
Persidangan
konstituante yang dimulai 10 November 1956 itu berjalan dengan lancar, sehingga
ada beberapa pasal telah diselesaikan. Tetapi saat memasuki pembahasan dasar
negara antara tahun 1957-1959 terjadi perdebatan alot antara kelompok pro
Islam dengan kelompok pro Pancasila sebagai dasar negara. Sebenarnya, NU telah
melihat persoalan ini akan mengalami kebuntuhan. Oleh karena itu, ketika
pemerintah secara tertulis mengirim surat pada Ketua Konstituante untuk kembali
pada Pancasila dan UUD 1945 yang disampaikan pada 19 Februari 1959 NU mulai
mengkajinya.
Dalam sebuah rapat
internal NU pada 20 Februari 1959 menawarkan jalan tengah yaitu Pancasila
Islam, bukan Pancasila ala Komunis, yakni Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai
Piagam Jakarta. Pandangan resmi NU itu disusun secara rapi kemudian disuarakan
oleh KH Saifuddin Zuhri secara resmi di dalam Sidang Konstituante pada hari Senin
4 Mei 1959, sebuah usulan jalan keluar dari kebuntuan konstitusi yang sudah
terjadi beberapa tahun.
Usulan NU itu
ditanggapi sangat positif dari kubu yang berseberangan, baik dari kubu Masyumi
seperti yang disampaikan oleh KH Kahar Muzakkar, maupun dari Fraksi PKI seperti
yang disampaikan oleh Ir Sakirman, yang intinya setuju dengan Islam Pancasila
sebagaimana diusulkan NU.
Sayangnya usulan itu
tidak segera dijadikan keputusan, sehingga jalan tengah yang ditawarkan itu
lewat begitu saja. Melihat kenyataan itu, pada 22 April Presiden mengambil
langkah untuk mengatasi kebuntuan itu dengan mendatangi sidang konstituante
dengan mendesak agar kembali ke UUD 1945.
Dengan demikian juga
berarti kembali menempatkan Pancasila sebagai dasar negara seperti semula, tanpa
ada amandemen sedikit pun baik pada Mukadimah dan batang tubuh, sebagaimana
yang dikehendaki kalangan Islam yang menghendaki kembali ke UUD 1945 dengan
disertai amandemen.
KH Idham Chalid
sebagai pimpinan NU telah menyetujui langkah kembali ke UUD 1945 tanpa
amandemen, hanya saja fraksi Islam yang lain di konstituante memiliki pilihan
berbeda, yaitu pada 26 Mei 1959 kelompok Fraksi Islam mengajukan amandemen UUD
1945. Akhirnya dilakukan pemungutan suara untuk memilih setuju atau tidak
setuju, kembali pada UUD 1945 tanpa amandemen. Pemungutan suara tersebut
diselenggarakan secara bertahap dengan hasil sebagai berikut:
Pertama, pemungutan suara
diselenggarakan pada 30 Mei 1959 dengan suara 269 setuju dan 199 tidak setuju. Kedua,
pemungutan diselenggarakan lagi pada tanggal 1 Juni 1959 dengan 264 setuju dan
204 menolak.
Ketiga, setelah pemilihan
pertama dan kedua belum mencapai batas minimal bagi pemenang, maka
diselenggarakan pemilihan lagi pada 2 Juni 1959 dengan suara 263 setuju dan 203
tidak setuju.
Ternyata dalam ketiga
pemungutan suara itu tidak pernah mencapai jumlah dua pertiga yang diperlukan
yaitu 312 suara, bagi Sang Pemenang. Hal itu membuat semua pihak, baik
kalangana pemerintah maupun kalangan anggota Konstituante sendiri juga mulai
putus asa. Bahkan beberapa fraksi yang kelelahan dan tidak melihata jalan
keluar pada menyatakan tidak akan menghadiri sidang lagi.
Melihat kenyataan
yang gawat itu Wilopo sebagai ketua Konstituante merasa gelisah lalu berusaha
mencari jalan keluar dengan menemui pihak pemerintaah yaitu Perdana Menteri
Djuanda. Dalam diskusi itu mereka melihat masih terdapat peluang untuk
melancarkan agenda kembali ke UUD 1945 satu-satunya cara hanya dengan cara
mendekati NU. Karena NU sudah membuka peluang untuk itu.
Kalau NU setuju
dengan gagasan Bung Karno itu dan ada jaminan NU untuk mengikutinya, maka
langkah ini akan lancar dan aman. Tetapi sebaliknya kalau NU sebagai salah satu
anggota Kabinet dan sekaligus anggota Konstituante menentang gagasan itu, maka
akan diikuti oleh fraksi Islam yang lain. Nah, di sini NU berperan sebagai
bandul penentu arah politik nasional. Kalau NU sebagai Fraksi besar mendukung
maka semuanya beres.
Dengan demikian dua
pertiga suara bisa diperoleh oleh kelompok pro kembali ke UUD 1945. Bila ini
bisa dilaksanakan Negara akan aman. Program pembangunan nasional bisa kembali
dijalankan, tanpa dibebani pertikaian persoalan dasar yang masih terus
diperdebatkan.
Di sisi lain dari
kalangan TNI juga merasa prihatin melihat kebuntuan konstitusional yang
terajadi di forum Konstituante itu. Ternyata Menteri pertahanan/Kepala
Staf Angtanan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution juga memiliki pandangan yang
sama, bahwa kunci keberhasilan kembali ke UUD 1945 ada di tangan NU.
Kalau dilihat
perkembangannya NU walauapun tetap dalam barisan Islam, tetapi tetap berpegang
pada Pancasila dan UUD 1945, sehingga punya peluang diajak berembuk. Sebagai
partai Islam terbesar, kalau NU setuju semua partai Islam yang lain seperti
PSII, dan Perti dan fraksi lainnya akan mengikutinya. Langkah itu yang
dipikirkan Nasution.
Maka pada awal Juli
1959 itu Jenderal AH. Nasution mengajak Letkol Rusli Komandan CPM, pada tengah
malam menjelang dini hari mendatangai rumah KH Idham Chalid Ketua Umum PBNU
yang di dampingi Sekjennya KH Saifuddin Zuhri.
Nasution menyampaikan
informasi dan meminta dukungan NU, karena dirinya akan pergi ke Jepang menemui
Presiden Soekarno yang sedang berobat di sana. Keduanya minta saran NU dan
sikapnya seandainya Presiden menetapkan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit.
Keduanya menjawab bahwa pendirian NU sudah jelas bahwa NU setuju kembali ke UUD
1945. NU tidak sependapat dengan kelompok sekular yang ingin membuang begitu
saja Piagam Jakarta.
Begitu juga NU juga
tidak sepakat menerapkan secara formal Piagam Jakarta, seperti yang dikehendaki
kelompok Islam. Maka jalan tengahnya adalah Piagam Jakarta menjadi jiwa dan
semangat UUD 1945. Kalau itu yang dilakukan, langkah Dekrit yang dilakukan
Presiden tidak menjadi masalah, kalau itu bertujuan untuk menyelamatkan negara.
Dengan jawaban itu Jenderal Nasution dan Letkol Rusli puas dan berjanji akan
segera disampaikan pada Bung Karno.
Ketika Bung Karno
mendapat informasi dari Jenderal AH Nasution mengenai sikap NU itu Bung Karno
sangat gembira. Segera menugaskan Nasution agar menjaga situasi keamanan
nasional kondusif, sehingga pelaksanaan dekrit berjalan dengan tenteram, tidak
mengundang pergolakan, teruatma dari kalangan Islam radikal.
Ketika Bung Karno
datang dari Jepang, hasil diskusi dengan Ketua Konstituante Wilopo itu
disampaikan oleh Perdana Menteri Djuanda kepada Bung Karno tentang sikap NU.
Bung Karno mendesak pemerintah agar segera melakukan pembicaraan dengan pihak
NU.
Maka dalam sidang
Kabinet, Perdana Menteri Djuanda segera menemui Idham Chalid wakil perdana
menteri dan ditanya soal kesediaannya mendukung anjuran Pemerintah kembali ke
UUD 1945. Menjawab desakan Djuanda itu KH Idham Chalid menganggukkan kepala,
yang dianggap oleh Djuanda sebagai bentuk persetujuan. Setelah itu Djuanda
melaporkan hasil lobinya pada Wilopo dan Bung Karno.
Wilopo kurang yakin
bila jawaban diberikan hanya dengan bahasa isyarat, karena ini persoalan gawat
harus jawaban lisan yang meyakinkan. Akhirnya Djuanda dan Wilopo menemui Bung
Karno, karena memandang hanya Bung Karno yang dengan kharisma dan wibawanya
mampu mempengaruhi sikap NU dan meyakinkan mereka. Hal itu terpaksa harus
dilakukan karena UUD 1945 dalam posisi sedang dipertaruhkan. Akhirnya Bung
Karno menuruti saran keduanya dan menemui Idham Chalid serta beberapa pimpinan
NU lainnya.
Bung Karno bertanya:
"saya sudah mendengar sikap NU, tapi bagaimana sebenarnya sikap NU
terhadap gagasan Kembali ke UUD 1945, kami harap NU bisa mengurai kebuntuan
konstitusi ini”.
Kepada Bung Karno KH
Idham Chalid mengatakan: "Sebenarnya pendiran NU sudah jelas, jalan keluar
yang diberikan NU telah sisampaikan dalam Sidang Konstituante yang lalu.”
“Bagaimana sikap dan pendirian NU tolong dijelaskan kembali Tanya Bung Karno.
Idham Chalid
mengatakan; “Sebagaimana kami jelaskan sebelunya bahwa NU menghendaki ditempuh
jalan tengah”. “Jalan tengah bagaimana?” tanya Bung Karno, “ini persoalan
mendesak soal keamanan negara, coba segera ketengahkan jalan tengah yang
dirancang NU.”
Idham Chalid
mengatakan, “Kami tidak menuntut diberlakukannya syariat Islam secara formal
sebagaimana tertera dalam Piagam Jakarta, namun kami juga tidak ingin dasar
Pancasila itu dibiarkan tanpa roh agama. Piagam Jakarta tidak perlu diterapkana
secara formal seperti tuntutan Fraksi Islam, tetapi juga jangan sekedar
dianggap sebagai dokumen historis (yang pasif) seperti yang dikehendaki
kelompok Nasionalis”.
“Lalau usul jalan
tengah NU seperti apa” desak Bung Karno. Idham Menjawab; “NU menghendaki Piagam
Jakarta menjiwai UUD 1945, sehingga walaupun dasar negara kita Pancasila,
tetapi memiliki dasar keislaman yang kokoh. Kalau itu yang dilakukan tidak
hanya NU seluruh umat Islam akan menerima Pancasila dengan sepenuh hati dan
siap mempertahankan dari gangguan apa saja”.
“Bagus, bagus, ini
jalan tengah itu cerdas, sahut Bung Karno “kalau itu yang diamaksud NU saya
sangat setuju, dengan demikian Piagam Jakarta tidak sia-sia kami rumuskan,
Piagam Jakarta tidak dibuang tetapi menjadi Jiwa UUD 1945. Ini berarti NU
menghargai perjuangan Panitia Sembilan dan itu berarati menghargai jasa saya
pula sebagai salah satu perumusnya.
Kalau begitu tidak
ada masalah kita kembali ke UUD 1945 dengan dukungan penuh dari NU. Terima
kasih atas jalan keluar yang diberikan oleh NU, jalan tengah yang penuh
kearifan, penuh penghragaan pada sejarah dan jasa perumusnya, karena itu sekali
lagi terimakasih atas persetujuan NU, sebab kita ini sedang
menyelamatkan negara dari keterpecahan.
Pertemuan Bung Karno
dengan Idham Chalid itu kemudian disampikan Bung Karno kepada Wilopo dan
Djuanda, ketiganaya puas dan merasa yakin gagasan kembali ke UUD 1945 akan
berjalan lancar. Maka dengan adanya dukungan dan solusi dari NU dengan hujjah
yang sangat meyakinkan itu beberapa Fraksi Islam seperti PSII, Perti
termasuk sebagai fraksi Masyumi menyetujui pemikiran NU.
Mengetahui
perkembangan itu Presiden Soekarno semakin yakin dan lebih percaya
diri untuk mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dengan gagasan
kembali ke UUD 1945 yang berarati kembali menempatkan Pancasila sebagai
dasar negara, itu menjadi wacana umum dalam bangsa ini.
Pada saat Bung
Karno menghadiri Seminar Pancasila di Universitas Gadjah Mahada Yogyakarta,
sehabis membuka acara ditanya oleh para wartawan, bagaimana langkah teknis
kembali ke UUD 1945 dan menempatkan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan
diplomatis Bung Karno menjawab, urusan Pancasila dan langkah teknis kembali ke
UUD 1945 sudah bukan menjadi urusan saya, pelaksanya adalah di tangan NU
dan PNI, kalau ingin tahu prosesnya tanyakan pada NU yang saat ini sedang
mengatur langkah proses penerapannya.
Dekrit itu diterima
oleh bangsa Indonesia, termasuk semua kelompok Islam, semuanya mengikuti
langkah NU, walaupun sebagian elemen Masyumi yang menentang, tetapi saat itu
Masyumi telah sangat lemah dan kehilangan pengaruh setelah terlibat dalam
pemberontakan PRRI 1858, sehingga keberadaannya di Konstituante dan di DPR
menjadi bulan-bulanan partai kiri terutama PKI, bahkan tidak lama setelah itu
yakni tahun 1960 Masyumi dibubarkan karena terlibat pemberontakan PRRI.
Dengan demikian
kendali politik Islam dipegang oleh NU, saat itu NU menjadi imamnya umat Islam.
Dengan tidak melupakan usulan NU tentang jalan tengah itu, maka dalam Dekrit
Presiden yang diumumkan Bung Karno itu ditegaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai
UUD 1945.
Langkah yang diambil
NU itu dengan pertimbangan bahwa saat itu situasi politik di luar sangat gawat
dengan terjadinya berbagai pemberontakan. Semnatar di gedung Konstitusnte
sendiri juga pertentangan semakin memuncak. Maka keluar dari kemelut demokrasi
liberal yanag penuh pertikaian itu perlu dilakukan. Ketika kelompok slamis dan
kelompk nasionalis secular bersitegang mengenai dasar negara Maka langkah
mengambil Jalan tengah, yang diusulkan NU, merupakan solusi strategis.
NU mengambil jalan
tengah yaitu agar Piagam Jakarta dijadikan babon dan Jiwa UUD 1945.
Dengan menempuh jalan tengah itu, maka kebuntuan Konstitusi itu bias
diatasi. Karena itu Bung Karno segera mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Yang isinya secara tegas memasukkan usul NU yaitu:
“Bahwa Kami
berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan rangkaian/kesatuan dengan
Konstitusi tersebut.”
Dengan kembali ke UUD
1945 serta kembali menegaskan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, maka
perdebatan mengenai Pancasila pada babak ini telah selesai, yang ditandai
dengan kembalinya Kabinet Presidensil. Situasi menjadi relatif stabil karena
kekuasan dipegang oleh orang kuat yaitu Bung Karno, untuk membersihakan dari
sisa-sisa demokrasi liberal parlementer, maka Bung Karno memperkenalkan
Demokrasi Terpimpin.
NU menerima secara
kritis gagsan itu dengan mengingatkan bahwa tekanannya pada demokrasi, agar
kehidupan politik tetap dinamis, jangan pada ditekankan pada kepemimpinan
karena pemerintahan akan mandek dan otoriter. Tetapi hal itu bias dipahami pada
dasarnya Demokrasi Pancasila memang demokrasi terpimpin yaitu demokrasi yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Saat Reformasi 1998
di mana UUD 1945 diamandemen secara tidak procedural, dan secara subtasi
mengalami penyimpangan, maka Gus Dur yang merupakan Bapak Demokrasi Indonesia
bersama elemen bangsa yang lain yang tergabung dalam Front Pembela Proklamasi
1945, pada 30 Juli 2002 melakukan protes kepada MPR yang nyata-nyata telah
merombak UUD 1945 dan mengganti dengan UUD Baru 2002. Langkah itu diulangi lagi
oleh Gus Dur menandatangi pernyataan pada 9 Agustus 2007 agar bangsa
Indonesia Kembali ke UUD 1945.
Ketua Umum PBNU KH
Hasyim Muzadi pada tahun 2004 mengingatkan, bahwa Kita telah mengalami
kegagalan dan kekacauan menganut system demokrasi Liberal tahun 1950-an. Tetapi
kegagalan itu diulangi lagaia saat ini. Karena itu sebaiknya MPR menunjua lagi
keputusan Mandemen itu, kita kembali ke UUD 1945. Dan dia berharap agar rakyat
memilih presiden yang berseddia melakukan dekrit kembali ke UUD 1945.
Rupaanya NU terus
konsiste dalm upaya menata kehiduoan bernegara inis esua dengan pancasila dan
UUD 1945, karena itu pada Munas Alim Ulama di Cirebon tahun 2012, NU mengaja
agar bangsa Indonesia kembali ke Khittah Indonesia, yaitu Kembali pada
Pancasila dan Kembali pada UUD 1945. Selain itu NU juga mendesak agar
Pemerintah dan Parlemen segera menghapus berbagai Undang-undang karena tidak
sesaui dengan Pancasila. Usulan itu disampaikan pada Presiden SBY, tetapi
Presiden tidak berani melakukan.
Sebagai pendiri
bangsa, serta perumus Pancasila dan UUD 1945 hingga saat ini NU tetap itiqomah
dengan sikapnya itu. Dalam Muktamar NU 1984, kembali ditegaskan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila ini adalah merupakan
perjuangan final bangsa Indonesai dan khusunya warga NU. Karena itu wajib
hukumnya membela Pancasila dan NKRI dari musuh yang mengancam dari luar dan
rongrongan dari dalam sendiri. []
Abdul Mun’im DZ, Sejarawan,
Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar