Rabu, 13 Maret 2019

(Hikmah of the Day) Jawaban Diplomatis Ibnu Al-Jauzi saat Sunni-Syiah Bersengketa


Jawaban Diplomatis Ibnu Al-Jauzi saat Sunni-Syiah Bersengketa

Tidak mudah untuk menjaga sikap bagi seorang figure publik. Perilakunya selalu menjadi sorotan publik. Tindak tanduknya kerap diikuti oleh banyak orang. Pernyataannya acap kali dijadikan referensi, baik untuk menyanjung atau menyerang. Sekali saja ia berbuat atau berucap yang provokatif, dampaknya akan menyebar luas di tengah masyarakat. Terlebih bagi seorang tokoh yang menjadi pemersatu umat, ia tidak boleh mengeluarkan statemen yang dapat menyudutkan kelompok tertentu. Segala ucapan, perbuatan dan langkahnya harus betul-betul diterima semua kalangan. Inilah yang dicontohkan oleh ulama besar, Syekh Ibnu al-Jauzi.

Nama lengkapnya adalah Syekh Abdurrahman Abu al-Faraj bin Ali bin Muhammad al-Jauzi al-Qurasyi al-Baghdadi. Beliau lahir pada tahun 508 H dan wafat tahun 597 H. Beliau lahir dan wafat di kota Baghdad. Seorang yang sangat alim di masanya terutama di bidang sejarah dan hadits. Di antara karyanya al-Adzkiya’ wa Akhbaruhum, Manaqib Umar bin Abdil Aziz, Tarikh Hukama’ al-Islam, dan lain sebagainya.

Suatu ketika Syekh Ibnu al-Jauzi tengah menyampaikan khutbah, lalu beliau didatangi dua rombongan dari kelompok besar, Asya’irah (Sunni) dan Syi’ah. Asya’irah adalah kelompok yang dalam teologi mengikuti Syekh Abu al-Hasan al-Asy’ari. Syi’ah adalah kelompok yang sangat fanatik dengan Sayyidina Ali dan para keturunannya.

Dua rombongan tersebut masing-masing membawa pedang layaknya orang yang hendak berperang. Perseteruan itu dipicu salah satunya oleh pandangan yang berbeda dari keduanya, berkaitan dengan sebuah keyakinan tentang manusia terbaik setelah Nabi Muhammad . Kelompok Asya’irah meyakini bahwa sepeninggal Baginda Nabi Muhammad, yang terbaik adalah Sayyidina Abu Bakr Al-Shiddiq. Sementara bagi kaum Syi’ah, Sayyidina Ali yang paling utama. Kedua kelompok besar ini datang untuk meminta pendapat Syekh Ibnu al-Jauzi.

“Siapa yang lebih utama, lebih dekat dan lebih dicintai Rasulullah wahai Syekh, Abu Bakr atau Ali?” demikian pertanyaan yang terlontar.

Pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh Ibnu al-Jauzi. Jika ia menjawab Abu Bakr yang lebih utama, pasti Syi’ah marah. Jika dijawab Ali lebih mulia, kelompok Asya’irah yang tidak terima.

Ibnu al-Jauzi sejenak berpikir untuk menemukan jalan keluar dari kondisi dilematis yang menimpanya, agar jawabannya dapat diterima kedua kelompok besar yang meminta fatwanya. Setelah berpikir, beliau menemukan jawabannya. Dengan cerdik, beliau melontarkan jawaban yang sangat diplomatis:

اَلْأَفْضَلُ مَنْ كَانَتْ بِنْتُهُ تَحْتَهُ

“Yang paling utama adalah dia yang putrinya menjadi istrinya.”

Sebuah jawaban yang sangat cerdik. Baik Asya’irah maupun Syi’ah masing-masing dapat menerimanya. Asya’irah memahami statemen Ibnu al-Jauzi di atas mengarah kepada Abu Bakr. Sebab menurut mereka, dlamir (kata ganti) yang ada pada redaksi “bintuhu” merujuk kepada Abu Bakr, sedangkan dlamir yang ada pada redaksi “tahtahu” mengarah kepada Nabi Muhammad . Jadi menurut pemahaman mereka, maksud ucapan Ibnu al-Jauzi adalah “Yang paling utama adalah dia yang putrinya (Abu Bakr) menjadi istrinya (Nabi).” Seperti diketahui, Aisyah tidak lain adalah putri Abu Bakr yang menjadi istri Rasulullah.

Demikian pula dengan kelompok Syi’ah, mereka sangat puas dengan jawaban Ibnu al-Jauzi. Menurut mereka, jawaban Ibnu al-Jauzi di atas mengarah kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka memahami kata ganti (dlamir) pada ucapan Ibnu al-Jauzi berbeda dengan yang dipahami Asya’irah. Menurut mereka, dlamir yang ada pada redaksi “bintuhu” merujuk kepada Nabi, sedangkan dlamir yang ada pada redaksi “tahtahu” mengarah kepada Sayyidina Ali. Menurut mereka, maksud ucapan Ibnu al-Jauzi di atas adalah “Yang paling utama adalah dia yang putrinya (Nabi Saw) menjadi istrinya (Sayyidina Ali).” Merupakan hal yang maklum, istri Ali adalah Fathimah, putri Nabi.

Karena jawaban Ibnu al-Jauzi yang multi tafsir, dua kelompok besar yang mengadu kepadanya memahami sesuai kecenderungan masing-masing. Letak perbedaannya ada pada marji’ dlamir yang ada pada kata “bintuhu” dan “tahtahu”.

Demikianlah selayaknya seorang publik figur bersikap, fatwanya dapat diterima semua kalangan tanpa menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat. []

Disarikan dari kitab al-Fawaid al-Mukhtarah karya Habib Ali bin Hasan Baharun, hal. 89)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar