Jumat, 22 Maret 2019

Hubungan Erat antara NU dan Perti


Hubungan Erat antara NU dan Perti

Selepas Muktamar Palembang pada tahun 1952, NU terpaksa keluar dari Masyumi secara demokratis. Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam Secercah Dakwah (1983) NU memutuskan berpisah dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam dan umum. Lalu NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984. 

Kiai Saifuddin Zuhri memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan. 

Sebagian pengamat sering menyalahartikan perpisahan itu. Mereka menilai NU merusak persatuan umat Islam. Itu merupakan penilaian yang salah. Gen NU dalah gen berjamaah, bersatu. Karena itulah, selepas keluar, NU membentuk Liga Muslim Indonesia bersama PSII, Perti dan Darud Dakwah wal Irsyad Makassar.

Bersatu dengan seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.

“Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di buku yang sama.

Kehendak NU bersatu dengan elemen umat Islam telah dibuktikan sebelumnya dengan membidani Majelis Islam A'la Indonesa (MIAI) pada masa penjajahan Belanda 1937. Dengan duduk bersama perwakilan elemen umat Islam, NU berharap perdebatan furuiyah yang marak terjadi pada tahun-tahun itu terhenti. NU menilai, perdebatan semacam itu hanya merugikan umat Islam sendiri, terutama kaum awam. 

Dari MIAI ini, pada zaman penjajahan jepang, kemudian menjelma jadi Masyumi. NU tetap berada di dalamnya.

Bersama Perti, sebuah organisasi yang didirikan di Sumatera Barat pada 1930, jauh sebelumnya, di tahun 1940-an, NU memiliki hubungan erat, paling tidak di antara tokohnya. Hal itu tiada lain karena sesama berhaluan Ahlussunah wal Jamaah. 

Buku tokoh Perti KH Sirajuddin Abbas yang populer yaitu I'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah dan 40 Masalah Agama (4 jilid) merupakan konsumsi dan pegangan para santri NU di pondok-pondok pesantren. 

Berikut laporan Berita Nahdlatoel Oelama No 16 tahun ke-9 edisi Juni 1940 halaman 6 atau 223 dengan judul Penerimaan Boekoe:

Tiba di meja redaksi buku masalah Hadiah Pahala karangan Tuan Guru H Siradjuddin Abbas, Hoopdbestuur Perti di Medan. Bisa didapat dari Eigenaar Boekhandle Penaboer Ilmoe Agama dengan harga f 0.25. 

Isinya penting dan berharga dibaca segenap umat Islam. 

Atas kiriman itu diperbanyak terima kasih.

[]

(Abdullah Alawi) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar