Hubungan Erat antara
NU dan Perti
Selepas Muktamar
Palembang pada tahun 1952, NU terpaksa keluar dari Masyumi secara demokratis.
Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam Secercah Dakwah (1983) NU memutuskan berpisah
dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai
sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat
merugikan perjuangan Islam dan umum. Lalu NU menjelma menjadi partai politik
dari tahun itu hingga 1984.
Kiai Saifuddin Zuhri
memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir
setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun
tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan
partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan.
Sebagian pengamat
sering menyalahartikan perpisahan itu. Mereka menilai NU merusak persatuan umat
Islam. Itu merupakan penilaian yang salah. Gen NU dalah gen berjamaah, bersatu.
Karena itulah, selepas keluar, NU membentuk Liga Muslim Indonesia bersama PSII,
Perti dan Darud Dakwah wal Irsyad Makassar.
Bersatu dengan
seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah
perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.
“Bagi umat Islam,
menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah
masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup
memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal
itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di
buku yang sama.
Kehendak NU bersatu
dengan elemen umat Islam telah dibuktikan sebelumnya dengan membidani
Majelis Islam A'la Indonesa (MIAI) pada masa penjajahan Belanda 1937. Dengan
duduk bersama perwakilan elemen umat Islam, NU berharap perdebatan furuiyah
yang marak terjadi pada tahun-tahun itu terhenti. NU menilai, perdebatan
semacam itu hanya merugikan umat Islam sendiri, terutama kaum awam.
Dari MIAI ini, pada
zaman penjajahan jepang, kemudian menjelma jadi Masyumi. NU tetap berada di
dalamnya.
Bersama Perti, sebuah
organisasi yang didirikan di Sumatera Barat pada 1930, jauh sebelumnya, di
tahun 1940-an, NU memiliki hubungan erat, paling tidak di antara tokohnya. Hal
itu tiada lain karena sesama berhaluan Ahlussunah wal Jamaah.
Buku tokoh Perti KH
Sirajuddin Abbas yang populer yaitu I'tiqad Ahlussunnah wal
Jama'ah dan 40 Masalah Agama (4 jilid) merupakan konsumsi
dan pegangan para santri NU di pondok-pondok pesantren.
Berikut laporan
Berita Nahdlatoel Oelama No 16 tahun ke-9 edisi Juni 1940 halaman 6 atau 223
dengan judul Penerimaan Boekoe:
Tiba di meja redaksi
buku masalah Hadiah Pahala karangan Tuan Guru H Siradjuddin Abbas, Hoopdbestuur
Perti di Medan. Bisa didapat dari Eigenaar Boekhandle Penaboer Ilmoe Agama
dengan harga f 0.25.
Isinya penting dan berharga dibaca segenap umat Islam.
Atas kiriman itu diperbanyak terima kasih.
[]
(Abdullah
Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar