Kewarganegaraan Demokratis
Oleh: Azyumardi Azra
Kewarganegaraan (citizenship) dalam negara Indonesia yang
demokrasi adalah equal citizenship. Dalam kesetaraan kewarganegaraan, tidak
relevan pengelompokan warga negara berdasarkan komposisi atau kategori
keagamaan semacam ”umat mayoritas” dan ”umat minoritas” atau ”beriman” dan
”kafir”.
Negara demokrasi menjamin kewarganegaraan demokratis. Dalam
kewarganegaraan demokratis (democratic citizenship), setiap dan semua warga
negara menikmati kebebasan beragama. Negara tidak boleh melakukan diskriminasi
terhadap warga negara atas dasar perbedaan agama dan keyakinannya.
Berpenduduk mayoritas Muslim, agak aneh soal kewarganegaraan
hampir sepenuhnya absen dalam diskursus pemikiran Islam Indonesia. Para pemikir
dan aktivis kemerdekaan Indonesia dalam paruh pertama abad ke-20 luput membahas
secara relatif komprehensif ihwal kewarganegaraan tidak hanya dalam hubungannya
negara-bangsa Indonesia yang kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945 dan juga
dengan agama.
Isu kewarganegaraan dalam konteks kategorisasi keagamaan yang
berbeda, misalnya antara ”beriman” dan ”kafir” baru menjadi heboh ketika
Nahdlatul Ulama (NU) lewat Munas/Konbes Banjar (27 Februari hingga 1 Maret
2019) merekomendasikan kepada publik—khususnya umat Islam—agar meninggalkan
penyebutan ”kafir” untuk non-Muslim. Terdapat kalangan Muslim yang keberatan
dengan rekomendasi NU tersebut dan bahkan menarik rekomendasi itu ke ranah yang
jauh daripada yang dimaksudkan.
Rekomendasi NU tersebut jelas berlaku hanya dalam konteks muamalah
kebangsaan atau hubungan kewarganegaraan (muwathanah) Indonesia; bukan dalam
konteks akidah (keimanan). Oleh karena itu, rekomendasi itu tidak berarti
menghilangkan kategorisasi keagamaan yang banyak disebut di dalam ayat-ayat Al
Quran.
Pembahasan dan rekomendasi Bahtsul Masa’il NU tentang subyek
muwathanah (kewarganegaraan) dalam konteks negara-bangsa modern dan demokrasi
Indonesia dapat dikatakan sebagai terobosan pemikiran penting.
Sulit menemukan adanya pemikiran Islam tentang subyek ini yang
dikembangkan pemikir atau kelompok pemikir atau organisasi Islam, baik di
Indonesia maupun di kawasan dunia Muslim lain.
Subyek muwathanah dalam negara modern berpenduduk mayoritas
Muslim—yang sebagiannya mengadopsi demokrasi pada masa pasca-Perang Dunia
II—adalah hal yang sama sekali baru dalam diskursus pemikiran politik Islam.
Menghadapi fenomena kemunculan negara modern yang berkembang menjadi demokrasi,
seperti Indonesia, pemikiran politik Islam berkembang ke dua arah dikotomis.
Pertama, pihak yang menerima konsep dan praktik negara modern,
termasuk demokrasi. Pemikiran dan praktik politik modern yang mereka terima
sering dikontekstualisasikan dengan konsep-konsep politik Islam sejak zaman
klasik dan masa pertengahan.
Dalam konteks kewarganegaraan, pihak pertama ini menerima konsep
kewarganegaraan modern apa adanya, tacit atau taken for granted atau tidak mempersoalkannya.
Tidak ada upaya serius untuk mengembangkan konsep kewarganegaraan dalam
perspektif Islam berdasarkan kerangka equal citizenship Indonesia demokratis.
Sebaliknya, pihak kedua justru ingin kembali pada apa yang mereka
sebut sebagai konsep dan praksis politik Islam di masa silam yang mereka
pandang pernah mengantarkan umat Islam ke dalam kemajuan.
Mereka menolak konsep dan praksis politik modern. Bagi mereka,
demokrasi yang menekankan kesetaraan demokratis adalah anathema karena mereka
yang beriman memiliki keutamaan khusus di atas komunitas warga lain.
Bagi pihak ini, sistem politik ideal itu adalah khilafah atau
daulah Islamiyah berdasarkan pemikiran dan praksis politik klasik. Tentang
kewarganegaraan, dalam sistem dan praksis khilafah atau daulah Islamiyah warga
dibagi menjadi dua: Muslim yang memiliki hak-hak istimewa tertentu dan ahl
dzimmah, non-Muslim yang memiliki kewajiban berbeda, seperti keharusan membayar
jizyah, pajak per kepala sebagai biaya perlindungan yang mereka terima dari
penguasa Muslim.
Indonesia dalam sejarah politiknya yang panjang sejak masa
kesultanan abad ke-13 di berbagai kawasan Kepulauan Nusantara tidak mengikuti
konsep dan praksis politik klasik Islam. Dalam masa kesultanan belum dikenal
konsep kewarganegaraan; yang adanya hanyalah kategorisasi kelompok warga
berdasarkan agama.
Dalam tradisi politik kesultanan di Nusantara juga tidak pernah
ada pembagian antara ranah dar al-Islam yang dikuasai kaum Muslimin dan dar
al-kufr atau dar al-harb yang didiami non-Muslim. Juga tidak ada pembagian
warga antara Mukmin-Muslim dan ahl al-dzimmah yang dapat dikatakan sebagai
warga ”kelas dua”.
Berbeda jauh dengan ketidaksetaraan antarwarga negara dalam sistem
dan entitas politik Islam di masa silam, kewargaan demokratis yang berlaku di
negara-bangsa Indonesia justru menjamin kesetaraan para warga negara.
Paradigma ini menjadi praktik politik yang lazim sejak Indonesia
merdeka. Di tengah berbagai perubahan politik yang terjadi sejak masa
kemerdekaan sampai sekarang, kewarganegaraan yang setara tetap bertahan.
Akan tetapi, kewarganegaraan demokratis lebih daripada sekadar
praktik politik. Kewarganegaraan juga merupakan status hukum dan kategori
administratif, terkait dengan hak- hak dan kewajiban sipil. Dengan status hukum
dan administratif kewarganegaraan, warga berhak dan seharusnya memiliki akses
tidak hanya ke dalam kehidupan politik, tetapi juga ekonomi, sosial, budaya,
dan seterusnya.
Dinamika politik global, regional, nasional, dan lokal belakangan
ini yang ditandai kebangkitan politik identitas sering tidak kondusif terhadap
kewarganegaraan demokratis. Oleh karena itu, kewarganegaraan demokratis di
Tanah Air dengan segala aspeknya mestilah senantiasa diperkuat. []
KOMPAS, 21 Maret 2019
Azyumardi Azra | Profesor
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta; Anggota AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar