Keriuhan Menuju Substansi Kepemimpinan
Oleh: Yudi Latif
DARI gelombang buih kampanye
dan keriuhan perdebatan politik, nyaris tak ada gagasan jernih dan bernas yang
mudah diingat. Ucapan bergelembung tanpa isi yang bisa ditangkap.
Substansi terbenam oleh gemuruh caci maki, fitnah, dan kebohongan.
Visi masa depan kabur, tertutupi oleh bayangan fragmen-fragmen persoalan dengan
solusi tambal sulam, tanpa kesanggupan menghadirkan gambaran yang utuh tentang
akar persoalan dan solusi mendasarnya. Dalam kemunduran daya pikir, kesadaran
publik ditaklukkan oleh sihir kemasan. Impresi lebih diutamkan ketimbang
isi-sejati.
Acara debat antarkandidat sedianya merupakan momen penajaman visi
dan persuasi politik yang fungsional. Lewat perdebatan publik, visi-misi dan
program yang ditawarkan setiap kandidat menemukan momen pengasahan. Lewat
proses saling gosok dalam serangkaian adu argumentasi, kritik dan kontra
kritik, hal-hal yang tadinya dianggap sudah benar dan sudah selesai menemukan
sanggahan atau perspektif lain dari pihak lawan.
Dengan itu, ada kesempatan untuk meluaskan dan menjernihkan
pemahaman, serta menyempunakan sisi-sisi kelemahan yang sebelumnya tak disadari
sehingga bila saatnya terpilih menjadi presiden, sudah relatif tahu apa yang
benar, yang menanti eksekusi secara benar.
Lebih dari itu, dengan ajang perdebatan yang baik, setiap kandidat
menemukan momen unjuk kualitas diri di hadapan publik pemilih. Bukan hanya
kualitas gagasan dan argumentasi, melainkan juga kualitas karakter
kepemimpinan. Yang ditunjukkan bukan saja konfidensi atas apa yang dikuasainya,
melainkan juga caranya bereaksi terhadap pertanyaan yang tidak dikuasainya.
Dalam tensi perdebatan yang menguras emosi, seorang pemimpin diuji
kemampuannya untuk membawakan diri serta daya persuasinya dalam memenangkan
hati rakyat.
Daya persuasi merupakan titik esensial bagi pucuk pimpinan
tertinggi. Seorang presiden bukanlah seorang CEO dalam perusahaan dengan
tugas-tugas teknis manajerial, melainkan seorang chief political officer yang
bertugas menetapkan sejumlah prioritas kebijakan publik.
Untuk itu, kecakapan teknis tidak terlalu dibutuhkan. Karena dalam
eksekusinya presiden akan dibantu oleh kabinet, deretan staf lain, serta
dukungan birokrasi pemerintah. Kualitas yang lebih esensial dalam mengemban
tugasnya menetapkan prioritas kebijakan publik adalah kemampuannya untuk
meyakinkan dan mempersuasi rakyat dengan mutu argumentasi dan retorika.
Mengenali arah perjuangan
Meminjam pandangan Bung Karno, seorang pemimpin politik harus
mampu membujuk rakyat untuk mengenali arah perjuangan yang dituju. Mampu
membangkitkan keyakinan rakyat bahwa mereka mampu mencapai tujuan tersebut,
serta bisa mendorong rakyat bertindak menggapai tujuan yang telah ditetapkan.
Semua itu bertalian erat dengan kemampuan argumentasi dan persuasi yang bisa
diperlihatkan dalam proses perdebatan.
Untuk itu, ajang perdebatan harus dilaksanakan secara tepat guna,
bukan sekadar acara seremonial demi memenuhi prosedur formal belaka. Acara
debat yang baik harus memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, perdebatan yang
baik memerlukan adanya proposisi yang jelas mengenai isu spesifik sehingga bisa
memancing adu argumentasi. Topik yang ditetapkan jangan terlalu melebar, yang
cuma menjadi ajang para kandidat untuk obral janji.
Perdebatan harus mendorong kandidat untuk berani menawarkan
sejumlah proritas kebijakan publik yang menyasar rantai terlemah dalam mengatasi
masalah publik. Ambisi para kandidat untuk menyelesaikan segala masalah
sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.
Menentukan fokus memang memerlukan keberanian guna menghadapi
pihak-pihak yang merasa terabaikan. Namun, ada risiko besar bagi presiden
terpilih yang terlalu obral janji, menyenangkan segala kalangan demi mencari
jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, janji tinggal janji dengan sinisme
yang menguat.
Selain itu, dalam perdebatan harus ada konfrontasi sehingga setiap
kandidat harus punya kesiapan adu argumen. Kalau tidak ada konfrontasi, apalagi
saling mendukung sesama kontestan, esensi perdebatan hilang.
Apa yang kita saksikan dalam acara debat capres/cawapres selama
ini belum mampu menawarkan ketajaman visi dan kekuatan persuasi yang
meyakinkan. Yang sensasional malah keriuhan saling serang antarpendukung
setelah acara debat usai. Substansi gagasan tenggelam di belam percekcokan
pepesan kosong.
Apa yang dipertontonkan oleh gemuruh percekcokan di ruang publik
ini adalah kemunduran dalam nalar bernegara dan rasa berbangsa. Kehilangan
terbesar bangsa ini bukanlah kehilangan orang besar atau kemerosotan nilai
tukar dan defisit neraca perdagangan, melainkan kemunduran pikiran.
Pada masa ketika kekuatan pikir kian menentukan ketahanan politik
dan perekonomian suatu bangsa, ajang kampanye pemilihan anggota legislatif dan
kepresidenan kali ini justru menjadi pasar raya persaingan kebebalan dan sesat
pikir. Memudarnya kualitas pikir ini kian merisaukan manakala penetrasi nilai
dan ideologi asing kian meluas, yang memecah imajinasi kebangsaan ke dalam
keping-keping solidaritas komunal yang mengoyak ikatan kebangsaan.
Untuk itu, para kandidat dan lingkaran elite pendukungnya
hendaknya menyadari bahwa kontestasi kepemimpinan bukanlah semata-mata ajang
perebutan kekuasaan demi kekuasaan. Kontestasi kepemimpinan merupakan ajang
estafet kepemimpinan politik dalam menjalankan pembangunan demi meraih
cita-cita nasional.
Pembangunan tiga ranah peradaban
Dalam kaitan itu, hendaklah disadari bahwa pembangunan nasional
bisa dikatakan sebagai gerak berkelanjutan dari peningkatan mutu budaya dan
peradaban dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional berlandaskan (kerangka
keyakinan, pengetahuan dan tindakan) Pancasila.
Laju pembangunan dalam kerangka transformasi peradaban itu
sekarang menghadapi tantangan yang serius dari penderasan arus globalisasi dan
perkembangan teknologi yang membawa serta perubahan-perubahan tata nilai, tata
kelola, dan tatanan material dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Sementara itu, respons yang diperlukan untuk menjawab tantangan
tersebut terkendala oleh kesibukan kontestasi politik jangka pendek, yang
cenderung mengabaikan persoalan pembangunan fundamental yang berjangka panjang.
Maka dari itu, perlu diingatkan bahwa ketahanan nasional sebagai
daya sintas suatu bangsa pada dasarnya ditentukan oleh daya (kualitas) budaya
dan peradaban yang tecermin dari kondisi-kondisi yang berlangsung pada tiga
ranah utama kehidupan sosial, yakni ranah mental-spiritual, ranah
institusional-politikal, dan ranah material-teknologikal. Ranah pertama kerap
disebut sebagai ranah budaya, sedang ranah kedua dan ketiga disebut sebagai
ranah peradaban.
Meski demikian, lazim pula dipahami, bahwa dalam istilah peradaban
pun terkandung basis nilai budaya. Oleh karena itu, ketiga ranah tersebut bisa
disebut dalam satu tarikan nafas sebagai ranah peradaban.
Visi Pancasila telah mengantisipasi pentingnya memperhatikan
ketiga ranah tersebut. Ranah mental-spiritual (kultural) basis utamanya adalah
sila pertama, kedua, dan ketiga. Ranah institusional-politikal basis utamanya
sila keempat. Ranah material-teknologikal basis utamanya sila kelima. Dalam
kerangka Pancasila, ketiga ranah tersebut bisa dibedakan, namun tak bisa
dipisahkan.
Berlandaskan nilai-nilai Pancasila, orientasi dari ketiga ranah
kehidupan sosial tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut.Pengembangan
mental-spiritual diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian
(berkarakter) dengan nilai utamanya berlandaskan sila pertama, kedua, dan
ketiga. Bahwa kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih
manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan 'Yang Mahasuci',
yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran.
Welas asih dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang
adil dan beradab. Welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (Tanah
Air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan
dalam keragaman bangsa.
Dengan spirit Ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan, dikembangkan
daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter,
mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja yang positif dan kreatif. Serta,
sanggup menjalin persatuan (gotong royong) dengan semangat pelayanan
(pengorbanan).
Pengembangan institusi sosial-politik diarahkan untuk menjadi
bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa
tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita
kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu
rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan
(negara persatuan). Dan keadilan sosial (negara kesejahteraan), yang
termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemedekaan, perdamaian dan keadilan.
Pengembangan ranah material-teknologikal diarahkan untuk menjadi
bangsa yang mandiri dan berkesejahteraan umum dengan nilai utamanya
berlandaskan sila kelima. Bahwa kemandirian dan kesejahteraan umum hendak
diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka. Berlandaskan usaha
tolong-menolong (semangat koperatif), disertai pengusahaan negara atas 'karunia
kekayaan bersama (commonwealth). Serta atas cabang-cabang produksi yang penting
dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak. Seraya memberi nilai tambah atas
karunia yang diberikan dengan input pengetahuan dan teknologi.
Pada akhirnya, ketiga ranah tersebut, secara sendiri-sendiri dan
secara simultan diarahkan untuk mewujudkan visi negara-bangsa: terwujudnya
perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
(material dan spiritual), berlandaskan Pancasila.
Tiga rezim transformasi
Pengembangan ketiga ranah tersebut memerlukan keandalan tiga agen
sosial, yakni rezim pendidikan dan pengetahuan, rezim politik-kebijakan, rezim
ekonomi-produksi.
Dalam konteks persoalan Indonesia hari ini, ketiga rezim mengemban
prioritas tugas sebagai berikut. Prioritas rezim pendidikan dan pengetahuan
adalah membenahi aspek mental-spiritual dengan merevitalisasi pendidikan budi
pekerti. Terutama pada tingkat pendidikan dasar.
Budi mengandung arti 'pikiran, perasaan, dan kemauan', pekerti
artinya 'tenaga'. Alhasil, pendidikan budi-pekerti mengupayakan bersatunya
pikiran, perasaan dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang
dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah. Dengan
pendidikan budi-pekerti diharapkan mampu melahirkan generasi baru Indonesia
yang berkarakter dan kreatif dengan jiwa merdeka.
Prioritas rezim politik-kebijakan adalah menata ulang sistem
demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan
keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan
pemerintahan harus ditinjau ulang.
Praktik politik tidak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi
kuasa. Namun, harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan
berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara. Kebijakan
politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola budaya
(mental-spiritual), tata kelola sumberdaya material dan teknologi. Serta tata
kelola demokrasi dan pemerintahan.
Dalam kaitan dengan tata kelola demokrasi dan pemerintahan,
berbagai elemen krusial harus mendapat perhatian yang serius. Beberapa di
antaranya menyangkut persoalan institusi pemilihan yang padat modal, penataan
ulang otonomi daerah, urgensi kehadiran pedoman direktif (haluan pembangunan)
yang lebih solid.
Lalu, persoalan tumpang-tindih kewenangan insitusi-institusi
negara, terlalu luasnya cakupan kelembagaan negara karena kehadirian beragam
komisi negara. Serta, pentingnya perampingan birokrasi negara untuk menghindari
jebakan negara pegawai, urgensi pembenahan sistem perwakilan yang lebih inklusif
dan representatif dengan kesanggupan mengakomodasi segala kekuatan
sosial-politik. Serta pentingnya memperbaiki rezim negara kesejahteraan yang
bersemangat gotong royong.
Priotitas rezim ekonomi-produksi adalah mengembangkan semangat
tolong-menolong (kooperatif) dalam perekonomian. Politik anggaran harus lebih
berorientasi pada kesejahteraan umum. Kemampuan negara untuk menguasai dan
mengelola kekayaaan bersama (commonweath). Serta cabang-cabang produksi yang
penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus disehatkan.
Mata rantai produksi dari hulu ke hilir jangan sampai
terkonsentrasi di satu tangan. Kemakmuran dan pemerataan ekonomi bisa didorong
melalui pengembangan kewirausahaan yang dibekali penguasaan teknologi. Dengan
memprioritaskan pengembangan teknologi berbasis potensi dan karakterististik
(kondisi) keindonesiaan.
Untuk itu, pengembangan teknologi harus beringsut dari lembaga
riset negara menuju ranah industri-perusahaan, terintegrasi ke dalam sektor
produktif.
Visi dan program kepresidenan
Visi dan program yang ditawarkan oleh para calon presiden/wakil
presiden semestinya menyasar pada persoalan-persoalan fundamental pada ketiga
ranah peradaban dan perbaikan secara mendasar pada tiga rezim transformasi
sosial tersebut.
Tanpa kesanggupan merespons hal itu, program-program yang
ditawarkan sekadar program tambal sulam, sebagai pemadam kebakaran, tanpa
kemampuan menyasar persoalan yang lebih mendasar.
Visi pembangunan yang dikendaki adalah visi pembangunan dengan
paradigma Pancasila. Dalam pendekatan ini, nilai-nilai Pancasila menjadi alat
ukur bagi segala komponen bangsa untuk menakar apakah kebijakan-kebijakan
negara dan praktik kehidupan kebangsaan sesuai atau tidak dengan
imperatif-imperatif Pancasila. Dengan demikian, Pancasila bisa menjadi alat
kritik sekaligus panduan bagi kebijakan negara serta perilaku aparatur negara
dan warga negara.
Dengan cara-cara seperti itulah, idealitas Pancasila bisa bergerak
mendekati realitas. Tes terakhir dari keampuhan Pancasila teruji ketika setiap
sila dan konsepsinya bisa dibumikan dalam kenyataan semesta Pembangunan.
Dalam ranah mental-spiritual sanggup melahirkan manusia Indonesia
yang berkarakter dan kreatif. Dalam ranah institusional-politikal sanggup
melahirkan tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan yang menguatkan
persatuan dan keadilan.
Dalam ranah material-teknologikal sanggup meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan umum dengan megembangkan sektor produktif berbasis
pengetahuan dan teknologi. Menuju demokrasi yang lebih substantif seperti
itulah program kampanye dan perdebatan politik seyogianya harus diarahkan. []
MEDIA INDONESIA, 11 Maret 2019
Yudi Latif | Cendekiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar