Selasa, 12 Maret 2019

Yudi Latif: Keriuhan Menuju Substansi Kepemimpinan


Keriuhan Menuju Substansi Kepemimpinan
Oleh: Yudi Latif

DARI gelombang buih kampanye dan keriuhan perdebatan politik, nyaris tak ada gagasan jernih dan bernas yang mudah diingat. Ucapan bergelembung tanpa isi yang bisa ditangkap.

Substansi terbenam oleh gemuruh caci maki, fitnah, dan kebohongan. Visi masa depan kabur, tertutupi oleh bayangan fragmen-fragmen persoalan dengan solusi tambal sulam, tanpa kesanggupan menghadirkan gambaran yang utuh tentang akar persoalan dan solusi mendasarnya. Dalam kemunduran daya pikir, kesadaran publik ditaklukkan oleh sihir kemasan. Impresi lebih diutamkan ketimbang isi-sejati.

Acara debat antarkandidat sedianya merupakan momen penajaman visi dan persuasi politik yang fungsional. Lewat perdebatan publik, visi-misi dan program yang ditawarkan setiap kandidat menemukan momen pengasahan. Lewat proses saling gosok dalam serangkaian adu argumentasi, kritik dan kontra kritik, hal-hal yang tadinya dianggap sudah benar dan sudah selesai menemukan sanggahan atau perspektif lain dari pihak lawan.

Dengan itu, ada kesempatan untuk meluaskan dan menjernihkan pemahaman, serta menyempunakan sisi-sisi kelemahan yang sebelumnya tak disadari sehingga bila saatnya terpilih menjadi presiden, sudah relatif tahu apa yang benar, yang menanti eksekusi secara benar.

Lebih dari itu, dengan ajang perdebatan yang baik, setiap kandidat menemukan momen unjuk kualitas diri di hadapan publik pemilih. Bukan hanya kualitas gagasan dan argumentasi, melainkan juga kualitas karakter kepemimpinan. Yang ditunjukkan bukan saja konfidensi atas apa yang dikuasainya, melainkan juga caranya bereaksi terhadap pertanyaan yang tidak dikuasainya.

Dalam tensi perdebatan yang menguras emosi, seorang pemimpin diuji kemampuannya untuk membawakan diri serta daya persuasinya dalam memenangkan hati rakyat.

Daya persuasi merupakan titik esensial bagi pucuk pimpinan tertinggi. Seorang presiden bukanlah seorang CEO dalam perusahaan dengan tugas-tugas teknis manajerial, melainkan seorang chief political officer yang bertugas menetapkan sejumlah prioritas kebijakan publik.

Untuk itu, kecakapan teknis tidak terlalu dibutuhkan. Karena dalam eksekusinya presiden akan dibantu oleh kabinet, deretan staf lain, serta dukungan birokrasi pemerintah. Kualitas yang lebih esensial dalam mengemban tugasnya menetapkan prioritas kebijakan publik adalah kemampuannya untuk meyakinkan dan mempersuasi rakyat dengan mutu argumentasi dan retorika.

Mengenali arah perjuangan

Meminjam pandangan Bung Karno, seorang pemimpin politik harus mampu membujuk rakyat untuk mengenali arah perjuangan yang dituju. Mampu membangkitkan keyakinan rakyat bahwa mereka mampu mencapai tujuan tersebut, serta bisa mendorong rakyat bertindak menggapai tujuan yang telah ditetapkan. Semua itu bertalian erat dengan kemampuan argumentasi dan persuasi yang bisa diperlihatkan dalam proses perdebatan.

Untuk itu, ajang perdebatan harus dilaksanakan secara tepat guna, bukan sekadar acara seremonial demi memenuhi prosedur formal belaka. Acara debat yang baik harus memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, perdebatan yang baik memerlukan adanya proposisi yang jelas mengenai isu spesifik sehingga bisa memancing adu argumentasi. Topik yang ditetapkan jangan terlalu melebar, yang cuma menjadi ajang para kandidat untuk obral janji.

Perdebatan harus mendorong kandidat untuk berani menawarkan sejumlah proritas kebijakan publik yang menyasar rantai terlemah dalam mengatasi masalah publik. Ambisi para kandidat untuk menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.

Menentukan fokus memang memerlukan keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terabaikan. Namun, ada risiko besar bagi presiden terpilih yang terlalu obral janji, menyenangkan segala kalangan demi mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, janji tinggal janji dengan sinisme yang menguat.

Selain itu, dalam perdebatan harus ada konfrontasi sehingga setiap kandidat harus punya kesiapan adu argumen. Kalau tidak ada konfrontasi, apalagi saling mendukung sesama kontestan, esensi perdebatan hilang.

Apa yang kita saksikan dalam acara debat capres/cawapres selama ini belum mampu menawarkan ketajaman visi dan kekuatan persuasi yang meyakinkan. Yang sensasional malah keriuhan saling serang antarpendukung setelah acara debat usai. Substansi gagasan tenggelam di belam percekcokan pepesan kosong.

Apa yang dipertontonkan oleh gemuruh percekcokan di ruang publik ini adalah kemunduran dalam nalar bernegara dan rasa berbangsa. Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kehilangan orang besar atau kemerosotan nilai tukar dan defisit neraca perdagangan, melainkan kemunduran pikiran.

Pada masa ketika kekuatan pikir kian menentukan ketahanan politik dan perekonomian suatu bangsa, ajang kampanye pemilihan anggota legislatif dan kepresidenan kali ini justru menjadi pasar raya persaingan kebebalan dan sesat pikir. Memudarnya kualitas pikir ini kian merisaukan manakala penetrasi nilai dan ideologi asing kian meluas, yang memecah imajinasi kebangsaan ke dalam keping-keping solidaritas komunal yang mengoyak ikatan kebangsaan.

Untuk itu, para kandidat dan lingkaran elite pendukungnya hendaknya menyadari bahwa kontestasi kepemimpinan bukanlah semata-mata ajang perebutan kekuasaan demi kekuasaan. Kontestasi kepemimpinan merupakan ajang estafet kepemimpinan politik dalam menjalankan pembangunan demi meraih cita-cita nasional.

Pembangunan tiga ranah peradaban

Dalam kaitan itu, hendaklah disadari bahwa pembangunan nasional bisa dikatakan sebagai gerak berkelanjutan dari peningkatan mutu budaya dan peradaban dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional berlandaskan (kerangka keyakinan, pengetahuan dan tindakan) Pancasila.

Laju pembangunan dalam kerangka transformasi peradaban itu sekarang menghadapi tantangan yang serius dari penderasan arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang membawa serta perubahan-perubahan tata nilai, tata kelola, dan tatanan material dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Sementara itu, respons yang diperlukan untuk menjawab tantangan tersebut terkendala oleh kesibukan kontestasi politik jangka pendek, yang cenderung mengabaikan persoalan pembangunan fundamental yang berjangka panjang.

Maka dari itu, perlu diingatkan bahwa ketahanan nasional sebagai daya sintas suatu bangsa pada dasarnya ditentukan oleh daya (kualitas) budaya dan peradaban yang tecermin dari kondisi-kondisi yang berlangsung pada tiga ranah utama kehidupan sosial, yakni ranah mental-spiritual, ranah institusional-politikal, dan ranah material-teknologikal. Ranah pertama kerap disebut sebagai ranah budaya, sedang ranah kedua dan ketiga disebut sebagai ranah peradaban.

Meski demikian, lazim pula dipahami, bahwa dalam istilah peradaban pun terkandung basis nilai budaya. Oleh karena itu, ketiga ranah tersebut bisa disebut dalam satu tarikan nafas sebagai ranah peradaban.

Visi Pancasila telah mengantisipasi pentingnya memperhatikan ketiga ranah tersebut. Ranah mental-spiritual (kultural) basis utamanya adalah sila pertama, kedua, dan ketiga. Ranah institusional-politikal basis utamanya sila keempat. Ranah material-teknologikal basis utamanya sila kelima. Dalam kerangka Pancasila, ketiga ranah tersebut bisa dibedakan, namun tak bisa dipisahkan.

Berlandaskan nilai-nilai Pancasila, orientasi dari ketiga ranah kehidupan sosial tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut.Pengembangan mental-spiritual diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian (berkarakter) dengan nilai utamanya berlandaskan sila pertama, kedua, dan ketiga. Bahwa kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan 'Yang Mahasuci', yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran. Welas asih dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (Tanah Air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan dalam keragaman bangsa.

Dengan spirit Ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan, dikembangkan daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja yang positif dan kreatif. Serta, sanggup menjalin persatuan (gotong royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan).

Pengembangan institusi sosial-politik diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan). Dan keadilan sosial (negara kesejahteraan), yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemedekaan, perdamaian dan keadilan.

Pengembangan ranah material-teknologikal diarahkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berkesejahteraan umum dengan nilai utamanya berlandaskan sila kelima. Bahwa kemandirian dan kesejahteraan umum hendak diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka. Berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat koperatif), disertai pengusahaan negara atas 'karunia kekayaan bersama (commonwealth). Serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak. Seraya memberi nilai tambah atas karunia yang diberikan dengan input pengetahuan dan teknologi.

Pada akhirnya, ketiga ranah tersebut, secara sendiri-sendiri dan secara simultan diarahkan untuk mewujudkan visi negara-bangsa: terwujudnya perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (material dan spiritual), berlandaskan Pancasila.

Tiga rezim transformasi

Pengembangan ketiga ranah tersebut memerlukan keandalan tiga agen sosial, yakni rezim pendidikan dan pengetahuan, rezim politik-kebijakan, rezim ekonomi-produksi.

Dalam konteks persoalan Indonesia hari ini, ketiga rezim mengemban prioritas tugas sebagai berikut. Prioritas rezim pendidikan dan pengetahuan adalah membenahi aspek mental-spiritual dengan merevitalisasi pendidikan budi pekerti. Terutama pada tingkat pendidikan dasar.

Budi mengandung arti 'pikiran, perasaan, dan kemauan', pekerti artinya 'tenaga'. Alhasil, pendidikan budi-pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah. Dengan pendidikan budi-pekerti diharapkan mampu melahirkan generasi baru Indonesia yang berkarakter dan kreatif dengan jiwa merdeka.

Prioritas rezim politik-kebijakan adalah menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang.

Praktik politik tidak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa. Namun, harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara. Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola budaya (mental-spiritual), tata kelola sumberdaya material dan teknologi. Serta tata kelola demokrasi dan pemerintahan.

Dalam kaitan dengan tata kelola demokrasi dan pemerintahan, berbagai elemen krusial harus mendapat perhatian yang serius. Beberapa di antaranya menyangkut persoalan institusi pemilihan yang padat modal, penataan ulang otonomi daerah, urgensi kehadiran pedoman direktif (haluan pembangunan) yang lebih solid.

Lalu, persoalan tumpang-tindih kewenangan insitusi-institusi negara, terlalu luasnya cakupan kelembagaan negara karena kehadirian beragam komisi negara. Serta, pentingnya perampingan birokrasi negara untuk menghindari jebakan negara pegawai, urgensi pembenahan sistem perwakilan yang lebih inklusif dan representatif dengan kesanggupan mengakomodasi segala kekuatan sosial-politik. Serta pentingnya memperbaiki rezim negara kesejahteraan yang bersemangat gotong royong.
Priotitas rezim ekonomi-produksi adalah mengembangkan semangat tolong-menolong (kooperatif) dalam perekonomian. Politik anggaran harus lebih berorientasi pada kesejahteraan umum. Kemampuan negara untuk menguasai dan mengelola kekayaaan bersama (commonweath). Serta cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus disehatkan.

Mata rantai produksi dari hulu ke hilir jangan sampai terkonsentrasi di satu tangan. Kemakmuran dan pemerataan ekonomi bisa didorong melalui pengembangan kewirausahaan yang dibekali penguasaan teknologi. Dengan memprioritaskan pengembangan teknologi berbasis potensi dan karakterististik (kondisi) keindonesiaan.

Untuk itu, pengembangan teknologi harus beringsut dari lembaga riset negara menuju ranah industri-perusahaan, terintegrasi ke dalam sektor produktif.

Visi dan program kepresidenan

Visi dan program yang ditawarkan oleh para calon presiden/wakil presiden semestinya menyasar pada persoalan-persoalan fundamental pada ketiga ranah peradaban dan perbaikan secara mendasar pada tiga rezim transformasi sosial tersebut.

Tanpa kesanggupan merespons hal itu, program-program yang ditawarkan sekadar program tambal sulam, sebagai pemadam kebakaran, tanpa kemampuan menyasar persoalan yang lebih mendasar.

Visi pembangunan yang dikendaki adalah visi pembangunan dengan paradigma Pancasila. Dalam pendekatan ini, nilai-nilai Pancasila menjadi alat ukur bagi segala komponen bangsa untuk menakar apakah kebijakan-kebijakan negara dan praktik kehidupan kebangsaan sesuai atau tidak dengan imperatif-imperatif Pancasila. Dengan demikian, Pancasila bisa menjadi alat kritik sekaligus panduan bagi kebijakan negara serta perilaku aparatur negara dan warga negara.

Dengan cara-cara seperti itulah, idealitas Pancasila bisa bergerak mendekati realitas. Tes terakhir dari keampuhan Pancasila teruji ketika setiap sila dan konsepsinya bisa dibumikan dalam kenyataan semesta Pembangunan.

Dalam ranah mental-spiritual sanggup melahirkan manusia Indonesia yang berkarakter dan kreatif. Dalam ranah institusional-politikal sanggup melahirkan tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan yang menguatkan persatuan dan keadilan.

Dalam ranah material-teknologikal sanggup meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan umum dengan megembangkan sektor produktif berbasis pengetahuan dan teknologi. Menuju demokrasi yang lebih substantif seperti itulah program kampanye dan perdebatan politik seyogianya harus diarahkan. []

MEDIA INDONESIA, 11 Maret 2019
Yudi Latif | Cendekiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar