Mendekatkan Diri pada
Sang Kekasih
Tasawuf berasal dari
kata shafa yang bermakna jernih. Terlepas beragam definisi dari tokoh-tokoh
sufi, secara sederhana saya selalu menganggap bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu
untuk menjernihkan hati dari segala penyakitnya —iri, dengki, benci, sombong,
dendam dan lain lain— guna mendekatkan diri pada Allah. Tentu jika hati kita
jernih dan bersih akan membawa ketentraman dalam setiap aktivitas kita.
Hati mensugestikan pikiran, diucapkan melalui lisan dan diiwujudkan dalam
tindakan.
Saat saya mondok dulu
pesan kiai saya selalu jangan pernah berhenti belajar untuk tafaqquh fiddin
(mendalami ilmu agama) serta taqarrub ila Allah (mendekatkan diri pada Allah).
Dua poin penting yang saling berkesinambungan. Bahwa ilmu dan ubudiyah penting
adanya. Tanpa ilmu, amal ibadah kita hambar laksana masakan tanpa bumbu.
Kemanfaatan suatu ilmu dapat dilihat dari bagaimana rasa takut dan taatnya pada
Allah. Ilmu mendekatkan kita pada sang kekasih. Kedekatan yang menyublimkan
dinding-dinding esoteris hingga yang nyata tiada lain hanyalah Allah SWT
semata.
Abdul Jalil, atau
biasa kita kenal dengan syekh Siti Jenar atau Lemah abang merupakan sosok tokoh
sufi Nusantara yang berpengaruh di masanya. Terlepas dari pro-kontra kisah
hidupnya, tidak menafikan fakta sejarah bahwa ajaran tasawuf digemari dan
diterima manusia Nusantara dengan suka cita. Bisa dilihat dari menjamurnya
majelis dzikir dan ragam thariqah di Indonesia hari ini, menunjukan bahwa
animo umat islam Indonesia sangat tinggi dalam hal mendekatkan diri pada Sang
Kekasih.
Ada sebuah cerita
tentang seorang santri yang bertanya pada kiainya apa hakikat ilmu tasawuf itu.
Sang kiai tidak menjelaskan secara ilmiah dengan macam dalilnya. Beliau hanya
menyuruh santri tersebut untuk mengisi air kamar mandi umum sampai penuh dan
digunakan untuk mandi. Selepas mandi sang santri kembali menghadap kiai.
"Apakah air di
kamar mandi sudah diisi penuh?" tanya kiai.
“sudah kiai,"
jawab santri.
"Apakah
semuanya air itukamu gunakan untuk mandi?" tanya kiai.
"Tidak, Kiai,
saya hanya memakainya seperlunya," jawab santri tersebut.
"Itulah hakikat
tasawuf, anakku. Kamu mencari sebanyak-banyaknya dan hanya kamu gunakan
secukupnya," jelas sang kiai.
Dalam kisah di atas
kita bisa mengambil hikmah, bahwa syarat menjadi seorang salik adalah terbebas
dari urusan duniawi. Bukan berarti Allah melarang kita untuk kaya, tetapi
kekayaan yang kita kumpulkan tidak sedikit pun merusak kejernihan hati kita,
sehingga yang ada di dalamnya hanyalah rasa cinta pada Sang Kekasih, Ilahi
Rabbi. Semoga senantiasa Allah menjaga kejernihan hati kita dan diberikan
kesempatan untuk selalu merasakan kedekatan dengan-Nya. Wa Allahu A'lam. []
(Rouf Hanif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar