Ujaran Kebencian dalam Catatan Ahmad Najib Burhani
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Era dunia medsos (media sosial) adalah era bebas tanpa batas dalam
arti positif dan arti negatif, dalam makna harum dan makna busuk. Semuanya
ditemui dalam medsos melalui akses yang sangat gampang.
Anak kecil pun mudah melakukannya. Pandangan dan komentar yang
positif dan harum dalam media ini jumlahnya melimpah, dilakukan oleh mereka
yang memakai hati nurani dan akal sehat dengan penuh rasa tanggung jawab.
Sebaliknya, ujaran kebencian, kebohongan, fitnah, dan pandangan yang busuk juga
berjibun banyaknya, dilakukan oleh mereka yang tunaadab, sesak napas, busuk
hati, minus akal sehat dan rasa tanggung jawab.
Saya adalah salah seorang yang berada di pusat sasaran positif dan
negatif itu sejak lebih dua tahun terakhir, gara-gara kasus Ahok yang dituduh
sebagai penghina Alquran dan ulama, atau dalam ungkapan lain sebagai penista
agama.
Saya bersama yang lain memang berdiri sebagai penentang arus dalam
masalah ini, publik pun sudah maklum, tidak perlu diungkapkan lagi. Fenomena
yang memprihatinkan dalam masalah ini adalah terbelahnya publik secara sangat
tajam antara pendukung dan penentang sikap saya, sekalipun dengan bergulirnya
waktu, suasananya, ibarat banjir, sudah semakin surut dan mereda.
Jumlah pandangan yang sepaham dan yang berseberangan dengan saya
masih terekam dengan baik dalam medsos. Sisi positif berupa pembelaan tidak
akan direkam lagi di sini. Tetapi, sisi negatif berupa ujar an kebencian dan
tudingan kepada saya yang kata nya 'sudah bau tanah' berdasarkan daftar yang
dikumpulkan DR. Ahmad Najib Burhani ada baiknya diketahui publik. (Lih. Ahmad
Najib Burhani, Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang Keberpihak an dan
Pembelaan kepada yang Lemah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019, hlm. 187). Sebagian ujaran
itu telah sempat saya baca, tetapi sebagian besar saya biarkan saja tanpa
komentar.
Inilah kutipan yang terbaca dalam karya peneliti LIPI ini:Ada yang
mengecam Buya dengan beragam istilah yang sangat kasar, ada yang mengutuk dan
melaknat, dan ada juga yang menuntut kepada Muhammadiyah untuk bersikap
terhadap Buya.
Beberapa di antaranya perlu disebutkan di sini untuk melihat
seperti apa ekspresi orang terhadap tokoh sekaliber Buya yang memberikan
nasihat tentang sejarah Indonesia. Mulai dari sebutan orang tua gila, pembela
penista, si tua, sudah bau tanah, kecebong, koplaxx, antek, tai kucing, semakin
tua semakin sesat, si pikun utek liberal, kerak neraka, cari makan, dasar orang
tua... tobat orang tua, semakin tua semakin kehilangan akal, agen PKI kedok
ulama, intelelek kok guoblok,
ulama syu, berbicaranya lantang, tapi telinganya tuli, pandangannya buta, dan
juga sebutan yang sudah sering dialamatkan kepadanya, yakni liberal.
Karena demikian bejibunnya stigma yang dialamatkan kepada saya
saat itu, sampai-sampai pihak polisi menjaga rumah saya selama sepekan,
khawatir jika ujaran kebencian itu diterjemahkan dalam bentuk fisik. Sedangkan
saya sekeluarga tidak merasa perlu dimanjakan seperti itu oleh aparat negara.
Tetapi, betapa pun juga saya berterima kasih kepada mereka atas segala
perhatian yang diberikan. Keluarga saya tampaknya sudah cukup kebal menyikapi
segala caci maki beruntun yang sebenarnya sudah berada di luar pematang sila
kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Berat dugaan saya bahwa mereka yang mengumbar ujaran kebencian itu
bukan orang lain, melainkan seagama dengan saya, ter masuk yang berasal dari
suku saya, Minangkabau, yang kabarnya manusia beradat dan beradab tinggi.
Apakah memang saya sudah tersungkur kepada posisi hina, tunamartabat seperti
yang dituduhkan itu, biarlah sejarah yang akan menilai. Kepada Bung Ahmad Najib
Burhani yang telah menyimpan dalam karya tulis daftar pesakitan yang dituduhkan
kepada saya, tidak ada kata lain yang mesti disampaikan, kecuali ucapan terima
kasih yang tulus.
Akhirnya, sebuah bangsa yang selama ini dikenal dunia sebagai
Indonesia yang ramah, beradab, dan lapang dada, akibat masifnya penyalahgunaan
medsos yang sukar dikawal, maka sebagian anak bangsa telah membenam kan
martabatnya sebagai manusia tunaadab dan tunatanggung jawab. Semoga semuanya
ini hanya akan bersifat sementara, pada ujungnya nanti sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab akan kembali jadi panglima dalam cara kita bergaul,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Indonesia terlalu besar untuk dikorbankan
oleh mereka yang busuk hati, sempit dada, dan bernapas pendek! []
REPUBLIKA, 12 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar