Pondok Pesantren
Maslakul Huda, Kajen, Pati – Jawa Tengah
Kajen merupakan
contoh potret desa yang unik dan menarik, lazimnya sebagai sebuah desa Kajen
tidak memiliki sawah. Disana kehidupan bisa dikatakan maju dari segi pendidikan
karena memang Kajen terkenal dengan sebutan “Kampung Santri” yang memiliki 24
pesantren dan lebih dari 5 sekolahan madrasah. Untuk hitungan sebuah desa
catatan ini sangatlah mengagumkan. Disamping populer dengan predikat atau julukan
“kampung Santri” dan menjadi obyek ziarah umat Islam dari berbagai
daerah, di desa ini pernah hidup orang suci bernama Syech KH.
Ahmad Mutamakkin (Mbah Mutamakkin), cikal bakal keberadaan desa Kajen.
Kajen merupakan
contoh potret desa yang unik dan menarik, lazimnya sebagai sebuah desa Kajen
tidak memiliki sawah. Disana kehidupan bisa dikatakan maju dari segi pendidikan
karena memang Kajen terkenal dengan sebutan “Kampung Santri” yang memiliki 24
pesantren dan lebih dari 5 sekolahan madrasah. Untuk hitungan sebuah desa
catatan ini sangatlah mengagumkan. Disamping populer dengan predikat atau
julukan “kampung Santri” dan menjadi obyek ziarah umat Islam dari berbagai
daerah, di desa ini pernah hidup orang suci bernama Syech KH.
Ahmad Mutamakkin (Mbah Mutamakkin), cikal bakal keberadaan desa Kajen.
Sebagaimana diketahui
banyak orang, desa yang tidak mempunyai sawah itu menyimpan sejarahnya
yang panjang. Meskipun tidak mempunyai sawah seperti desa-desa yang lain,
namun secara ekonomi masyarakat kajen bisa dikatakan kecukupan. Bahkan setiap
tahunnya peningkatan itu dapat disaksiskan dan dirasakan. Keberadaan masyarakat
Kajen tertopang dengan mukimnya ribuan santri yang berdatangan dari berbagai
penjuru Indonesia, mereka datang untuk merasakan sejuknya desa Kajen dan
ramainya kegiatan tholabul ‘ilmi.
Bau menyengat
hidung adalah kesan pertama kali bagi para pendatang ketika memasuki desa
kajen, karena memang daerah ini dialiri sungai tempat pembuangan limbah tapioka
desa ngemplak yang membelah desa dari arah barat ke timur menuju ke muara laut
bulumanis. Bau limbah itu bagi masyarakat desa telah menjadi bagian dalam
hidupnya, seakan mereka sudah kebal dan tak perlu menghiraukannya lagi. Selain
suasananya yang sejuk dan damai, desa ini identik dengan keberadaan
bangunan-bangunan yang dihuni oleh banyak santri mukim yang lebih dikenal
dengan nama pesantren. Secara sosiologis desa kajen merupakan sebuah wilayah
yang dihuni oleh penduduk yang bercorak homogen, yang sebagian besar
masyarakatnya memeluk dan meyakini ajaran Islam sebagai dasar dalam perilaku
hidup sehari-hari.
Karena kondisi
wilayahnya yang tidak memiliki areal persawahan, masyarakat kajen dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya bertopang pada perniagaan dan mengerjakan lahan
milik desa sekitar. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sangat memegang
norma-norma sosial baik itu yang tertulis seperti yang dianjurkan dalam ajaran
agama Islam atau norma yang bersifat konvensional, seperti dilarang membuat
keonaran dan mencoreng nama baik desa dan leluhur. Dalam pelaksanaan
norma-norma tersebut kesadaran masyarakat lebih didorong oleh ketaatannya
kepada kiai yang memang dalam penerapan sebuah kebijakan baik itu yang bersifat
formal ataupun informal lebih efektif dibanding birokrasi setempat. Karena kiai
dalam masyarakat kajen selain memiliki nilai historis yang panjang dalam
sejarah masa lalunya, juga menempati posisi terpenting sebagai salah satu unsur
dalam struktur sosial masyarakat kajen. Dalam sejarahnya birokrasi pemerintahan
desa terlihat subordinat terhadap para kiai, selain kurang
berfungsinya pamong desa dalam kegiatan kemasyarakatan, hal ini juga
dikarenakan masyarakat masih percaya betul bahwa figur seorang kiai mampu untuk
digugu dan ditiru dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari-hari.
Secara geografis,
desa kajen berada di wilayah pati sebelah utara, tepatnya di lembah sebelah
timur gunung muria, menghampar ke arah barat dari pantai bulumanis yang landai
dengan kesuburan tanah yang cukup. Desa ini berdiri diketinggian sekitar 300 m dari
permukaan laut dengan hawanya yang sejuk penuh rindangnya berbagai tumbuhan dan
jernihnya mata air murni, yang dalam situasi tertentu kedalaman 1,5 meter sudah
memancarkan sumber air . Jarak 18 km dari kota pati kearah utara desa ini akan
kita jumpai, tepatnya di kecamatan Margoyoso. Dengan luas wilayah yang hanya
sekitar 63 hektar dengan penduduknya yang padat, menjadikan sebagian besar desa
ini berupa pekarangan yang ditanami ketela dan pohon kelapa seluas hampir 4
hektar yang berada sekitar rumah penduduk.
Kondisi ini
mengakibatkan penduduk desa kajen mesti memutar otak untuk mencari lahan
penghidupan, dengan tuntutan itu akhirnya mereka melakukan aktifitas ekonomi
dalam bidang, perdagangan, jual jasa, dan menjadi buruh tani dan pabrik tapioka
di desa seberang. Atau bagi sebagian penduduk yang memiliki kapital dan masih
ingin melakukan kerja di bidang pertanian berusaha menyewa sawah di desa
sekitar kajen atau membuka usaha pemenuhan kebutuhan para santri.
Saat ini ada 26
pesantren dan ribuan santri yang bertholabul ilmi di desa kajen, dagang dan
jual jasa menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, bahkan bisa dipastikan
disekitar setiap pesantren yang ada di kajen berdiri minimal, warung makan dan
toko kelontong. Dengan konsumen yang tetap dan berjumlah besar, warung
makan dan toko kelontong mengalami perkembangan yang pesat dan lebih dari cukup
untuk sekedar menopang kebutuhan hidup sehari-hari.
Ditengah desa kajen,
berdiri sebuah bangunan sebagai pusat administrasi pemerintahan desa atau balai
desa, letaknya tepat disebelah selatan masjid besar desa kajen dan arah timur
makam syech Ahmad Mutamakkin, tokoh religius desa kajen yang dikeramatkan
dan menjadi cikal bakal adanya desa ini. Meski setiap harinya tidak
begitu difungsikan, balai desa saban tahunnya pada bulan muharrom tgl 10
menjadi pusat informasi dan kegiatan masyarakat, yaitu ritual yang
ditungu-tunggu setiap warga desa dan menjadi agenda rutin tahunan, haul syech
Ahmad Mutamakkin.
Kegiatan administrasi
desa tidak efektif dan cenderung vakum kecuali pada momen-momen tertentu,
hal ini dikarenakan oleh kondisi desa kajen, sebagai sebuah pedesaan kajen
tidak memiliki bengkok atau bondo desa, akhirnya pamong desa hanya digaji
sekedarnya dengan jumlah yang sangat minim, hal ini menjadikan jabatan itu
sekedar kerja sambilan bagi orang yang mendudukinya, sehingga warga kurang
berminat untuk menjadi pamong desa. Kalau tidak lowong, pernah carik mesti
merangkap menjadi pejabat sementara lurah desa mulai tahun 1986 sampai pada
tahun 1998 dan baru pada akhir tahun itu diadakan pemilihan lurah.
Selain karena faktor
sejarah, desa kajen pernah menjadi tanah perdikan, tidak efektifnya struktur
dan kinerja administrasi desa menjadikan pengaruh kekuasaan pemerintah pusat
sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Meskipun pendapatan desa hanya
bertumpu pada pemasukan peringatan khaul syeh Ahmad Mutamaakin setiap 10
muharrom pada tiap tahunnya, kemakmuran dan kemajuan desa ini melebihi
desa-desa sekitarnya.
Keberadaan pesantren
sebagai pusat studi keislaman dan da’wah menjadikan kajen identik dengan
sebutan “Kampung santri”, keunikan ini terlihat setiap hari terutama pada pagi
dan sore hari berbondong-bondong para santri menyebar menyusuri jalan desa
menuju tempat-tempat pendidikan. Setiap saat hampir diseluruh pelosok desa akan
mudah ditemui sosok santri yang populer dengan sebutan kaum sarungan ini.
Kemanapun mereka pergi dan berada di wilayah ini dapat dipastikan mengenakan
sarung dan peci sebagai sebuah identitas yang melekat pada dirinya. Seakan ada
semacam tuntutan yang menjadikan mereka harus menggunakannya dan ada perasaan
malu dan bersalah ketika tidak memakainya.
Di waktu gelap dalam
keremangan malam yang khusuk terdengar sayup menghampiri gendang telinga setiap
penghuninya, suara-suara merdu yang mengalunkan lantunan melafalkan kalam
ilahi, apalagi setiap malam jum’at disebuah bangunan yang berada ditengah
Desa berbondong-bondong santri dan masyarakat sekitar datang untuk membaca
yasin dan tahlil bermunajad dan wasilah dimakam Syech Ahmad Mutamakkin,
tokoh perintis Desa yang dianggap masyarakat sekitar sebagai seorang kekasih
Allah (Waliyullah).
Ritual ini tidak
hanya bernilai religius dan ilahiah, karena sekarang keberadaan Makam selain
menjadi pusat ibadah dan kegiatan keagamaan bagi santri dan masyarakat setempat
juga mendatangkan rezeki dengan berjalannya kegiatan ekonomi di sekitar
Makam. Berderet bangunan permanen yang menyediakan berbagai kebutuhan dan
souvenir bagi para peziarah, mulai dari penjual makanan dan minuman sampai
penjual buku, peci dan keperluan komunikasi dengan adanya wartel. Perkembangan
ini mendatangkan berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar kajen, mereka dapat
menggantungkan rezeki dari para peziarah yang datang setiap hari dan mulai
ramai di malam jum’at.
Keramaian itu meningkat
dan mencapai puncaknya setiap malam 10 syuro dengan diperingatinya Haul Syech
Ahmad Mutamakkin, ritual ini sudah menjadi agenda tahunan dan ceremonial bagi
masyarakat wilayah ini dan sekitarnya, bahkan peziarah setiap tahunnya terus
meningkat dari berbagai penjuru Indonesia. Ritual ini diisi dengan
berbagai agenda kegiatan oleh panitia, yang dimulai pada tanggal 8 Syuro pada
jam 20.00 WIS dengan pembacaan Burdah (pembacaan syair-syair yang berisi tareh
Nabi Muhammad S.A.W), dilanjutkan pada tanggal 9 Syuro pada jam yang sama
Tahlil Muqoddimah untuk umum dengan mendo’akan para leluhur dan
nenek moyang dan pagi harinya diteruskan dengan ritual yang ditunggu-tunggu
oleh banyak pihak yaitu acara buka selambu dan acara pelelangan. Dan pada
tanggal 10 Syuronya pada jam 19.00 WIS diisi dengan acara Tahtimul Qur’an bin
Nadlor (Khataman Al-Quran dengan membaca Kitabnya) diteruskan dengan Tahlil
Haul pda jam 20.00 WIS baru pada malam berikutnya tanggal 11 Syuro ritual acara
ditutup dengan manaqib pada jam 19.30 WIS.
Dari sekian agenda
yang dilangsungkan setiap tahunnya yang menjadi puncak dan acara yang selalu
dinanti-nantikan adalah buka kelambu yang dilanjutkan pelelangan, acara ini
menjadi perhatian banyak pihak mulai dari para santri, tokoh-tokoh kiai, masyarakat
setempat dan sekitar daerah Pati, bagi yang berminat mengikuti acara ini mesti
rela untuk datang pagi-pagi sekitar jam 06.00 WIS, karena satu jam menjelang
acara yang dimulai pukul 08.00 WIS tempat acara yang dilangsungkan di serambi
makam Syech Ahmad Mutamakkin bagian timur telah padat penuh sesak para
pengunjung. Acara ini pada intinya adalah mengganti berbagai kain yang
digunakan untuk menutupi dan menghiasi Makam Syech Ahmad Mutamakkin, mulai dari
layar yang menutupi kaca Makam bagian dalam sampai pada kain mori yang
digunakan untuk penutup “patok”, kegiatan ini menarik, karena layaknya sebuah
kain harga yang di tawar dalam lelang melebihi harga yang semestinya, hal ini
wajar bagi masyarakat sekitar, karena acara ini diadakan setahun sekali selain
kain itu merupakan kain yang digunakan menutup dan menghiasi Makam orang suci,
bagi kepercayaan masyarakat kain tersebut mengandung tuah dan akan
mendapatkan berkah bagi orang yang memakainya.
Selesai pelelangan
ada acara yang telah menjadi adat dan tergolong unik, yaitu diadakannya makan
bersama antara masyarakat umum, santri dan para tokoh kiai setempat di dalam
satu “tapsi” atau nampan, mereka dibiarkan berebut tempat untuk membaur
bersama. Hal ini menunjukkan bersatu dan padunya antara masyarakat dan para
tokoh kiai setempat, dan begitulah semestinya antara pemimpin dan yang
dipimpin. Pernah ada sebuah kejadian yang diceritakan oleh seorang kiai muda
Desa Kajen yang pada saat itu melarang masyarakat yang ikut nimbrung dengan
Mbah Abdullah Salam (Mbah Dullah) dengan memukul tangannya ketika akan mulai
makan bersama, karena mendahului Mbah Dullah. Selesai acara kiai muda tersebut
di panggil Mbah Dullah dan dikasih wejangan “ jangan ulangi kelakuan seperti
tadi, karena sebenarnya Mbah Mutamakkin adalah seorang pemimpin yang merakyat,
mencintai dan dicintai rakyatnya, bahkan wasilah kepada beliau dari rumah saja
akan sampai tanpa harus datang kemakamnya” begitu pesan Mbah Dulllah kepada
kiai muda itu.
Dalam acara ritual
tahunan ini masyarakat dan santri juga mengadakan berbagai event untuk
memeriahkannya, seperti kirab dan karnaval yang diikuti oleh semua RT yang ada
di Desa Kajen, dalam kirab yang menjadi acara favorit adalah dengan hadirnya
berbagai grup Drum Band dan Maching Band yang sengaja di datangkan dari
berbagai wilayah di sekitar Pati, selain itu ada acara rutin tahunan yang
menarik di lakukan oleh HSM (Himpunan Siswa Mathali’ul Falah) yaitu bursa buku,
bursa buku ini menghadirkan terbitan buku dari berbagai penerbit mulai dari
Surabaya, Semarang dan yogyakarta.
Ribuan pengunjung
yang datang menghadiri acara haul Mbah Mutamakkin, hampir selama satu minggu
sebelum dan sesudah puncak acara, desa kajen telah ramai dari para pedagang dan
pengunjung yang sengaja datang untuk ikut serta mengais rezeki dari
barokahnya Waliyullah ini. Dua hari setelah dan sesudahnya tanggal 9 Syuro,
kepadatan pengunjung mencapai klimaksnya, pertigaan Desa Ngemplak sampai
pertigaan Desa Bulumanis penuh oleh lautan manusia, dapat dipastikan disaat
seperti ini mobil sulit untuk melintas, apalagi memasuki area sekitar Makam,
mereka mesti rela untuk berjalan kaki dari radius sekitar 1 Km dari Makam.
Situasi ini
dimanfaatkan oleh sebagian penduduk yang mempunyai pekarangan sepanjang jalan keramaian,
kereka mematok harga yang lumayan untuk sewa para pedagang, masih lagi
kendaraan para pengunjung yang di parkir di tempat penitipan sepeda. Sampai
sekarang belum ada yang pernah melakukan penelitian berapa jumlah rupiah yang
berputar di Desa ini selama pelaksanaan haul Mbah Mutamakkin, namun jika
dilihat dari puluhanan atau mungkin bahkan sampai ratusan kios yang berada di
sepanjang jalan memasuki desa kajen dapat diperkirakan puluhan juta uang yang
berputar mungkin bisa mencapai ratusan juta. Acara seremonial haul ini telah
menjadi agenda tahunan dan salah satu ciri khas yang menjadi daya tarik desa
Kajen dan selalu diadakan setiap tahunnya yang terus mengalami perkembangan.
Sejarah dan Pengaruh
KH. Ahmad Mutamakkin
Sejarah awal mula
datangnya Islam dan cara penyebarannya di Indonesia banyak versi dan dari
beberapa teori yang muncul mempunyai dasar dan sudut pandang yang berbeda.
Perbedaan pendapat diantara para ahli tersebut berkisar pada, kapan datangnya,
siapa yang menyebarkannya dan melalui jalur mana serta dengan cara seperti apa,
hingga pada motif pertanyaan mengapa Islam dapat menjadi pandangan mayoritas
masyarakat Indonesia dengan berbagai aliran dan varian golongannya.
Sampai saat ini
perdebatan para ahli sejarah tentang awal mula datangnya Islam di
Indonesia masih terus berlanjut, dan perdebatan itu semakin seru ketika
beberapa waktu yang lalu dalam tesisnya saudara Sumanto Al-Qurtuby memaklumkan
sebuah teori baru tentang datangnya Islam di Indonesia, buku yang cukup
kontroversial yang berjudul “Arus. Cina –Jawa-Islam” dengan tegas
menyatakan bahwa Islam datang pertama kali bukan dari Parsi, Gujarat
apalagi langsung dari Arab melainkan dari daerah yang selama ini menjadi momok
sosial-ekonomi bagi segenap masyarakat jawa, yaitu Cina.
Lepas dari apakah
tesis itu benar atau salah, perdebatan ini memberikan pelajaran tersendiri bagi
umat Islam, bahwa Islam tanpa perlu dilihat dari mana asal datangnya yang
lebih penting ajaran dan nilai-nilainya telah membaur dan menjadi pandangan hidup
sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin yang lebih menarik diteliti lebih
jauh mengapa Islam bisa diterima oleh bangsa kita melebihi agama yang lain
bahkan melampaui tradisi lama yang telah sekian abad menjadi keyakinan
masyarakat.
Namun demikian para ahli
secara umum berpendapat, penyebaran Islam di Indonesia terjadi secara
berangsur-angsur, bersifat variatif dan berlangsung dalam kurun waktu yang
lama. Batu nisan di leran Gresik memberi petunjuk kemungkinan telah ada
komunitas Islam yang berkembang di daerah itu pada sekitar tahun 475 Hijriah
(1082 M). Sementara marcopolo dalam catatannya sempat singgah 5 bulan di daerah
Sumatra pada tahun 1292 M, dia menceritakan adanya kota pelabuhan Islam perlak
yang telah ramai pada waktu itu, baru pada tahap selanjutnya melalui jalur
perdagangan ke seluruh penjuru Nusantara Islam menyebar pada sekitar abad
ke-XV-XVI.
Di Jawa Islam
menyebar dan berkembang seiring dengan kehadiran para pendatang dari gujarat
dan cina melalui jalur perdagangan sekitar abad XV, namun H.J De Graaf dan TH.
Pigeaud dalam bukunya kerajaan Islam pertama di jawa mensinyalir besar
kemungkinan pada abad XIII di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap
melalui jalur perdagangan laut yang menyusuri pantai timur sumatra lewat laut
Jawa yang sudah dilakukan sejak jaman dulu, sehingga mereka sempat singgah di
daerah pantai utara laut jawa, karena pesisir pantai utara sangat cocok sebagai
pusat pemukiman saat itu.
Penyebaran Islam di
Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kiprah perjalanan orang-orang suci
yang sangat legendaris dalam cerita lisan orang Jawa-Islam yang sangat populer
dengan sebutan Wali berjumlah sembilan atau walisongo. Meskipun terkenal
dengan sebutan walisongo diduga kemungkinan besar sebenarnya jumlah yang
sesungguhnya lebih dari itu, namun angka sembilan dalam mitologi Jawa
memiliki makna tersendiri, dan kesembilan wali yang populer dan diyakini
masyarakat sebagai penyebar Islam pertama di Jawa adalah: Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri,
Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati.
Kesembilan Wali
tersebut diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kemampuan linuih baik secara
fisik maupun spiritual, bahkan mereka dianggap mampu melakukan hal-hal yang
sulit untuk diterima secara akali, merubah pohon pinang jadi emas dan membuat
soko masjid dari pasahan kayu. Lepas dari perdebatan apakah cerita lisan itu
benar atau salah yang jelas para wali yang jumlahnya sembilan itu memilki
kemampuan lebih dalam arti yang rasional dan ilmiah yaitu mereka sebagai
pendatang yang berusaha merintis sebuah ajaran dan ideologi baru mampu
melakukan strategi yang jitu di dalam mencari celah-celah nilai antara tradisi
dan keyakinan lama (Hindu-Budha) dengan tradisi dan keyakinan baru ( Islam ) dengan
penuh kearifan dan kebijaksanaan, sehingga Islam sebagai nilai-nilai baru
dengan strategi yang mereka bangun bisa diterima, bahkan sekarang menjadi
ajaran mayoritas di indonesia.
Strategi dan taktik
inilah sebenarnya yang sekarang diwarisi oleh lembaga pendidikan yang namanya
pesantren, karena memang secara historis keberadaan pesantren tidak bisa
terlepas dari sejarah keberadaan para wali tersebut. Penjagaan harmoni
dan penghormatan terhadap nilai-nilai lama dan lokalitas sangat dijunjung tinggi
di dalam proses akulturasi dan integrasi yang mereka lakukan. Intitusionalisasi
pesantren merupakan perjuangan tahap lanjut dari pendekatan yang digunakan
walisongo dalam meng-Islamkan tanah Jawa, kesalehan sebagai jalan hidup,
pemahaman yang konkret dan utuh terhadap budaya lokal merupakan karakter yang
dimilki para santri yang dulu juga pernah doiakukan walisongo.
<
Perkembangan Islam di
Jawa nenemukan momentumnya ketika para Wali dapat berintegrasi dengan para
tokoh bangsawan Jawa saat itu, integrasi ini dilakuakn dengan berbagai cara
diantaranya melalui pendidikan, perkawinan dan puncaknya ketika walisongo
bersatu membangun masjid Demak dan menjadikannya sebagai pusat kerajaan Islam
pertama di Jawa Tengah pada paruh kedua abad XV, Demak cepat menjadi pusat
perdagangan dan lalu lintas serta sekaligus menjadi pusat ibadah bagi golongan
menengah Islam yang baru muncul.
Politik ekspansi
raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah
dan Timur, hal itu selalu dibarengi dengan dakwah agama, sebab semangat agama
raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam pada saat
itu.
Dalam sejarah
dimaklumi Raden Patah sebagai raja Demak yang pertama, diyakini dia adalah
keturunan raja kerajaan pra Islam majapahit yang terakhir yang dalam legenda
bernama Brawijaya, ibu raden Patah konon sorang putri keturunan Cina dari
keraton raja majapahit. Berturut-turut setelah kerajaan Demak dipegang oleh
raden Patah pada tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh pangeran Sabrang
Lor yang selanjutnya diteruskan oleh generagi ketiga yang bernama Trenggono,
keduanya merupakan putra dari raden Patah raja pertama Demak.
Demak sebagai ibu
kota kerajaan Islam menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa pertama abad
XVI untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa melalui berbagai ekspansi dan
ekspedisi militer, ke arah barat Hasanuddin putra syech Nurullah yang lebih
dikenal dengan gelar sunan gunungjati kelak kemudian diketahui sebagai raja
Islam pertama di banten, sementara ke arah timur bisa dilihat Jaka
Tingkir seorang prajurit yang mengabdi pada raja Demak dan menjadi menantunya
Trenggono raja Demak generasi ketiga menguasai pajang dan menjadi raja disana
yang setelah itu mengangkat pangeran Timur ( putra raja Demak ) sebagai bupati
di Madiun.
Perluasan daerah
melalui ekpansi dan ekspedisi ini menyebar ke berbagai arah penjuru Jawa sampai
ke Madura pada paruh pertama abad XVI.
Sementara itu
penyebaran Islam di daerah Jawa bagian Tengah terjadi seiring dengan
menyebarnya keturunan para raja demak ke berbagai daerah di Jawa Tengah,
seperti Jaka Tingkir istri putri Trenggono raja Demak ketiga menguasai Pajang,
Ratu putri Kalinyamat (ipar perempuan raja Pajang) memrintah di daerah Jepara
dan daerah Pati saat itu dikuasai dan diperintah di bawah seorang raja yang
bernama Ki Panjawi, teman seperjuangan Ki Gede Pamanahan dan Jaka Tingkir
(Sultan Hadiwijaya) ketika melawan Aryo Penangsang untuk menuntut balas matinya
saudara ipar Jaka Tingkir (suami Ratu Kalinyamat).
Diceritakan bahwa
raja Demak ketiga Sultan Trenggono (putra Brawijaya atau Raden Patah, raja
Demak pertama) telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir
(Sultan Hadiwijaya) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo (Raden
Hadiningrat) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo (Raden Sumohadinegoro)
yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.
Syech Ahmad
Mutamakkin adalah seorang tokoh lokal yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang
orang kajen dan sekitarnya, yang kelak kemudian hari menjadi motivator dan
inspirasi berdirinya pondok pesantren yang sekarang menjadi ciri khas desa
tersebut. Syech Mutamakkin bagi masyarakat di wilayah Pati diyakini sebagai
seorang Waliyullah yang memiliki kemampuan linuih baik dalam bidang spirituil
(keilmuan tentang Islam) maupun supranatural (karomah). Beliau dilahirkan di
Desa Cebolek, 10 Km dari kota Tuban, karenanaya beliau di kenal dengan sebutan
Mbah bolek di daerahnya. Sedangkan nama al-Mutamakkin merupakan nama gelar yang
didapatkan sepulang menuntut ilmu di Timur Tengah, yang berarti orang yang
meneguhkan hati atau diyakini akan kesuciannya.
Di desa asalnya itu
yang sekarang sudah berganti nama menjadi Desa Winong dapat dijumpai
penginggalannya berupa sebuah Masjid Kuno yang terletak di pinggir sungai yang
didalamnya masih tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat yang dipergunakan
beliau untuk menjemur peci/baldu ( masyarakat sekitar menyebutnya Klebut) dan
sebuah batu yang berbentuk asbak. Sementara keris pusaka Syech Ahmad Mutamakkin
diyakini oleh masyarakat sekitar masih berada di dalam pohon sawo kecik yang
berada di depan masjid itu. Kehidupan masyarakat yang damai dan tentram ini
adalah hasil perjuangan beliau dengan menyadarkan para penyamun dan penjahat
yang menguasai daerah itu sebelumnya.
Lazimnya orang yang
hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat
keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah
utara timur laut Desa kajen sekarang, sebagaimana yang menjadi kebiasaan para
pengembara pada waktu itu untuk menngembalikan suasana daerah asalnya sekaligus
untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, diberilah nama
daerah itu dengan “cebolek” seperti desa kelahiran beliau.
Di Desa barunya ini
Syech Ahmad Mutamakkin sempat bermukim beberapa saat sampai suatu ketika ada
kejadian mistik yang memberikan isyarat kepada beliau untuk menuju ke arah
barat, kejadian itu beliau alami setelah menunaikan sholat isya’ dengan
melihat cahaya yang terang berkilauan di arah barat, bagi mbah Mutamakkin hal
ini merupakan isyarat, dan pada esok harinya beliau menghampiri tempat dimana
cahaya pada malam hari itu mengarah. Disana beliau bertemu dengan seorang
laki-laki tua yang dalam cerita lokal diyakini sebagai orang pertama kajen yang
bernama Mbah Syamsuddin. Dalam pertemuan itu terjadi sebuah dialog yang
didalamnya ada penyerahan wilayah kajen dari Mbah Syamsuddin kepada Mbah
Mutamakkin untuk merawat dan mengelolanya. Makam mbah syamsuddin berada
disebelah barat makam Mbah Mutamakkin tepatnya di sebelah arah selatan
blumbang, yang sampai sekarang sering digunakan para santri untuk riyadloh dan
menghafalkan al-qur’an.
Dalam masa hidupnya
syech Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di
daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syech Muhammad Zayn al-yamani
yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat
berpengaruh di yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan syech
Mutamakkin berguru kepada Syech Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun
wafatnya ayah Syech Zayn ( Syech Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian
putranya ( Abdul Khaliq Ibn Zayn ) tahun 1740 jadi diperkirakan Syech Zayn
hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa Syech Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Menurut Zainul Milal
Bizawi, penulis buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan paham
Keagamaan Syech Ahmad Mutamakkin, Rihlah Ilmiah atau pengembaraan dalam
menuntut ilmu serta jaringan keilmuan Syech Mutamakkin tidak terlalu penting,
baginya yang lebih penting adalah tentang signifikansi dan sepak terjang beliau
dalam dinamika Islam di Jawa terutama tentang pilihannya dalam memakai serat
Dewaruci sebagai salah satu strategi dan metode dalam meyampaikan berbagai
ajarannya.
Dalam serat cebolek
diceritakan bahwa Syech Mutamakkin merupakan seorang tokoh yang mempunyai
pemikiran kontroversial, yang pada saat itu sedang hangatnya pergumulan dalam
pemikiran Islam antara Islam eksoteris yang berpegang teguh terhadap syari’at
dan Islam esoteris yang mempunyai kecenderungan terhadap nilai-nilai
substansial dalam Islam melalui ajaran ke-Sufian dan Tarekat. Syech Mutamakkin
mewakili kelompok kedua dalam pergulatan tersebut, dengan berbagai ajarannya
tentang ilmu hakekat yang dalam tasauf mengandaikan bersatunya antara kawula
dan Gusti. Ajaran ini mendapatkan tempat di sebagian besar hati
masyarakat saat itu karena memang mereka masih terbawa oleh budaya dan ajaran
lama (Hindu-Budha) yang dalam ajarannya identik dengan penerimaan terhadap
hal-hal yang berbau mistik.
Sebagai seorang
‘alim, diceritakan Mbah Mutamakkin sangat teguh dalam memegang prinsip dan
pendiriannya tentang Aqidah yang diajarkan dalam Islam, meskipun demikian
beliau juga senang mengikuti dan mencermati cerita dalam pewayangan, terutama
cerita yang menyangkut lakon Bima Suci atau Dewa Ruci, bahkan menurut penuturan
Milal dalam bukunya, saking senangnya beliau termasuk satu-satunya orang yang
fasih dan faham betul tentang alur dan penafsiran dalam cerita tersebut.,
karena memang bagi beliau cerita Bima Suci atau Dewa Ruci itu mengandung unsur
kesamaan seperti apa yang pernah dipelajarinya dalam ilmu tasauf ketika berguru
di Yaman pada syech Zain al-yamani.
Lazimnya seorang
sufi, Mbah Mutamakkin gemar melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan
peningkatan dalam meningkatkan kedekatan dan ketaqwaan kepada sang Khaliq
(Riyadloh), ritual ini biasanya beliau lakukan dengan melatih menahan dan
mengurangi kegiatan makan, minum dan tidur, dalam rangka pengekangan hawa
nafsu. Suatu ketika Mbah Mutamakkin melakukan riyadloh dengan puasa
selama 40 hari. Pada hari terakhir riyadloh, sangi istri diminta untuk
memasak yang enak dan lezat setelah itu disuruh untuk mengikat beliau, agar
dapat mengalahkan hawa nafsunya. Namun sebagain versi lain mengatakan bahwa
kejadian ini (pengikatan) hanya sebagai simbol pertarungan beliau dengan hawa
nafsunya, yang akhirnya keluar dari dalam dirinya dua ekor anjing yang dengan
lahapnya langsung menghabiskan hidangan yang telah disajikan oleh istrinya. Dua
anjing tersebut lalu diberi nama oleh beliau Abdul Qohar dan Qomaruddin yang
kebetulan menyamai nama penghulu dan khotib Tuban, pemberian nama ini bagi
sebagian masyarakat yang anti terhadap beliau dianggap sebagai penghinaan atau
bahkan sebagai sebuah kritik terhadap para penguasa saat itu, namun menurut H.M
Imam Sanusi pemberian nama itu mengandung arti dan perlambang bagi Mbah
Mutamakkin sendiri, yaitu hamba Allah yang mampu memerangi hawa nafsunya.
Mbah Mutamakkin
adalah sosok seorang ‘alim yang terbuka, berani, apa adanya dan suka bercanda
dan menguji seseorang, sikap dan sifat tersebut pernah membuat seorang
musafir merasa terhina karena ketika bertamu di rumah beliau tersinggung
oleh perkataan yang dilontarkan Mbah Mutamakkin pada saat menjamu makan nasi
berkat (satu porsi nasi dari kenduren) yang dihabiskan sampai bersih, dikatakan
oleh beliau bahwa anjingnya saja tidak suka makan ikan kering, apalagi
sampai habis seperti itu. Karena tamu tersebut tidak terima dengan perkataan
Mbah Mutamakkin yang dianggapnya sebagai sebuah penghinaan, akhirnya tamu itu
membuat selebaran dan diedarkan kepada para ulama yang berisi tentang kehidupan
Mbah Mutamakkin yang memelihara anjing dan suka melihat dan mendengarkan
wayang, padahal bagi masyarakat Islam hal itu dianggap melanggar
peraturan hukum Islam. Karena kejadian itu akhirnya Mbah Mutamakkin sempat
disidangkan di keraton surakarta dengan penuntut seorang ‘alim dari kudus
yang bernama katib anom untuk dihukum mati dengan dibakar, namun yang terjadi
bukan hukuman malah sebaliknya beliau dibebaskan tanpa syarat dan berhasil
kembali ke Kajen untuk meneruskan perjuangan atas apa yang menjadi
keyakinannya.
Banyak versi baik
yang tertulis maupun yang masih beredar dalam keyakinan masyarakat Kajen yang
menceritakan tentang sejarah kehidupan Mbah Mutamakkin, dan dari kedua versi
yang berkembang saling bertolak belakang sesuai dengan sudut pandang
masing-masing, versi yang ditulis oleh penguasa saat itu yang lebih dikenal
dengan “serat cebolek” menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang pembangkang
dan penganjur aliran sesat yang kurang mampu dan memahami bidang agama
sementara versi yang diyakini masyarakat Kajen dan ditulis oleh salah satu
pengikut dan keturunannya berdasarkan “lokal historis” masyarakat sekitar
Kajen menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang yang ‘alim dan suci
sebagi penganjur agama Islam di daerah itu bahkan beliau menempati posisi
tertinggi dalam struktur keyakinan masyarakat Islam sebagai seorang waliyullah,
demikian juga yang disimpulkan dalam bukunya “Memelihara Umat” Pradjarta
menyatakan bahwa Mbah Mutamakkin adalah seorang perintis pertama dan penyebar
agama Islam di daerah Tayu dan sekitarnya.
Wallahu a’lam, lepas
dari perdebatan berbagai versi yang ada mana yangdianggap benar. Namun satu
yang pasti dan dapat dibuktikan bahwa Mbah Mutamakkin berhasil lolos dari
tuntutan atas kematiannya dan di masyarakatnya sampai sekarang tetap diyakini
sebagai seorang wali yang memilki berbagai kemampuan linuih dan karomah. Bahkan
kehadirannya di desa kajen telah menjadi pioner dan perintis dari berdirinya
pesantren dan penyebaran agama Islam di wilayahnya, ini merupakan bukti nyata
bahwa beliau diterima dan dipercaya oleh masyarakatnya, dan sejarah adalah
bukti yang paling real atas sebuah peristiwa yang terjadi.
Perjuangan dan ajaran
beliau sampai sekarang masih diyakini dan dipegang teguh oleh keturunan dan
para pengikutnya, pengaruh beliau masih dapat dirasakan sampai sekarang,
layaknya sebagai tanah perdikan pada zaman itu yang dibebaskan dari pembayaran
pajak, Kajen sekarang adalah tanah pendidikan yang menjadi alternatif dari
bentuk pendidikan nasional yang ada, kajen dengan daya tarik dan berbagai
kelebihannya ingin menyampaikan bahwa sejarah independensinya sebagai tanah
perdikan tidak sekedar mandiri dalam arti sempit yang mengelola kehidupannya
sendiri namun lebih dari itu Kajen adalah sebuah desa yang senantiasa mengikuti
perkembangan yang terjadi tanpa menghilangkan nilai lokalitas yang dimilkinya,
pembangunan bukan berarti merubah segala sesuatu dengan menghancurkan yang
lama,tapi pembangunan adalah suatu usaha untuk memahami jati diri dan
potensinya yang disesuaikan dengan kebutuhan demi kemaslahatan dan kebahagiaan
baik di dunia maupun akhirat. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pesantren di
desa kajen yang mencapai 26 dan sekitar 5 madrasah yang semuanya dikelola dan
dikembangkan oleh keturunan sang pejuang dan penganjur nilai-nilai luhur dan
keislaman, Mbah Mutamakkin.
Genealogi Pesantren
Pesantren Kajen
Pesantren adalah
suatu bentuk pendidikan ke-Islaman klasik-tradisional yang masih memegang teguh
dalam mendalami dan memahami ajaran intelektualitas Islam sejak zaman
nabi hingga masa kejayaan Imam empat: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan hambali.
Secara etimologis pesantren terdiri dari kata asal “santri” yang mendapat
awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pesantren” yang menunjukkan sebuah
tempat, dimana para santri mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam dan
kehidupan. Pesantren terdiri dari minimal; pondok/kamar/asrama berbentuk
bangunan sederhana, Mushola atau masjid sebagai tempat untuk pengajian atau
pengajaran, rumah seorang kiai yang secara total dan penuh selalu memperhatikan
perkembangan para santri dalam menuntut ilmu dan tentunya santri serta tradisi
kehidupannya yang unik dan khas.
Dalam pesantren ada
sebuah sistem yang rigid dan baku, semuanya saling terkait yang mengental
menjadi sebuah tradisi yang dimiliki oleh santri dan menjelma dalam karakter
pribadinya, sehingga seringkali santri mendapat “stigma” atau julukan yang khas
dan menarik, baik itu menyangkut cara hidup, pola pikir dan perilakunya.
Berbeda dengan sebuah lembaga yang meng-asramakan peserta didiknya, pesantren
tidak hanya menjadi sebuah tempat tidur atau istirahat saja, lebih dari itu
dengan sistem dan metodenya dalam pesantren terjadi sebuah proses pendidikan
yang khas dan unik di dalam membentuk sebuah karakter peserta didiknya melalui
internalisasi keilmuan dalam perilaku sehari-hari yang dikontrol dan diawasi
selama 24 jam melalui berbagai aktifitas dan program kegiatan pendidikannya.
Dalam banyak hal
pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan sekaligus sosial kemasyarakatan
menjadi suatu wilayah yang sangat menarik untuk dikaji terutama peranan dan
kemampuannya dalam melakukan proses transformasi pengetahuan, serta menjaga
akar historositas pendidikan yang dikembangkannya. Terbukti bahwa sampai saat
ini pesantren tetap survive terhadap terpaan badai kapitalisme global dengan
segala kompleksitas nilai dan budaya yang turut serta di dalamnya, bahkan
pesantren mampu menjadi counter of cultur dan alternatif value ditengah arus
pergerakan sosial yang terus berkembang dengan nilai dan budayanya yang khas
dan indegeneous.
Pesantren memiliki
daya saing dan tawar yang cukup tinggi dalam kancah pertempuran nilai dan
budaya di dalam kehidupan masyarakat tersebut. Melalui konsep dan teori yang
dimilikinya, al-mukhafadzatu ala al-khodimi al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadidi
al-aslah, yaitu dengan mempertahankan setiap niali lama yang masih relevan dan
baik serta mengganti dengan sesuatu yang baru yang bermanfaat dan mendatangkan
kemaslahatan, pesantren dengan alamiah dan bijak melakukan proses perubahannya
sendiri. Konsep ini diambil dan dilaksanakan pesantren dengan metode spiral,
berputar dan berproses dengan pelan namun pasti menuju sebuah perubahan yang
lebih baik dengan mempertimbangkan segala aspek yang melingkupinya baik yang
bernilai duniawiyah maupun ukhrowiyah. Sebagaimana yang pernah ditulis sindhunata
dalam bukunya “Dilema
Manusia Rasional”, tentang pendapat Horkheimer bahwa ada dua
teori yang bersifat emansipatoris yaitu teori tradisional dan kritis.
Dalam hal ini pesantren dengan segala aspek dan cirinya yang khas dapat
dikategorikan sebagai sebuah lembaga yang mempunyai sifat emansipatoris yaitu
masuk dalam teori pertama dengan tradisi yang dimilikinya.
Metode tersebut
sengaja diambil untuk menandingi dan menolak konsep yang ditawarkan oleh barat
dengan modernisme dan globalisasinya yang cenderung linier, berjalan lurus
tanpa banyak mempertimbangkan berbagai faktor yang melingkupinya, sehingga
dapat dilihat bahwa proses modernisasi dengan berbagai kelebihannya telah
dengan sengaja menyisakan banyak faktor negatif seperti sekulerisme dan budaya
hedonisme yang cenderung melupakan Tuhan dan perilaku amoral serta
kerancuan sosial.
Pesantren sebagai
basis pengkaderan umat Islam tetap memiliki daya tarik tersendiri karena ia
masih tetap konsisten dengan tugas dan fungsinya menyadarkan masyarakat secara
terus-menerus dalam rangka amal ma’ruf nahi munkar untuk menyelamatkan umat
manusia dari kealpaan akan eksistensi dan tujuan hidupnya sehingga akan
terhindar dari kesesatan dunia dan siksaan akhirat. Lebih dari itu pesantren
terus melakukan pembenahan dan membuka diri untuk mengkaji teks-teks klasik
serta juga senantiasa membaca tanda-tanda zaman mutakhir yang semakin menggila
dan cenderung menenggelamkan kesadaran kritis masyarakat.
Mengapa pesantren
demikian terlihat kuat dan setia pada garis perjuangan dan keyakinannya serta
mempertahankan identitas budaya ke-Islamannya, karena pesantren secara utuh dan
sadar masih tetap mendalami dan menyerap warisan budaya klasik yang pernah
membentuk peradaban dunia yang sangat canggih. Di bidang perkembangan pemikiran
dan intelektual misalnya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya yang masyur dan
telah dikonsumsi oleh barat merupakan cermin bahwa Islam sebenarnya menjadi
entitas dan sumber pengetahuan serta budaya yang tidak akan pernah kering,
banyak sekali bukti bahwa kemajuan barat saat ini tidak terlepas dari sumbangan
pemikiran dan ide besar para pemikir Islam saat itu.
Sosialisme telah
hancur sementara saat ini kapitalisme dengan teori besarnya tentang liberalisme
dan globalisasi dicaci dan dimaki karena memang banyak melahirkan persoalan
baru di berbagai lini kehidupan, mulai dari sosial-politik, ekonomi dan
yang paling parah persoalan moral-etis. Masyarakat dunia saat ini seakan gamang
dan tidak mampu mengendalikan kehidupannya sendiri, sehingga nalar kehidupan
yang mestinya dapat dikontrol dan diselaraskan dengan kepentingan dan kebutuhan
manusia demi kemaslahatan dan kebahagiaan seakan sirna seiring gencarnya arus
kapitalisme yang semakin menggila. Keamanan dan perdamaian dunia terus terancam
dengan manuver dan kinerja yang dilakukan para agen kapitalis, negara dunia
ketiga semakin terpuruk dan sulit untuk bangkit, baik itu disebabkan oleh
kelemahannya sendiri maupun sengaja dibuat lemah agar mudah dikendalikan dan
diarahkan demi kepentingan mereka.
Pesantren dengan
segenap tradisinya yang mendasarkan pada nilai-nilai yang digagas oleh Islam
memiliki kemampuan “survival” dan itu telah terbukti hingga saat ini, pesantren
dalam sejarah keberadaannya dalam proses ada dan meng”ada”nya selalu
menempatkan kesadaran ktitis dan emansipatoris didalam melaksanakan tujuan
hidup dan kehidupan disekitar dirinya. Kalau dilihat dari kacamata nasional,
pesantren adalah salah satu aset bangsa Indonesia yang indegeneous dan bersifat
lokal yang kalau dilihat dalam waktu kedepan dengan berbagai aset dan ciri yang
selama ini dimilikinya mempunyai potensi yang cukup besar untuk ikut serta
didalam proses “kebangkitan” bangsa yang saat ini sedang terpuruk.
Secara ekonomi
pesantren merupakan lembaga yang mandiri dan mampu mebiayai dirinya sendiri
tanpa menggantungkan proses pembangunan yang selama ini berlangsung, bahkan
dalam kasus dan tahap tertentu pesantren mampu ikut serta berkiprah didalam
pembangunan masyarakat melalui berbagai program dan konsen yang dimilikinya.
Dalam bidang politik dan sosial, tidak mungkin bisa dipungkiri oleh semua pihak
bahwa pesantren ikut serta dalam proses berdirinya bangsa ini, bahkan dalam
setiap fase yang dilalui oleh bangsa ini pesantren selalu ikut andil dalam
perjuangannya, baik secara fisik maupun pemikiran.
Dengan demikian dapat
difahami bahwa pesantren sebenarnya memilki konsen terhadap keberlangsungan
keilmuan dengan memperhatikan dan memahami masa lalu untuk kehidupan masa kini
dan mendatang dengan semangat perennialisnya sebagai agama yang rahmatan lil
al-alamin, yang diamalkan secara utuh, universal dan inklusif. Kematangan
sebuah peradaban juga pengetahuan terlihat pada seberapa jauh kesadarannya akan
akar-akar warisan klasik yang ia miliki. Makin dalam kesadaran akan hal itu
maka semakin dalam pula ketangguhan dan kematangannya.
Intelektualitas dan
nalar pesantren terbentuk dengan berbagai nilai budaya dan ciri khasnya,
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak dengan sendirinya dan serta
merta terbentuk begitu saja. Ia memiliki jaringan intelektual atau sanad serta
silsilah yang sangat panjang mulai kepada orang nomor satu dalam dunia Islam di
Nusantara ( walisongo ) bahkan hingga kepada Muhammad sang Nabi akhirul
al-zaman. Hal itu tentu erat kaitannya dengan penyebaran Islam pertama di jawa
sekaligus penjagaan pelestariannya sebagaimana pernah disampaikan oleh
Zamakhsyari Dhofier bahwa pesantren secara alamiah telah melakukan
berbagai usaha untuk melestarikan keberlangsungan hidupnya dengan melakukan
berbagai upaya diantaranya, mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan
endogamous antara keluarga kiai dan mengembangkan tradisi transmisi
pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kiai dan
keluarganya.
Demikian juga keberlangsungan
dan perkembangan pesantren yang ada di desa kajen tidak terlepas dari usaha
tersebut, hal ini dilakukan dalam rangka pelestarian dan strategi penjagaan
terhadap masa depan dan eksistensi pesantren itu sendiri, terbukti dengan
perkembangan pesantren yang terjadi di desa Kajen masih berputar pada garis
kekerabatan dari satu sanad keturunan. Mbah Mutamakkin sebagai penyebar Islam
di wilayah ini sekaligus perintis berdirinya berbagai pesantren yang ada sejak
awal telah melakukan kerja-kerja tersebut.
Jalinan dan jaringan
kekeluargaan yang dibanguan pesantren melalui perkawinan merupakan usaha sadar
dan sitematis untuk meneruskan garis perjuangan dalam Islam, seperti yang dulu
pernah dilakukan oleh para bangsawan kerajaan guna melanggengkan keturunan dan
kekuasaannya, bedanya kalau usaha yang dilakukan pesantren saat ini dalam
rangka menjaga kelestarian dan keberlangsungan pesantren dalam wilayah tradisi
dan warisan intelektual-keilmuan sementara para bangsawan dulu dalam kerangka
politis dan mempertahankan jaring kekuasaannya. Dalam proses evolusi usaha yang
dilakukan oleh keduanya merupakan sebuah langkah yang rasional dan bisa dinggap
wajar, karena bagaimanapun juga salah satu tujuan dari hidup ini adalah
bertahan untuk tetap eksis, apalagi jika semua itu berdiri diatas niatan suci
memperjuangkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya.
Menyoal sejarah
perkembangan pesantren kajen tidak mungkin melepaskan dari sejarah kehidupan
Mbah Mutamakkin, sebagai penyeru dan penganjur Islam pertama di wilayah
tersebut. Pada mulanya melalui perjuangan dan gerakan sosial yang beliau
lakukan akhirnya mulai dilakukanlah kerja-kerja intelektual, sebagaimana yang
dulu juga pernah dilakukan oleh nabi besar Muhammad S.A.W ketika pertama kali
meperkenalkan ajaran Islam sebagai nilai baru di masyarakat, begitupun Mbah
Mutamakkin dengan mengajar orang-orang terdekatnya, diantara murid beliau yang
terkenal dan mampu memberikan pencerahan dan ikut serta melakukan perubahan
sosial di daerahnya kebanyakan masih kerabat dekat beliau yaitu: R.
Ronggo Kusumo keponakan beliau dari K. Ageng Mruwut, di daerah Ngemplak desa
sebelah barat daya desa Kajen R. Ronggo Kusumo dianggap sebagai seorang wali
dan pahlawan bagi masyarakatnya, beliau dikenal sebagai bangsawan dan ulama’
yang mencintai dan memperjuangkan nasib rakyat kecil, dalam setiap dakwah yang
dilakukan dalam rangka penyebaran Islam saat itu beliau selalu menggunakan
pendekatan dan strategi peningkatan ekonomi kerakyatan sehingga masyarakat
sangat respek terhadap ajaran yang beliau sampaikan. Konon pada saat itu beliau
secara dor to dor mengetuk hati para agniya’ (orang kaya) untuk mengeluarkan
sebagaian hartanya guna diberikan kepada yang berhak, para fakir miskin. Dengan
type perjuangan yang beliau lakukan lambat laun banyak diantara para agniya’
tersebut yang dengan sadar dan sukarela mendermakan sebagian harta miliknya.
Sekarang dapat disaksikan secara ekonomi masyarakat ngemplak tergolong lebih
dari cukup dengan pabrik tapiokanya.
Murid Mbah Mutamakkin
yang juga menjadi pioner dan perintis Islam didaerahnya adalah K. Mizan, beliau
adalah keponakan Mbah Mutamakkin dari saudaranya yang bernama K.H. Abdullah
yang berdomisili di Ngampel-Blora, nama Mizan diambil dari istilah timbangan
karena beliau termasuk salah satu murid yang cerdas dan mampu memberikan
imbangan kepada mbah Mutamakkin, hingga pada suatu ketika beliau diuji untuk
mengambil air menggunakan keranjang, namun ajaibnya tak setetespun air yang
tumpah melalui lubang anyamannya, akhirnya karena dipandang sudah mampu dan
saatnya untuk ditugaskan maka K. Mizan diperintahkan untuk merintis perjuangan
didaerah sebelah utara desa kajen yang sekarang terkenal dengan sebutan
margotuhu (karena ketaatan) yang diambil dari peristiwa tersebut karena beliau
sangat ta’dzim dan tanpa banyak protes melaksanakan perintah mbah Mutamakkin.
Pada masa ini bentuk
pesantren belum terlihat jelas dan sistematis seperti sekarang ini, pengajian
dan pengajaran Islam masih dilakukan di masjid dengan sangat sederhana, baru
pada sekitar abad XIX, generasi ketiga Mbah mutamakkin yaitu seorang murid
terpandainya yang diambil menantu beliau bernama K. Ismail mendirikan pesantren
yang diyakini sebagai pesantren pertama di Kajen tepatnya di daerah selatan
Masjid Kajen yang pada saat itu lebih dikenal dengan nama pondok pesantren
tengah (sekarang bernama Pesantren Raudlatul ‘Ulum). pemberian nama saat itu
diukur dari keberadaannya karena memang berada ditengah-tengah desa kajen, dan
untuk selanjutnya makam kanjengan (Mbah Mutamakkin) dijadikan barometer dengan
melihat tembok (banon) makam kanjengan.
Setelah itu di kajen
mulai bermunculan berbagai pesantren dengan melakukan perbaikan dan
penyempurnaan, seperti yang dilakukan oleh salah satu cucu Mbah Mutamakkin yang
bernama K.H. Nawawi putra K.H Abdullah dengan memprakarsai berdirinya pondok
kulon banon (berada di arah barat tembok makam kanjengan) yang sekarang telah
berkembang pesat dengan nama TPII (taman pendidikan Islam Indonesia). Setelah
itu sekitar dua taun berselang di daerah wetan banon berdiri sebuah pesantren
yang diprakarsai oleh KH. Siroj putra K.H Ishaq yang kemudian hari terkenal
dengan sebutan salafiyah.
Pendirian pesantren
oleh keturunan Mbah Mutamakkin baru disusul sekitar tahun 1910 di daerah kajen
paling barat bersebrangan dengan desa Ngemplak yang bernama pol garut
berdirilah pesantren yang diberinama sesuai dengan daerahnya yaitu polgarut,
yang dipimpin oleh K.H. Abdussalam dan putranya K.H Mahfudh yang pada
perkembangannya menjadi dua pesantren dengan berdirinya pesantren yang dikelola
oleh K.H. Mahfud dengan nama Maslakul Huda dan pesantren yang lama bernama
Matholi’ul Huda yang kemudian diasuh oleh Mbah Abdullah Zein Kakak K.H.
Mahfudh. Maslakul Huda berdiri setelah K.H. Maffudh pulang dari pengembaraan
intelektualnya dan dilanjutkan oleh adiknya K.H. Aly Mukhtar yang selanjutnya
dikembangkan oleh K. HMA. Sahal Mahfudh hingga sekarang.
Keempat pondok diatas
dalam perkembangan dan sejarah pesantren yang saat ini ada di Kajen menjadi
barometer dan titik-titik pusat intelektual dan merupakan tipologi yang khas
dari ciri pesantren yang ada. lazimnya sebuah pesantren yang memiliki daya
juang dan kembangnya yang sangat independent, keempatnya melakukan proses yang
sangat mandiri dan tidak mau terpengaruh oleh berbagai model dan cara yang
dilakukan oleh yang lainnya, mereka memilki karakter dan kalau diamati kayaknya
memilki pembagian tugas yang rigid dan jelas, penulis tidak tau secara pasti
apakah mereka dalam pelaksanaan ide dan gagasan tersebut telah melakukan
koordinasi dan konsolidasi sebelumnya atau tidak, namun yang jelas keempatnya
memilki karakter yang kuat dan khas. Mereka berkembang dan berproses tanpa
menafikan yang lain. Secara global pesantren yang ada di kajen bisa digambarkan
sebagai sebuah universitas intelektual yang terdiri dari berbagai fakultas
berupa pesantren-pesantren yang memilki karakter dan metode yang berbeda-beda.
Proses diatas
merupakan sebuah konsekunsi yang wajar dari akibat nalar yang dimiliki oleh
pesantren, yaitu kemandirian dan figur orientasinya yang kuat dalam pengelolaan
mengakibatkan kesan bahwa mereka berkembang dengan sendiri-sendiri. Tampak luar
seakan proses perkembangan pesantren yang terjadi di kajen terkesan tidak
harmoni dan nafsi-nafsi. Namun diluar itu sebenarnya telah terjadi persaingan
yang positif, dimana masing-masing pesantren yang ada selalu melakukan inovasi
dan pembaruan sesuai dengan misi dan visi yang mereka miliki.
Pesantren wetan banon
(salafiyah) dengan berbagai ekselerasi dan inovasinya telah melakukan banyak
perubahan dan perkembangan yang berarti baik secara manajerial maupun
kurikulumnya. Salafiyah sebagai sebuah pesantren sadar betul bahwa santri
tidak saja dituntut mampu menguasai dan memahami ilmu agama namun lebih dari
itu mereka harus menguasai bidang sain dan tehnologi, sehingga perlu dilakukan
langkah-langkah konkret dalam proses metamosphosis yang mereka alami. Akhirnya
dengan sadar dan terencana pesantren ini mendirikan madrasah yang terus
mengalami perkembangan di berbagai bidang mulai dari kegiatan dan kurikulumnya
yang semmuanya berbasis pada pengingkatan kemampuan dan kreatifitas santri.
Perkembangan madarasah yang didirikan oleh pesantren mencapai puncaknya dengan
diterimanya “surat pengsahan perguruan agama Islam dari pemerintah pada tahun
1975 NO: K/127/III/75”. Pada waktu itu di desa kajen salafiyah menjadi
satu-satunya pesantren yang memilki madarasah yang diakui oleh pemerintah dan
mengikuti ujian negara tahun 1980-an.
Meskipun diyakini
sebagai pondok pertama di kajen pesantren tengah yang didirikan oleh K.H.
Ismail yang kemudian diteruskan oleh K.H. Murtaji tidak mengalami perkembangan
yang penting baru setelah berdiri dibekas pesantren yang lama yaitu pesantren
Raudlatul ‘ulum yang diasuh K.H. Fayumi Munji pesantren tengah mulai mengalami
sedikit perubahan yang sekarang diasuh oleh K. Ismail putra beliau. Pesantren
tengah dalam pegembangan dan pengelolaannya tidak cukup mengalami perubahan
yang signifikan dan substansial, pesantren tengah masih berpegang teguh sebagai
lembaga tradisional yang mempertahankan berbagai tradisi yang dianut dan
diyakininya dengan melakukan berbagai penyesuaian yang dilakukan dalam rangka
efisiensi dan efektifitas.
Di wilayah ini
(pesantren tengah) dalam perkembangannya berdiri berbagai pesantren disekitar
masjid Kajen diantaranya: Pesantren Kauman yang didirikan tahun 1926 oleh K.H.
Hasbullah, pada awalnya lembaga ini dipakai sebagai untuk pengajian
al-Qur’an dan kitab-kitab salaf karena mengalami peerkembangan maka berdirilah
pesantren yang selanjutnya diasuh oleh putranya yang bernama K. Munif hasbullah
dan sekarang dipegang oleh K.H. Umar Hasyim adik iparnya, pesantren ini diberi
nama kauman karena berada di komplek masjid yang identik dengan kaum beriman
(Kauman), yaitu sebelah barat Masjid kajen. Ke arah utara bersebelahan dengan
pesantren kauman dapat ditemui pesantren Kauman kretek yang sekarang bernama
APIK, pesantren ini didirikan sekitar tahun 1953 dibawah asuhan K.H Muhammadun
(menantu K.H. Nawawi) dan sekarang diasuh oleh K. Zahwan dan K.H Junaedi putra
beliau. Terus kearah utara berdiri pesantren Buludana yang dirintis oleh K.H.
Muhtar al-Hafidh yang dalam perkembangannya dikelola oleh kedua putra beliau
(K. Abdul Bari Mukhtar dan K. M. makmun Mukhtar, pada masa awal kepemimpinan
mereka pesantren ini bernama APELBUK (Asrama Pelajar Buludana Kajen) dan
sekarang berganti nama menjadi pondok pesantren Mabda’ul Huda (PPMH)
Seperti yang
disinggung diatas pada masa awal dan perkembangannya di wilayah tengah
pesantren tidak mengalami perubahan yang cukup berarti, baru pada tahun 1983 di
wilayah ini terjadi perubahan yang pesat setelah berdirinya pesantren al-hikmah
yang dirintis oleh K.H. Ma’mun Muzaiyyin (menantu Mbah Dullah) yang dalam waktu
singkat sekitar satu dasawarsa mampu melakukan berbagai manuver dan akselerasi
pertumbuhan yang menggembirakan dengan berbagai aktifitas dan kreatifitasnya,
selain pesantren al-hikmah juga mendirikan madrasah yang dalam pengelolaannya
dapat disamakan dengan yang dilakukan oleh pesantren wetan banon (salafiyah),
juga melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikannya, nampaknya dengan bijak
pesantren ini belajar dari dinamika proses pendidikan nasional yang sedang
berlangsung.
Pesantren kulon banon
berada sekitar 200 meter arah timur makam mbah Mutamakkin dan didirikan oleh
keturunan beliau generasi ke-enam yang bernama K.H. Nawawi putera K.H Abdullah.
Dalam pengelolaannya K.H. nawawi dibantu oleh ketiga putra beliau yaitu K.H.
Thohir, K.H. M. Fahrurrozi dan K.H. Ahmad Durri nawawi, pondok kulon banon ini
berdiri tahun 1900, dilihat dari tahunnya pesantren ini merupakan pesantren
kedua setelah pesantren tengah pertama berdiri. Setelah mengalami berbagai
perubahan dan perkembangan pesantren ini lebih populer dengan nama pesantren
TPII (taman pendidikan Islam Indonesia) yang diasuh oleh K.H. Muzammil Thohir
(putra K.H. Thohir Nawawi) dan pada tahap selanjutnya berdirilah
pesantren putri yang diasuh oleh adiknya yang bernama K.H. Muadz Thohir.
Sementara itu di desa
Kajen bagian paling barat tepatnya di daerah polgarut pada tahun 1910 K.H.
Abdussalam dan putranya K.H. Mahfudh mendirikan pesantren yang pada saat
itu diberi nama pesantren matholi’ul Huda (PMH) dan dalam perkembangannya
karena putranya telah selesai dalam melakukan pengembaraan intelektual
diberilah sebuah tanah disebelah utaranya untuk mendirikan pesantren baru.
Pesantren ini mengalami tiga masa kepengasuhan yang pertama periode perintisan
dipegang oleh K.H. Mahfudh, dan periode peralihan karena putra beliau yang
bernama K.H Sahal mahfudh masih menempuh pendidikan diberbagai pesantren di
jawa dan arab, pada waktu ini pengasuh dipegang oleh adik K.H. Mahfudh yaitu
K.H. Aly Mukhtar baru setelah K.H. Sahal Mahfudh merampungkan studinya
pesantren ini dikelolan dan dikembangkan oleh beliau yang diberinama pesantren
PMH Putra singkatan dari Maslakul Huda (polgarut utara) untuk membedakan
dengan PMH pusat (polgarut selatan).
Dalam perkembangannya
kedua pesantren ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dan signifikan, selain
dilanjutkan dengan berdirinya pesantren putri di masing-masing pesantren ini
(al-Husna – pesantren putri PMH Pusat) dan al-badi’iyah- pesantren putri PMH
Putra), keduanya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan baik dari segi
methode pendidikan dan sistem pengelolaan. PMH Pusat sangat terkenal dan
identik dengan pesantren yang memfokuskan pada pengfhafalan al-qur’an dan
pengkajian kitab-kitab klasik sementara PMH Putra selain terkenal dengan
pesantren salaf yang menekankan pada pengkayaan dan pengkajian fiqih juga lebih
dikenal dengan sistem pengelolaannya yang moderat dan partisipatif.
Keberadaan kedua
pesantren ini dalam sejarahnya tidak mungkin untuk dilepaskan dari berdirinya
Madrasah Matholi’ul falah yang berdiri terpaut dua tahun dari berdirinya
pesantren ini. Kalau pesantren wetan banon (salafiyah) dan tengah (al-hikmah)
dalam pengembangannya mendirikan madrasah namun PMH putra dan pusat dengan
sengaja tidak melakukan langkah-langkah tersebut. Penulis belum mengetahui
alasan dari pengambilan kebijakan tersebut, namun meskipun secara pengelolaan
dan struktur antara PMH putra-pusat tidak terkait dengan Matholi’ul falah,
kesinambungan diantara ketiganya nampak terlihat dalam penyesuaian kurikulum
yang diberlakukan di pesantren tersebut, dimana setiap kegiatan yang akan
diadakan oleh pesantren disesuaikan dengan berbagai kegiatan yang diprogramkan
di madrasah matholi’ul Falah, bahkan kalau diteliti lebih jauh dalam hal
kurikulum dapat ditemukan kesinambungan dan korelasi positif antara pesantren
dan madrasah itu, apalagi sebenarnya ketiganya masih berada dalam satu payung
yayasan nurul al-salam. Dan kurang lengkap dan komprehenshif kiranya jika mau
memahami pesantren PMH putra dan PMH pusat tanpa mengaitkannya dengan
keberadaan madrasah Matholi’ul Falah.
Kalau diteliti lebih
seksama sebenarnya pembagian typologi dan klasifikasi pesantren wetan banon,
tengah dan kulon banon kurang bisa dipertanggungjawabkan dalam sejarah
perkembangannya, kalau pemberian istilah pesantren tengah yang diambil karena
berada ditengah-tengah wetan banon dan kulon banon, secara geografis-historis
sulit diterima, karena kalau kita lihat sejarah berdirinya pesantren
tengah adalah pesantren pertama di kajen dan keberadaannya sebelum keduanya
(wetan dan kulon banon). Istilah banon digunakan untuk dinding makam kanjengan
yang dikelilingi oleh tembok besar (banon) sebagai penunjuk arah keberadaan
pesantren awal yang berdiri hampir bersamaan di kajen.
Dalam hal ini ada
kerancuan dalam penggunaan istilah wetan banon, tengah dan kulon banon. Kalau
yang digunakan penamaan itu mengacu pada keberadaan dinding makam kanjengan
sebenarnya pesantren tengah berada di sebelah wetan banon dan kalau yang
digunakan pemberian nama pesantren tengah adalah keberadaannya diantara pesantren
wetan banon dan kulon banon juga sulit diterima karena pesantren tengah
merupakan pesantren pertama di kajen, bagaimana mungkin memberi istilah tengah
ketika pesantren wetan dan kulon banon belum berdiri. Akhirnya penulis mencoba
menyimpulkan bahwa pemberian istilah pesantren tengah diambil setelah
berdirinya pesantren wetan dan kulon banon, sementara istilah pesantren wetan
dan kulon banon ditinjau dari keberadaannya dari dinding makam kanjengan.
Memahami pesantren
kajen mesti memahami sejarahnya terlebih dahulu, keberadaan pesantren wetan
banon, tengah dan kulon banon tidak dengan sendirinya terbentuk begitu saja.
Ketiga pesantren tersebut berdiri hampir bersamaan dan dapat dikatakan sebagai
embrio lahirnya berbagai pesantren yang saat ini ada di desa Kajen. Dalam
perkembangannya, pesantren kajen bertolak dari ketiga titik pesantren tersebut
yang berdiri hampir tepat terbagi kedalam wilayah itu, wetan banon, tengah dan
kulon banon. Ketiga pesantren itu merupakan pemicu kebangkitan pesantren yang muncul
belakangan di sekitarnya yang jika ditelusuri tidak terlepas dari ikatan
keluarga dengan ketiga bani tersebut.
Sebagian besar
masyarakat meyakini hingga sekarang tiga serangkai ulama tersebut melalui
keturunannya menjadi panutan dan pengaruh besar serta penentu corak dan
karakter pesantren yang ada di desa Kajen, secara sosio-religius dalam
keyakinan masyarakat menempati posisi tertinggi. ketiga bani tersebut adalah
keturunan Mbah Mutamakkin generasi ke-lima yaitu bani Siroj (pesantren wetan
banon-salafiyah), bani nawawi (pesantren kulon banon-TPII) dan bani salam
(pesantren polgarut- PMH putra dan pusat).
Pengaruh dan penentu
corak serta karakter pesantren desa kajen yang diberikan ketiga bani tersebut
tidak hanya disebabkan karena faktor garis keturunan dan sejarah saja namun
juga dapat diduga kuat karena ketiga bani tersebut memilki pilihan dan cara
yang khas dalam metode dan penggunaan sistem pendidikan serta pengelolaan
pesantren yang mereka dirikan. Pesantren wetan banon misalnya dengan latar belakang
sejarahnya memiliki nalar dan cara pandang yang khusus yaitu ingin mewujudkan
sebuah lembaga pendidikan yang dinamis dan akseleratif, salafiyah memandang
bahwa seorang santri tidak hanya dituntut mampu untuk memahami ilmu agama
an-sich namun juga sepatutnya menguasai ilmu-ilmu umum seperti, sain dan
tehnologi untuk itu berbagai upaya pengembangan mesti dilakukan demi
terwujudnya cita-cita tersebut.
Sehingga pihak lain
termasuk pemerintah adalah mitra di dalam proses pengembangan yang mereka
lakukan dengan melakukan berbagai kerjasama, hal ini terbukti bahwa sejak awal
salafiyah telah melakukan kerja-kerja tersebut yaitu dengan diakuinya oleh
pemerintah pada tahun 1948 dan mendapat bantuan sarana penunjang pada
tahun 1950 berupa tenaga pengajar dan alat-alat sekolah. Semua ini dilakukan
dalam rangka pengembangan yang mengacu pada cita-cita diatas. Dalam proses
sejarahnya sampai pada puncak kulminasi dalam sistem pendidikannya salafiyah
sebagai sebuah lembaga mulai mengikuti persamaan ujian pada tahun 1980-an,
mulai saat itu pesantren salafiyah dengan berbagai kegiatan dan aktifitas
kependidikanya telah menyatu dengan sistem pendidikan pemerintah dengan
mengikuti ujian negara, mulai saat itu pesantren salafiyah mengalami
perkembangan yang cukup pesat dengan meraih berbagai prestasi di tingkat
karisidenan Pati dan wilayah Jateng.
Sementara itu
pesantren kulon banon dan polgarut memiliki cara pandang dan nalar sendiri yang
berbeda dalam mengelola sistem pendidikannya, kedua pesantren ini sejak dari
awal sadar dan faham betul bahwa sebuah lembaga pendidikan akan memiliki
karakter dan nalar yang kuat dan mampu melakukakn kerja-kerja kritis
emansipatoris ketika dapat menempatkan diri dalam jarak yang sama dengan
berbagai pihak termasuk pemerintah saat itu, independensi adalah jalan sadar
yang dipilih dengan mendirikan sebuah madrasah pada tahun 1912 ditengah gejolak
bangkitnya kesadaran kolektif bangsa indonesia dengan “nasionalisme”nya.
Berbagai organisasi muncul dan berkembang saat itu seperti Muhammadiyah,
Sarekat Islam dan berbagai ormas lainnya. Lahirnya madrasah ini berngkat dari
keprihatinan dua orang kakak adik yaitu KH. Abdus Salam dan KH. Nawawi yang
pada saat itu didukung oleh Mbah Sa’id seorang desersi kepolisian negara
Singapura yang dalam pelariannya terdampar di desa Kajen. Keprihatinan itu
disebabkan karena mereka memandang pengajaran pesantren yang ada pada saat itu
kurang sistematis dan efektif, akhirnya mereka sepakar untuk membuka pengajaran
pesantren dengan sistem klasikal.
Dalam proses perkembangannya
keterkaitan pesantren kulon banon dan polgarut dengan keberadaan Madrasah ini
yang akhirnya pada tahun 1922 oleh KH. Mahfudh Salam ( putra KH. Abdus Salam,
salah satu pendiri Madrasah) diberi nama “Perguruan Islam Mathali’ul
Falah” (PIM) tidak bisa dipisahkan begitu saja, mulai sistem yang saling
terkait dan berkesinambungan sampai pada wilayah nalar dan gagasan besar yang
selalu beriring dan sejalan, bahkan kalau dilihat dengan seksama dan teliti
berbagai program dan aktifitas yang ada di pesantren ( Kulon Banon dan Polgarut
) sepenuhnya menunjang kegiatan yang dilakukan di PIM. Hal ini mulai kentara
terlihat semenjak kepemimpinan PIM di pegang dan dikelola oleh KH.MA. Sahal
Mahfudh ( putra KH. Mahfudh Salam).
Pesantren Kulon banon
dan Polgarut dalam setiap kegiatannya selalu mengorintasikan pada terbentuknya
seorang insan yang sholih dan akrom, tujuan ini hanya dapat terwujud ketika
santri sebagai seorang insan memiliki kemampuan sekaligus kemandirian dalam
dirinya. Bagaimanapun juga dalam proses pembentukan itu dibutuhkan sebuah
konsep dan metode yang sarat dengan nilai-nilai keislaman baik diwilayah,
intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas. Seorang insan yang sholih dan
akrom sudah barang tentu didalam dirinya terinternalisasi ketiga nilai-nilai
tersebut.
Untuk itu dalam
mewujudkan sistem dan metode pendidikan yang indegeneous dan khas yang saat ini
dimiliki oleh PIM dibutuhkan sebuah kemandirian dan independenasi
pengelolaannya dari campur tangan pihak manapun termasuk pemerintah, karena
hanya dengan kemandirian dan independensi tersebut PIM mampu melkasanakan
setiap gagasan dan konsep yang akan di realisasikan kedalam setiap program
pendidikannya. Tujuan ini seiring dengan gagasan yang pernah dilontarkan oleh
seorang pakat pendidikan kritis “gramsci” yang berpendapat bahwa, “proses
pendidikan seringkali digunakan untuk melanggengkan struktur kekuasaan dengan
mempertahankan ideologi dan hegemoni negara” dan hal inilah yang saat ini telah
dan terus dilakukan PIM sebagai sebuah lembaga pendidikan dengan berbagai
program dan aktifitasnya untuk membentuk insan yang sholih dan akrom yang
memiliki daya kritis dan emansipatoris yang berdiri kokoh diatas kemnerdekaan
dan independensinya dalam berfikir dan bergerak.
Proses sejarah
keberadaan PIM menunjukkan bahwa, kemandirian dan independensi telah menjadi
nalar dan akar pemikiran dalam setiap gerak dan aktifitasnya, PIM adalah
perguruan yang sadar betula akan pentingnya kemerdekaan dalam berfikir dan
bersikap dan hal ini terlihat dalam berbagai pilhan yang diambil, seperti
menolak ujian negara dan pemberian status oleh pemerintah, karena PIM meyakini
ketika sebuah lembaga pendidikan telah menjadi bagian dari sitem pendidikan
pemerintah yang sampai saat ini belum jelas arahnya mau dibawa kemana, maka
sejak saat it juga lembaga tersebut tidak indepnden dan setiap aktifitasnya
akan mengikuti dan harus rela melakukan perubahan yang dikehendaki oleh
pemerintah, baik mulai dari sitem dan metode pengajarannya sampai pada wilayah
kurikulumnya, dan hal ini sangat tidak diharapkan oleh PIM yang memilki sekian
kurikulum yang khas dan independen.
Sistem organisasi
kesiswaan yang dimiliki oleh PIM merupakan wahana yang sangat dinamis dan mendekati
pada sistem ketatanegaraan yang saat ini ada, yaitu dengan model “presidensil”
dengan keterwakilan siswa dalam setiap kelas melalui keberadaan MPS (Majelis
permusyawaratan Siswa) yang setiap tahunnya memilih mandataris (Presiden)
untuk melaksanakan setiap kegiatan kesiswaan. Mekanisme yang dibangun
sepenuhnya dalm koridor demokrasi dengan asaa dari siswa oleh siswa dan untuk
siswa. Keikutsertaan siswa dalm setipa proses mekanisme organisasi sangat ketat
dan sepenuhnya mereka yang melakukan setiap tahapan yang mesti dilalui tanpa
campur tangan pihak Ustad (guru) bahkan lembaga PIM, mekanisme yang berlangsung
telah berjalan dengan tertib dan sesuai dengan prosedur yang ada, pihak lembaga
hanya menyediakan setiap kebutuhan yang menjadi “hak” siswa dengan mengucurkan
dana yang telah dibayarkan oleh mereka setiap bulannya, dalam prosentase dana
yang diputar oleh organisasi kesiswaan di PIM sangat besar, untuk saat ini
hampir mencapai puluhan juta setiap periodenya.
Sejauh yang diketahui
penulis, mungkin PIM satu-satunya lembaga pendidikan yang memilki 4 organisasi
kesiswaan sekaligus dalam satu atap. Keempat organisasi itu adalah HSM
(Himpunan siswa Mathali’ul Falah), wadah organisasi yang dimilki oleh siswa
putra dalam kegiatan umum, HISMAWATI (Himpunan Siswa Mathali’ul Falah Putri)
yanhg dimilki oleh siswa putri dalam kegiatan umum dan masing-masing siswa
putra dan putri masih punya wadah dalam kegiatan yang berbau ke-araban yang
dinamakan Qismun Nasyath, yaitu wadah kegiatan siswa yang bergerak di wilayah
pengembangan dan kegiatan bahasa arab.
Dalam mekanismenya
organisasi kesiswaan yang ada di PIM diberikan keluasan dan kebebsan gerak
selama tidak melanggar aturan yang ada dengan menerapkan konsep taman
siswa “Ing
ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani”
sehingga organisasi kesiswaan dalam kiprahnya mampu melakukan berbagai
aktifitas yang melahirkan prestasi. Diantara aktifitas yang dilakukan adalah,
diskusi dan seminar ilmiah, pengajian umum, penerbitan bulletin, Marching band,
kegiatan sosial-kemasyarakatan, pelatihan dan kursus, daurah bahasa arab,
olah-raga, taman gizi, bursa buku, dll.
Salah satu lagi
tradisi yang sampai saat ini masih dipertahankan dan nampaknya akan tetap
menjadi kurikulum adalah sistem hafalan bagi siswa untuk setiap kelas sebagai
syarat kenaikan, juga pada setiap kelas terkhir masih dibebani dengan test
kitab yang diujikan kepada pihak luar PIM dengan mendatangkan ustad dari
berbagai perguruan dan madrasah lain. Dan khusus bagi kelas III aliyah yang akan
merampungkan studi di perguruan ini di wajibkan membuat paper semacam “skripsi”
ringan dalam bahasa arab yang dimunaqosyahkan menjelang kelulusan.
Dalam kebijakannya
PIM juga mewajibkan setiap siswanya untuk menempuh pendidikan di pesantren
dalam radius tertentu, hal ini diambil untuk menjaga ketertiban dan
keberlangsungan proses belajar mengajar yang diterabkan, karena selain disinga
hari seringkali kegiatan PIM juga dilaksanakan di malam hari, dengan demikian
siswa akan konsen dan bisa fokus didalam mengikuti setiap program yang
diterapkan. Kalender pendidikan di PIM dimulai pada bulan Syawal dalam kalender
Islam dan memakai sistem evaluasi setiap empat bulan (kuartal) dalam memantau
kegiatan belajar mengajarnya.
Sampai saat ini PIM
dengan berbagai ciri khas dan problematikanya masih kuat berdiri kokoh diatas
kakinya sendiri, berdikari dan mandiri serta independen dalam setiap kegiatan
yang dilaksanakannya, hal inilah yang menjadi ciri khas dan sejkaligus
kelebihan yang memang sengaja diambil PIM sebagai sebuah langkah nayata untuk
mewujudkan cita-citanya dalam membentuk manusia yang sholih dan akrom.
Kalau dilihat dua
aliran besar itulah (Salafiyah dan PIM) yang saat ini masih kuat mewarnai
setiap corak pemikiran yang berkembang di pesantren yang ada di desa kajen.
Karakter dan nalar yang berbeda yang sengaja diambil oleh keduanya sekaligus
menjadi ciri khas dan kelebihan tersendiri di dalam proses pembentukan santri
yang pada gilirannya dituntut untuk mengimplementasikan setiap pengetahuan dan
ilmunya di dalam kehidupan nyata masyarakat. Perbedaan keduanya merupakan
potensi yang tidak perlu dinegasikan satu sama lain, karena pada dasarnya
kebenaran dan arah menuju sebuah kemajuan dan kemaslahatan adalah sebuah
“proses” yang panjang dan memerlukan berbagai ide dan gagasan. Potensi keduanya
adalah aset besar yang saat ini dimiliki Kajen sebagai sebuah “kampung santri”
yang penuh dengan berbagai aktifitas keilmuan dan dinamika pendidikan. Bahkan
pada tahapan tertentu nantinya tidak hanya keduanya namun fakultas-fakultas
(pesantren) keilmuan yang memiliki corak dan nuansa yang berbeda-beda yang ada
di Kajen perlu disinergikan menjadi sebuah universalitas keilmuan yang mencakup
berbagai potensi yang ada, jika nanti tahapan ini mampu dilakukan oleh berbagai
civitas yang ada di kajen, maka kajen akan menjadi sebuah icon dan barometer
pendidikan pesantren yang mempunyai masa depan dan potensi yang dahsyat.
Lokasi
Kajen, Margoyoso,
Pati, Jawa Tengah – Indonesia 59154
Telphon: 0295-452333, Fax: 0295-4150360
Telphon: 0295-452333, Fax: 0295-4150360
Sumber:
1.
Zainul
Milal Bizawi, Pondok
Kajen Wetan banon; Pesantren Salafiyah dalam Lintasan Sejarah (
Kajen: PAS 2001 ), hlm. 7-9.
2.
WIS (
singkatan dari Waktu Istiwa’, yaitu penggunaan waktu/jam yang berdasarkan
hitungan ketika jam 12.00 matahari tepat berada di tengah-tengah/ atas kepala)
3.
Pradjarta
Dirdjosanjoto, Memelihara
Umat; Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa ( Yogyakarta: Lkis,
1999 ), hlm. 31.
4.
Abdurrahman
Mas’ud, Intelektual
Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi ( Yogyakarta: LkiS, 2004 ),
hlm. 65.
5.
H.J. De
Graaf & TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa; Tinjauan Sejarah Politik Abad XV
dan XVI ( Jakarta: Grafiti, 2001 ) hlm. 36.
6.
Ibid,
hlm.65-67
7.
Zainul
Milal Bizawi, Perlawanan
Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan Paham Keagamaan Syech Ahmad Mutamakkin
( Yogyakarta: SAMHA, 2002 ) hlm. 105.
8.
H.M.
Imam sanusi AH, Perjuangan
Syaikh. KH. Ahmad Mutamakkin, ( Kajen: HSM, 1999 ), hlm. 21.
9.
Zainul
Milal Bizawie, Pondok
Kajen Wetan banon: Pesantren Salafiyah dalam Lintas Sejarah (
Kajen: PAS, 2001 )
10.
Ibid,
hlm. 36-43
Sumber:
http://www.maslakulhuda.net/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1
trimakasih PMH Putra, trima kasih kajen yang telah membentuk alumninya sebagai manusia yang berkarakter, sebagaimana harapan mbah sahal, yaitu mencetak manusia yang solih dan akrom.
BalasHapusAmiiin. Semoga Mbah Sahal damai sentosa di sisi-Nya. Al Faatihah....
BalasHapus