Jumat, 26 Juli 2013

(Taushiyah of the Day) Puasa dan Kepedulian Sosial


Puasa dan Kepedulian Sosial

Oleh: Muhammadun*

 

“Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu.”

 

Petikan di atas adalah sekilas cuplikan khutbah Nabi Muhammad menyambut datangnya bulan RamadHan. Khutbah Nabi mengajarkan agar umat Islam bisa berbagai dan peduli dengan sesamanya. Umat Islam seharusnya bisa membuang jauh egoisme (anaiyyah) yang seringkali justru menjerumuskan umat Islam sendiri. Dengan mengubur egoisme, maka kepedulian dan kesejahteraan bisa diwujudkan bersama. Persaudaraan (ukhuwwah) juga semakin erat, sehingga komitmen persatuan dan kesatuan semakin teguh.

 

Spirit kepedulian sosial sebenarnya telah diajarkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Dalam berbagai kisah, Nabi selalu memberikan segala yang dimiliki untuk umatnya. Demikian juga yang dilakukan putri beliau, Fatimah. Putri tercinta Nabi ini berani mensedekahkan rotinya yang tinggal sebungkus untuk keluarganya kepada para sahabat lain yang lebih membutuhkan. Demikian yang dicontohkan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, dan para sahabat Nabi lainnya.

 

Nabi selalu mengajarkan bahwa yang terbaik dari manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi sesama (khoiru al-nas anfa’uhum li al-nas). Totalitas menjadi umat Nabi Muhammad bisa mencapai derajat “sukses” kalau bisa bermanfaat dan mensukseskan sesamanya. Selalu mendahulukan kepentingan sosial dari pada terjebak dalam kepribadian yang egois.

 

Para sahabat Nabi berlomba dalam kompetisi kebaikan demi kemaslahatan publik (maslahah al-ammah). Semakin kompetitif, maka akan lahir beragam kebaikan yang bisa dinikmati bersama. dan semakin kebaikan di bagi bersama, justru kebaikan tersebut tidaklah berkurang. Akan tetapi semakin bertambah dan bertambah (yazdad tsumma yazdad). Dalam al-Quran Allah telah menjelaskan bahwa perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah akan dilipatgandakan 700 kali. Dan Allah juga akan melipatgandakan kembali hambanya yang dikehendaki.

 

Kompetisi menjalankan kepedulian sosial inilah yang juga harus dijalankan umat Islam sekarang. Krisis sosial dan kemanusiaan banyak menghadirkan berbagai ketimpangan dan penderitaan yang menyeruak. Kemiskinan juga terus berlangsung, bahkan lebih tragis terjadi proses pemiskinan. Pengangguran juga terus bertambah seiring dengan krisis lapangan kerja. Biaya pendidikan tinggi semakin mahal, sehingga sedikit kaum miskin yang berani melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

 

Bulan Ramadhan bisa menjadi momentum sangat baik untuk meningkatkan ketaqwaan dan kepedulian sosial. Abu Bakar Jabir al-Jazairy dalam “Minhaj al-Muslim” menjelaskan bahwa puasa mempunyai makna dalam tata keruhanian, kemasyarakatan, dan kesehatan. Dalam keruhanian, jelas al-Jazairy, puasa bisa mencipta bakat bertaqwa (malakatut taqwa) dalam setiap gerak hidup jiwa. Dalam kemasyarakatan, puasa mengajarkan ketertiban, persatuan, cinta keadilan dan kesetaraan, dan mengukuhkan basis persaudaraan dengan akhlaq yang lemah lembut. Sedangkan dalam kesehatan, puasa bisa menjadikan fisik semakin bersih dari penyakit, sebagaimana disabdakan Nabi, “berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat”.

 

Kepedulian sosial yang hadir dalam Islam pastilah berdasarkan basis ketaqwaan yang selalu khusyu’ dan tawadu’ kepada Allah SWT. Semakin bertambah ketaqwaan, maka komitmen kepedulian sosial semakin menancap. Marilah kita berguru kepada kepada sahabat, ulama’, dan para kiai. Ajaran kearifan yang mengalir dari batiniyah para ulama’ seirama dengan tindakan dan perilaku yang dijalakan sehari-hari. Para kiai begitu perhatian dan peduli dengan santri dan masyarakatnya.

 

Kepedulian yang diteladankan Nabi dan ulama’ adalah kepedulian yang tidak berdasarkan kepentingan politik apapun. Tidak sedikit sekarang ini berbagai program kepedulian sosial ternyata dibalik itu semua terselip agenda politis. Solidaritas sosial yang digalang dalam berbagai seremoni dan gebyar yang mewah, ternyata digunakan untuk mengeruk kepentingan kelompok yang sangat parsial.

 

Bentuk solidaritas yang dibarengi riya’, sum’ah, apalagi kepentingan politis, sangat dikecam dalam ajaran Islam. Karena dalam Islam, semua yang dilakukan manusia adalah ibadah, kalau memang niatnya hanyalah karena Allah semata. Yang diniatkan karena Allah, dalam kaidah fiqh, maka tidak dianggap ibadah. Karena niat karena Allah memang untuk membedakan perbuatan menjadi ibadah atau sia-sia.

 

Dalam konteks ini, perlulah diwaspadai umat Islam atas berbagai gelar dan gebyar di bulan Ramadhan. Tidak sedikit kemasan gebyar, baik dalam buka puasa, taraweh, kultum, dan lainnya, yang hanya untuk bermegah-megahan saja. Apalagi gebyar acara yang dilakukan elite politik yang biasanya hanya untuk menarik simpati publik. Kepedulian yang ditampakkan hanya menjadi simbol politik, atau ada juga yang menjadi simbol bisnis, sehingga kepedulian tampak hambar, tak berbekas dan tak bermakna.

 

Dengan niat yang tulus kepada Allah, kita jadikan puasa sebagai momentum membangkitkan dan meningkatkan kepedulian sosial kepada umat manusia. Dengan saling peduli dan berbagai, sekali lagi dengan niat tulus kepada Allah, maka kita bisa merekatkan kembali persaudaran yang terkoyak, mengikis kemiskinan yang masih menjerat, dan meminimalisir krisis multidimensi yang masih membelenggu. Semoga bulan Ramadan membuka pintu keberkahan dan kemaslahatan bagi semua. Amin.

 

*Muhammadun

Warga Muda NU, tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar