Rabu, 10 Juli 2013

Meluruskan Arah Kiblat


Meluruskan Arah Kiblat

 

Bagi kaum muslimin mengetahui arah kiblat merupakan sesuatu yang penting, sebab keabsahan ibadah shalat ditentukan oleh ketepatan menentukan arah kiblat. Menghadap kiblat tidak sekadar menghadap ke barat. Bisa jadi hal itu tepat, tetapi bisa keliru. Contohnya orang Jawa yang bermigrasi ke Suriname Amerika Selatan berada di sebelah barat Ka’bah, tetapi mereka tetap saja shalat menghadap barat, seperti ketika masih di Jawa. Mau tak mau mereka akhirnya membelakangi Ka’bah, bukan menghadap ka’bah.

 

Di lingkungan masyarakat Islam Jawa sendiri juga sering terjadi kekeliruan dalam menetapkan arah kiblat, terutama dalam membangun masjid. Salah satunya yang dialami masyarakat Betawi (Jakarta) pada abad ke-18. Alkisah setelah tugasnya belajar dan mengajar di tanah suci selesai Kiai Arsyad Al banjari beserta rombongan antara lain Syech Abdussomad al Palimbangi dan Daud al Patani, tidak langsung pulang ke Banjarmasin Kalimantan Selatan, melainkan singgah dulu di Betawi.

 

Di ibukota itu mereka menguinjungi beberapa ulama dan melakukan dakwah di berbagai masjid dan pesantren antara lain Masjid Jami Jembatan Lima. Syeh Arsyad melihat arah kiblat Masjid tersebut terlalu serong ke kiri, sehingga tidak tepat mengahap kiblat di Mekah, melainkan lebih mengarah ke baitul Makdis Palestina.

 

Melihat itu segera sang kiai menemui imam masjid. Tetapi usulan untuk menggeser arah kiblat tidak dihiraukan, karena merasa sudah tepat arah. Akhirnya Kiai Banjar itu menunjukkan kesalahannya. Di hadapan kiai dan para jamaah Syeh Arsyad menunjukkan yang sedang berada dalam masjid itu mengangkat lengan menunjuk arah ka’bah yang sebenarnya. Saat itu hadirin dibuat takjub sebab Ka’bah yang ada di Masjidil Haram itu kelihatan sangat jelas dari Masjid mereka. Akhirnya sang imam beserta jamaah dengan suka rela mengubah arah kiblat mereka.

 

Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 4 Shafar 1186 H atau 7 Mei 1772. Perubahan arah kiblat itu juga diikuti masjid yang lain seperti mesjid Luar Batang dan Mesjid Pakojan. Selama beberapa bulan ulama Banjar itu melakukan dakwah di Betawi, sehingga namanya sangat harum di masyarakat, tidak urung kehadiran ulama besar itu membuat cemas pemerintah Belanda, sebab khawatir sang ulama karismatik itu menyadarkan masyarakat untuk melepaskan dari belenggu penjajahan, karena itu kegiatannya selalu diawasi. []

 

(Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar