Jumat, 29 September 2017

(Do'a of the Day) 09 Muharram 1439H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Jammakallaahu.

Semoga Allah menjadikanmu tampan selalu.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 16, Bab 37.

(Khotbah of the Day) Dua Hal Menentukan bagi Kebaikan Manusia



KHOTBAH JUM'AT
Dua Hal Menentukan bagi Kebaikan Manusia

Khutbah I

الحَمْدُ للهِ الّذِي لَهُ مَا فِي السمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَلَهُ الحَمْدُ فِي الآخرَة الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وهو الرّحِيم الغَفُوْر. . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ الهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اْلمَآبِ.

اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dalam kitab an-Nawâdir, Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi menyuguhkan sebuah renungan dalam kisah Luqman an-Naubi al-Hakim bin Anqa’ bin Baruq. Ia adalah penduduk asli Ailah, sebuah kota Islam kuno yang sekarang masuk kota bernama Aqaba, sebelah selatan Yordania, dekat perbatasan Israel.

Cerita dimulai ketika Luqman al-Hakim menerima seekor kambing dari tuannya. Sang tuan meminta Luqman menyembelih kambing tersebut dan mengantarkan bagian paling buruk, paling kotor, dari tubuh kambing itu.

Ya. Luqman menggorok leher kambing, mengulitinya, dan mengiris-irisnya sesuai kebutuhan. Ia pun secara khusus mengambil bagian lidah dan hati kambing lalu mengantarkannya kepada sang tuan.

Tuannya memberinya kambing lagi. Tugasnya sama: kambing harus menyembelih. Namun kali ini sang tuan menginginkan Luqman membawakannya bagian yang paling bagus, paling menyehatkan.

Luqman menjalankan tugasnya lagi dengan baik. Kambing disembelih, lantas dibawakannya lagi bagian lidah dan hati. Luqman menyodorkan hal yang sama untuk dua permintaan yang saling berlawanan.

Tuannya pun bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan Luqman. Jawab Luqman, “Wahai tuanku, tak ada yang lebih buruk ketimbang lidah dan hati bila keduanya buruk, dan tidak ada yang lebih bagus dari lidah dan hati bila keduanya bagus.”

Jama’ah shalat Jumat hadâkumullâh,

Kisah ini mengungkap pesan bahwa hal paling krusial dalam hidup ini adalah terjaganya hati dan lidah. Lebih dari sekadar daging fisik, keduanya adalah kiasan dari nurani dan perkataan manusia. Keduanya memberi pengaruh yang amat menentukan bagi orang lain dan lingkungan sekitar, entah dalam wujud yang manfaat atau merugikan.

Penjelasan tersebut selaras dengan sabda Nabi bahwa hati merupakan pangkal dari kebaikan seluruh anggota badan. Sebagaimana tertuang dalam hadits:

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad. Jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Hadits ini juga bisa dimaknai secara luas, bukan semata hati atau jantung dalam pengertian fisik. Hati memiliki sifat yang demikian menentukan. Rusaknya hati berakibat pada rusaknya amal-amal kebaikan yang datang dari semua anggota tubuh. Di dalam hati terkandung niat, tujuan, keinginan, dan hal-hal lain yang tak terjangkau secara indrawi. Namun, justru karena tak tampak inilah amal perbuatan menjadi sulit dinilai apakah ia benar-benar baik atau tidak.

Sebagai contoh, orang yang demikian gemar mengeluarkan sedekah namun punyak maksud terselubung meraup keuntungan duniawi, entah itu citra sebagai pribadi yang dermawan di mata masyarakat, dukungan politik, atau keinginan untuk menaikkan kelas sosial tertentu. Secara lahiriah, perbuatan sedekah adalah positif, namun karena diiringi dengan getaran hati yang serbapamrih, amalan tersebut bisa jadi tak mengandung pahala apa-apa di sisi Allah. Ini sekadar contoh rusaknya amal akibat rusaknya hati.

Jamaah shalat Jumat hadâkumullâh,

Yang kedua adalah pentingnya memperhatikan aktivitas lisan. Ungkapan populer bahwa lidah tak bertulang menggambarkan mudahnya organ tubuh yang satu ini meluncurkan kata-kata, dan sering kali menggelincirkan mereka yang tidak waspada menggunakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Sungguh ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang Allah ridhai, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sungguh ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang Allah murkai, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjerumus ke dalam neraka Jahannam.” [HR al-Bukhâri]

Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah, “tidak menganggap penting” itu bisa berarti tidak memikirkan kandungan perkataan, serta dampak, serta risiko yang ditimbukannya. Ini merupakan peringatan bahwa berbicara bukan semata mengeluar kata-kata tapi juga merupakan proses berpikir dan menimbang-nimbang. Ketika proses tersebut tidak dilalui maka hal terbaik yang dilakukan manusia adalah diam.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَــــيْرًا أَوْ لِيَـصـــمُــتْ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari]

Menarik ketika kita perhatikan hadits ini. Rasulullah menggunakan “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” untuk memulai pesan agar manusia berkata yang baik. Hal ini menunjukkan betapa vitalnya lisan hingga ia dikaitkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Seolah-olah orang yang tidak berkata baik adalah orang-orang yang tidak sadar akan kehadiran Allah dan tidak percaya akan balasan di akhirat kelak atas mulut kotornya itu.

Di zaman modern ini perkataan manusia tak hanya keluar melalui lisan tapi juga tulisan yang tersebar di media sosial. Dampaknya pun sama besarnya dengan kat-kata lidah. Melalui media sosial, seseorang bisa menghina, menghujat, menyebar berita bohong, membuka aib orang lain, mengadu domba, memfitnah, atau membualkan sesuatu yang tidak berguna.

Dengan demikian, perkataan yang semula dimonopoli lidah kini kita temukan pula diproduksi oleh jari-jari tangan, bahkan dalam persebaran dan jangkauan yang lebih luas. Karena itu, penting pula bagi kita untuk tidak hanya memikirkan apa saja yang hendak kita omongkan tapi juga apa saja yang ingin kita tuliskan.

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,

Kalau hati merupakan pangkal dari kebaikan dan keburukan suatu perbuatan maka lidah menjadi pintu keluar paling boros kebaikan dan keburukan itu. Karena itu menjaga hati agar bersih dari niatan buruk merupakan hal yang pokok. Dilanjutkan kemudian untuk mengontrol lidah agar tidak membuat kerugian bagi diri sendiri dan orang lain atau lingkungan di sekitarnya.

Semoga kita semua terhindar dari berbagai iktikad dan tindakan buruk dari seluruh anggota badan kita karena sesungguhnya tiap organ yang ada dalam tubuh kita kelak akan dimintai pertangungjawaban. Wallahu a’lam.

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Sumber: NU Online

Tafsir Darul Islam Menurut NU



Tafsir Darul Islam Menurut NU

Dalam gerak dan pikirnya, para kiai dan santri mampu mensinergikan antara agama dan nasionalisme, terutama ketika KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) memfatwakan bahwa agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Mereka adalah dua entitas yang dapat saling memperkuat bangunan kebangsaan dan kenegaraan apapun perbedaan suku, agama, dan ras.

Kiai Hasyim Asy’ari menyadari betul bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam identitas kemajemukan. Kekayaan tradisi menguatkan identitas keindonesiaan, sedangkan kemajemukan agama dapat memperkuat bangunan nasionalisme dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama yang universal.

Sejak era pergerakan nasional, bangsa Indonesia dihadapkan oleh sejumlah kelompok yang begitu menonjolkan agamanya untuk membangun negara seperti yang mereka inginkan tanpa menyadari pluralitas dan kebhinnekaan Indonesia. Sebut saja DI/TII gawangan S.M. Kartosoewirjo yang hendak mendirikan Darul Islam (DI) di wilayah Indonesia tepatnya dimulai pada tahun 1942.

Padahal enam tahun sebelum wacana pendirian DI oleh Kartosoerwijo itu, Nahdlatul Ulama (NU) melalui Muktamar ke-11 tahun 1936 di Kota Banjarmasin telah mendefinisikan Darul Islam secara logis dan brilian. Dalam Muktamar ke-11 itu, NU memang dengan tegas memutuskan bahwa Indonesia merupakan Darul Islam.

Namun demikian, Darul Islam yang dirumuskan NU bukan rancangan memabngun negara teokrasi, bukan pula Islam sebagai agama hendak diformalisasikan ke dalam sistem negara. Tetapi, konteks Darul Islam yang dimaksudkan NU ialah wilayah Islam, bahwa Indonesia saat itu masih terjajah sehingga melawan penjajah merupakan kewajiban setiap Muslim, atau dengan kata lain berjihad melawan penjajah adalah kewajiban agama.

Definisi tersebut berdasarkan tafsir yang dijelaskan oleh ulama kharismatik NU, KH Achmad Siddiq (1926-1991) yang memberikan penafsiran hasil Muktamar NU tahun 1936 terkait keputusan Darul Islam. Kiai asal Jember tersebut menerangkan, kata Darul Islam dalam Muktamar tersebut bukanlah merujuk pada istilah tatanan politik kenegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan yang lebih tepat diartikan sebagai Wilayatul Islam atau wilayah Islam (Piagam Kebangsaan, 2011).

Dari langkah para kiai NU tersebut, jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, NU telah mengambil sikap tegas bahwa Indonesia merupakan wilayah Islam yang sedang dikooptasi, dijajah, dan dikuasai oleh kolonial. Maka, berjihad melawan penjajah merupakan kewajiban dan panggilan agama.

Gerak pikir dan langkah brilian para kiai NU tersebut menunjukkan bahwa perjuangan mereka tidak sebatas menegakkan simbol agama untuk kepentingan kelompok, tetapi meneguhkan nilai-nilai agama sebagai spirit perjuangan mengusir dan melawan penjajah sehingga akhirnya Indonesia pun merdeka atas jihad substansial umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia kala itu.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan sebagian kelompok yang justru dengan simbol-simbol agama yang seolah gagah ingin mendirikan daulah Islamiyah dengan merontokkan sendi-sendi bangunan persatuan dan kesatuan Indonesia yang diikat kuat oleh hasil jeri payah para pendiri bangsa dengan menancapkan falsafah agung Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai perekat kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan spirit nilai-nilai keagamaan sebagai pondasi moral.

Memperhatikan poin-poin penting di atas, memahami Islam atau agama secara umum sebagai simbol hanya akan menyempitkan pandangan universalitas agama itu sendiri. Sebaliknya, menyerap setiap nilai-nilai yang terkandung dalam perjuangan dan rumusan falsafah yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa akan menyadarkan hati dan pikiran bahwa betapa nilai-nilai agama atau ke-Tuhanan menjadi spirit persatuan dalam perjuangan merebut kemerdekaan. []

(Fathoni Ahmad)

Azyumardi: Rujuk Wahabiyah-Syiah?



Rujuk Wahabiyah-Syiah?
Oleh: Azyumardi Azra

Musim Haji 1438/2017 lalu memberi isyarat membaiknya hubungan antara Arab Saudi dan Iran. Sejak mulai waktu kedatangan (calon) jamaah haji sampai selesai ibadah haji dan pulangnya para jamaah, tidak terjadi insiden menyangkut kontingen haji Iran. Padahal di tahun-tahun sebelumnya sering terjadi keributan antara Saudi dan Iran terkait jamaah haji Iran.

Iran mengirim 86 ribu jamaah dalam musim haji lalu. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pangeran Khalid al-Faisal, Gubernur Provinsi Makkah, secara khusus melakukan acara penyambutan jamaah haji Iran.

Sepanjang prosesi pelaksanaan ibadah haji, polisi dan tentara Saudi menahan diri. Mereka dilaporkan tidak menggunakan pentungan terhadap jamaah haji Iran yang melakukan hal-hal yang mereka anggap tidak sesuai dengan pemahaman dan praksis Wahabiyah.

Apa yang terjadi dalam hubungan antara Arab Saudi dan Iran? Sudah bukan rahasia lagi selama bertahun-tahun, Saudi sangat memusuhi Iran. Permusuhan itu segera diidentikkan banyak kalangan Muslim sendiri dan para pengamat non-Muslim sebagai konflik antara paham Wahabiyah, mazhab resmi Saudi, dan Syiah, panutan resmi Muslimin Iran.

Oleh karena itu, damai, aman dan lancarnya pelaksanaan ibadah haji Iran pada tahun 1438 H mengisyaratkan perkembangan positif. Majalah internasional the Economist edisi 9 September lalu menurunkan laporan bertajuk "Sunnis and Shi’as: Enemies No More?" (Kaum Suni dan Syi’ah: Tak Lagi Bermusuhan?).

Judul laporan itu tampaknya perlu diulas sedikit. Pertama, soal Suni dan Syiah yang menggeneralisasi. Jelas tidak semua penganut Suni dan Syiah bermusuhan. Sebagian besar kedua golongan umat Islam ini berhubungan baik dan rukun-rukun saja. Tentu saja ada segelintir Muslim dari kedua mazhab ini yang saling membenci.

Lebih jauh, ada kalangan dari kedua belah pihak yang sejak waktu lama mengusahakan islah rekonsiliasi di antara kedua belah pihak. Institusi al-Azhar Kairo dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyebut usaha itu taqribul madzahib—pendekatan di antara mazhab berbeda.

Selain itu, judul laporan itu masih memakai tanda tanya. Hal ini mengisyaratkan masih bertahannya skeptisisme tentang apakah hubungan antara Saudi dan Iran benar-benar dapat membaik. Dengan begitu juga diasumsikan bakal tidak ada lagi permusuhan antara Suni dan Syiah.

Memang sejak Raja Salman ibn Abdul Aziz naik takhta pada 2015 hubungan Saudi dan Iran meningkat panas. Eskalasi itu dikaitkan banyak kalangan dengan putra Raja Salman, Muhammad ibn Salman, yang ketika itu menduduki jabatan menteri pertahanan yang tampaknya ingin melenyapkan pengaruh Iran di Timur Tengah.

Tingkat eskalasi itu bisa disimak antara lain sebagai berikut: Saudi tampil sebagai pimpinan koalisi negara-negara Arab memerangi kaum Houthi, sekutu Iran di Yaman. Pemerintah Saudi juga menolak memberi kompensasi bagi 464 jamaah haji Iran yang tewas terinjak-injak di Mina pada 24 September 2015.

Selanjutnya pada 2016 Pemerintah Saudi memenggal Syaikh Nimr al-Nimr, warga Saudi sekaligus ulama Syiah, yang vokal mengritik Pemerintah Saudi. Akhirnya Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Ketika koalisi Saudi memutus hubungan dengan Qatar pada awal 2017, Iran (bersama Turki) justru berpihak pada Qatar.

Semua perkembangan ini membuat perdamaian di antara kedua negara sulit dibayangkan. Tetapi, sekali lagi, perkembangan terakhir sejak musim haji 1438 cukup memberi harapan bagi terciptanya hubungan lebih baik di antara Saudi dan Iran yang sekaligus bisa mendorong rujuk antara Wahabiyah dan Syiah.

Jelas, jika eskalasi dan konfrontasi di antara Wahabiyah dan Syiah berakhir, sedikit banyak hubungan antara kedua mazhab di negara-negara lain—termasuk di Indonesia—punya peluang pula untuk membaik.  Walau banyak ulama Saudi adalah die hard Wahabi yang anti-Syiah dan sering berseberangan dengan kebijakan Raja dan Pangeran Muhammad.

Sang Putra Mahkota (sejak Juni 2017) menjadi figur sentral perubahan sikap Saudi terhadap Iran. Ada berbagai indikasi Pangeran Muhammad mendekati negara mayoritas Syiah; tidak hanya Iran tapi juga Irak.

Dengan Irak, dia membuka kembali hubungan yang terputus selama 25 tahun. Berbagai misi diplomatik Saudi mengunjungi Irak dan sebaliknya juga delegasi Irak mengunjungi Saudi. Bahkan Pemerintah Saudi berencana membuka Konsulat Jenderal di Najaf, salah satu kota suci Syiah.

Meski sudah ada berbagai sinyal positif, perbaikan dan rekonsiliasi antara Saudi dan Iran (dan Irak dan Suriah yang dipimpin Presiden Bashar Assad yang juga Syiah) memerlukan waktu. Tak ragu lagi, kedamaian di antara negara-negara ini bakal memberi kontribusi signifikan bagi rekonsiliasi Wahabiyah (atau Suni secara keseluruhan) dengan Syiah. []

REPUBLIKA, 28 September 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)