Jumat, 15 September 2017

(Ngaji of the Day) Kisah di Balik Penyembelihan Putra Nabi Ibrahim Menurut Ibnu Athaillah



Kisah di Balik Penyembelihan Putra Nabi Ibrahim Menurut Ibnu Athaillah

Suatu hari Nabi Ibrahim AS berkata di dalam hati bahwa ia adalah makhluk paling belas kasih terhadap sesama. Mendengar ini, Allah SWT kemudian mengujinya. Ia mengajaknya naik ke langit hampir setiap malam.

Allah SWT memperlihatkan kepadanya alam malakut langit dan bumi hingga suatu ketika ia melihat seorang durjana dengan perbuatan kejinya. Tidak tahan dengan itu, Nabi Ibrahim AS berdoa, “Ya Allah, binasakanlah ia. Ia makan rezeki-Mu, berjalan di atas bumi-Mu, dan ia melanggar perintah-Mu.”

Allah menolak permintaannya. Nabi Ibrahim kemudian diminta turun. “Aku lebih sayang hamba-hamba-Ku dibanding kau terhadap mereka. Ibrahim, turunlah. Mereka yang kaukecam mungkin akan bertobat dan berharap.”

Lain riwayat menyebutkan, Allah mengabulkan permintaannya. Demikian juga ketika Nabi Ibrahim memandang hamba-hamba durhaka lainnya sehingga banyak jatuh korban dari mereka. Hal ini terus berlangsung sampai pada gilirannya Allah SWT menegurnya, “Ibrahim, kau ini orang dengan doa yang maqbul. Janganlah berdoa untuk kehancuran hamba-hamba-Ku karena mereka masih memiliki tiga kemungkinan; pertama, mereka bertobat dan Aku menerimanya; kedua, Aku mengeluarkan jiwanya untuk bertasbih memuji-Ku; dan ketiga mereka mati secara wajar yang bisa saja Kumaafkan atau Kusiksa.”

Kekerasan hati Nabi Ibrahim terhadap mereka yang bermaksiat ini disinyalir menjadi penyebab turunnya perintah penyembelihan Nabi Ibrahim AS terhadap anak yang disayanginya seperti diceritakan dalam Surat As-Shaffat ayat 102.

Nabi Ibrahim AS hamba yang taat. Ia memenuhi perintah Allah SWT meski bukan pekerjaan ringan. Ketika akan melakukan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ibrahim AS sempat berkata ketika pisau sudah di genggaman, “Tuhanku, inilah anakku, buah hatiku, seorang manusia yang paling kukasihi.”

Ketika itu juga Nabi Ibrahim AS mendengar suara, “Ingatkah kau Ibrahim, suatu malam kau meminta pembinasaan salah seorang hamba-Ku? Apakah kau tidak tahu bahwa Aku menyayangi mereka sebagaimana kau mencintai anakmu? Kalau kau meminta-Ku membinasakan mereka, maka Aku pun akan memintamu menyembelih anakmu satu per satu.”

***

Hal ini disinggung oleh Ibnu Athaillah dalam butir hikmah berikut.

من اطلع على أسرار العباد ولم يتخلق بالرحمة الإلهية كان اطلاعه فتنة عليه وسبباً لجر الوبال إليه

Artinya, “Siapa yang melihat rahasia hamba-hamba Allah, tetapi tidak berakhlak dengan kasih sayang (rahmat) ilahi, maka penglihatannya berubah menjadi fitnah (ujian) dan penyebab kedatangan bencana baginya.”

Hikmah ini kemudian diterangkan lebih lanjut oleh Syekh Ibnu Abbad. Menurutnya, tanpa rahmat Ilahi mengetahui dosa orang lain, seseorang dapat terjerumus pada sikap ujub dan takabur yang mana keduanya adalah pakaian Allah SWT.

المطلع على السرائر التى تقتضى وجود العيب اذا لم يتخلق صاحبه بالرحمة الإلهية فيرحم المذنبين ويحلم على الظالمين ويصفح عن الجاهلين ويحسن إلى المسيئين ويرأف بعباد الله أجمعين فانه يكون ذلك الاطلاع فتنة عليه لأن ذلك يؤديه إلى رؤية نفسه واستعظام أمرها والعجب بعمله والتكبر على غيره وهذا هو أعظم الفتنة ويكون ذلك سببا إلى جر الوبال إليه من ادعائه لصفات ربه ومنازعته لكبريائه وعظمته وهذا هو أعظم الوبال وغاية الخزي والنكال

Artinya, “Orang yang mengetahui rahasia-rahasia yang mendorong terungkapnya aib, tetapi tidak disertai dengan rahmat Ilahi sehingga tidak mengasih-sayangi mereka yang berdosa; tidak murah hati kepada mereka yang aniaya; tidak memaklumi mereka yang awam; tidak berbuat baik terhadap mereka yang jahat; dan tidak menaruh belas kasih terhadap hamba Allah secara umum, maka pengetahuannya itu akan menjadi ujian baginya. Mengapa? Karena semua itu dapat mengakibatkannya memandang (kehadiran) dirinya (dalam ibadah), menganggap agung dirinya, ujub terhadap amalnya, dan takabbur terhadap orang lain. Itu semua menjadi fitnah terbesar dalam hidupnya dan dapat mendatangkan bencana juga baginya dalam bentuk pendakwaan diri atas sifat-sifat Allah dan perlawanan terhadap kebesaran serta keagungan-Nya. Yang disebut terakhir ini adalah bencana terbesar, petaka dan musibah terberat,” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa tahun, juz II, halaman 3-4).

Butir hikmah ini jangan dipahami sebagai anjuran untuk menghalalkan yang haram atau menoleransi kezaliman atau kejahatan. Pelanggaran hukum harus mendapat tindakan tegas. Hukum harus ditegakkan. Kejahatan harus diproses agar masyarakat merasakan kepastian hukum dan memegang jaminan.

Butir hikmah di sini adalah menganjurkan kita untuk memandang manusia secara dengan rahmat Ilahi tanpa membeda-bedakan mereka yang taat dan mereka yang durhaka. Hanya dengan pandangan rahmat Ilahi itu, kita akan mendapat kucuran rahmat dari Allah SWT sebagaimana bunyi hadits berikut ini.

الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء

Artinya, “Orang yang berbelas kasih adalah orang-orang yang dikasihi oleh Allah Yang Maha Penyayang. Karenanya kasihilah siapa saja yang ada di muka bumi, niscaya penduduk langit akan mencurahkan kasih sayang pula untuk kalian.” Sebaiknya, kita mendoakan agar Allah menurunkan taufiq-Nya untuk mereka. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar