Pendidikan
Mengubah Hidup
Oleh:
Komaruddin Hidayat
SEWAKTU
masih nyantri di Pondok Pabelan, Magelang, ada nasihat kiai yang masih melekat
di hati, bahwa seseorang akan naik derajat karena ilmu pengetahuan, akhlak
(integritas), dan membuang jauh-jauh sikap malas. Coba kita amati kehidupan
sosial sekeliling. Banyak keluarga desa miskin berubah nasib ketika salah satu
anak dan warganya memperoleh pendidikan bagus yang mengantarkan pada karier
ekonomi yang lebih baik, dan pada urutannya bisa membantu pendidikan
saudara-saudaranya.
Saya
sering bertanya pada teman yang sudah sarjana dan sudah memperoleh pekerjaan,
bagaimana rasanya sudah kerja? Rata-rata menjawab gembira karena bisa membantu
biaya pendidikan adik-adiknya. Bahkan pertanyaan serupa juga saya ajukan ke PRT
(pembantu rumah tangga), jawabnya sama. Gaji yang diterima sebagian ditabung
untuk membantu pendidikan keluarganya.
Artinya, masyarakat sangat menyadari untuk mengubah nasib seseorang, pendidikan satu-satunya jalan yang mesti ditempuh. Orangtua yang berhasil mengantarkan pendidikan anak-anaknya yang berkualitas jauh lebih berharga daripada mewariskan harta tanpa disertai pendidikan.
Artinya, masyarakat sangat menyadari untuk mengubah nasib seseorang, pendidikan satu-satunya jalan yang mesti ditempuh. Orangtua yang berhasil mengantarkan pendidikan anak-anaknya yang berkualitas jauh lebih berharga daripada mewariskan harta tanpa disertai pendidikan.
Pada
zaman modern, pendidikan itu diintegrasikan dengan sistim sekolahan sehingga orang
yang berpendidikan artinya mereka yang memiliki ijazah resmi sebagai tanda
tamat dan sewaktu-waktu ijazah itu diperlukan untuk melamar pekerjaan dan
menaiki jenjang karier. Sekalipun kita kecewa dengan kualitas pendidikan di
Tahah Air, sistem pendidikan di sekolah tetap kita butuhkan. Dalam skala
nasional kita bisa membandingkan, wilayah dan etnik yang maju selalu
berkorelasi dengan tradisi dan tingkat pendidikan yang sudah mapan.
Jika
dibandingkan dengan masyarakat lain, penduduk Jawa lebih maju karena memiliki
tradisi sekolah yang sudah tua dan mapan. Perguruan tinggi yang bagus-bagus
berada di Jawa. Belum lagi kondisi alamnya yang subur. Namun, pemerintah mesti
mendorong tumbuhnya pusat-pusat pendidikan yang bagus secara merata di seluruh
Tanah Air. Sekarang ini dunia pendidikan, mau tak mau, terseret masuk pada
persaingan mutu produk layaknya dunia industri.
Lembaga
pendidikan yang tidak bisa menghasilkan alumnus yang berkualitas dan kompetitif
dalam lapangan kerja akan menyusut peminatnya. Prestasi sebuah sekolah dan
universitas tidak bisa lagi sekadar memperbanyak wisudawan-wisudawati tanpa
yang bersangkutan memiliki kedalaman, teori ilmiah, skill, kemampuan komunikasi
sosial dan integritas. Ketika melamar pekerjaan, semata mengandalkan ijazah tidak
jaminan diterima tanpa tambahan pendukung lain, misalnya, pengalaman kerja,
kemampuan berbahasa asing keterampilan komputer dan komunikasi sosial.
Situasi
ini jauh berbeda dari tahun-tahun jauh sebelumnya ketika jumlah sarjana masih
sedikit sehingga siapa pun memiliki ijazah menjadi jaminan untuk memperoleh
pekerjaan. RI beruntung punya tetangga Australia, Singapura, dan Malaysia
sehingga dihadapkan pada persaingan dan pembelajaran langsung dari kemajuan
mereka dalam memajukan pendidikan. Sekitar 100 tahun lalu orang memandang
Australia tak lebih sebagai daratan luas yang tandus di bawah koloni Inggris,
tempat pembuangan penjahat kulit putih dari daratan Eropa.
Tetapi
sekarang Australia berhasil membangun peradaban moderen dan menjadi tujuan
pendidikan dari berbagai negara asing, termasuk dari Indonesia. Berkat
pendidikan yang dikelola serius dan maju, salah satu sumber devisa Australia
datang dari sektor pendidikan, di samping sumber alamnya yang dapat dieksplorasi
dan dikelola dengan sangat baik. Begitu pun Singapura yang dulu miskin ketika
lepas dari Malaysia, sekarang menjadi negara kota yang sangat maju dalam
industri pendidikan yang berdampak pada kemajuan jasa kesehatan dan keuangan
sebagai hub kemajuan ekonomi Asia Tenggara.
Lagi-lagi,
pendidikan lah yang telah mengubah Singapura menjadi salah satu negara kota
termodern tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga dunia. Yang juga membuat kita
terpana, kemajuan pendidikan di Malaysia. Pusat-pusat pendidikan di sana
dibangun dengan standar internasional, termasuk bahasa pengantarnya.
Putra-putri Malaysia yang terbaik dijaring lalu dikirim keluar negeri untuk
belajar di perguruan tinggi ternama di dunia dalam rangka mendongkrak program
dan standar internasionalisasi pendidikan di dalam negerinya ketika alumninya
kembali ke Malaysia.
Dan ini
sudah berlangsung tiga generasi secara masif. Jumlah universitas di Indonesia
lebih dari 4.000, lebih banyak daripada jumlah perguruan tinggi di Tiongkok.
Namun kualitasnya masih medioker, alias pas-pasan, jauh di bawah Singapura.
Kekalahan kontingen olahraga RI di SEA Games yang berada di nomor lima
mengindikasikan pembinaan bakat dan bibit unggul anak-anak bangsa tidak
berjalan bagus, untuk tidak mengatakan kedodoran.
Saya
pernah mendengar cerita, dulu Bung Karno mengirimkan putra-putri bangsa terbaik
untuk mendalami sains dan teknologi ke negara maju dengan harapan kekayaan alam
Indonesia dieksplorasi bangsa sendiri. Namun, agenda Bung Karno berantakan,
lalu yang lebih menonjol orang belajar ke luar negeri untuk mendalami ilmu
sosial, terutama ke Barat (AS). Gagasan Bung Karno ini diteruskan BJ Habibie
dengan mengirim putra-putri terbaik untuk belajar sains, tapi lagi-lagi karena
turbulensi politik banyak dari mereka yang tidak pulang ke Tanah Air lalu
memilih berkarier di luar negeri.
Saat ini
RI memiliki sarjana ilmu sosial yang jauh lebih banyak daripada sarjana bidang
sains. Fenomena ini berpengaruh pada perkembangan ekonomi dan politik. Kata
demokrasi seakan jadi mantra suci yang selalu muncul dalam wacana sosial. Orang
lebih disibukkan wacana dan manuver politik menghadapi pilkada dan pemilu,
tetapi lemah sekali dalam inovasi sains serta pengembangan bidang industri
manufaktur.
Kita jadi
mangsa empuk dan menggiurkan bagi negara produsen dan eksportir asing karena
jumlah penduduk Indonesia yang tinggi dan sumber alamnya yang melimpah, padahal
SDA semakin menipis dan lingkungan rusak. Pada para siswa kita tidak bisa lagi
memberikan harapan besar atas belas kasih alam, tanpa dukungan ilmu pengetahuan
dan teknologi canggih. Pembelajaran ilmu sejarah di sekolah perlu diubah
materinya. Tidak hanya fokus pada sejarah Indonesia, tetapi perlu sejarah
komparatif bangkitnya negara-negara di Asia agar siswa memiliki kesadaran dan
tantangan membangun bangsa sendiri di tengah persaingan global. []
MEDIA
INDONESIA, 11 September 2017
Komaruddin
Hidayat | Dewan Penasihat Yayasan Sukma,Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar