Selasa, 31 Desember 2019

(Do'a of the Day) 05 Jumadil Awwal 1441H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Rabbi auzi'nii an asykura ni'matakallatii an'amta 'alayya wa 'alaa waalidayyaa wa an'amala shaalihan tardlaahu wa ashlihlii fii dzurriyyatii innii tubtu ilaika wa innii minal muslimiina.

Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.

Dari QS. Al Ahqaaf, Juz 26, Surat ke-46, Ayat 15.

Zuhairi: Suka Cita Natal di Timur-Tengah


Suka Cita Natal di Timur-Tengah
Oleh: Zuhairi Misrawi

Perayaan Natal di Timur-Tengah selalu meriah dan penuh suka cita. Semua warga turut merayakan, apapun agama mereka. Saya tidak pernah mendengar ada polemik soal hukum mengucapkan selamat Natal di seantero Timur-Tengah. Mereka terhanyut dalam suka cita Natal, karena di dalamnya ada pesan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka menjadikan Natal sebagai momentum berbagi dalam solidaritas dan persaudaraan sejati.

Di Bethlehem, Palestina, tanah kelahiran Yesus atau yang dikenal dengan Isa al-Masih dalam khazanah Islam, Natal dirayakan oleh seluruh warga dengan penuh suka cita. Umat Kristiani dari berbagai penjuru dunia juga turut serta dalam perayaan Natal di Tepi Barat. Mahmoud Abbas sebagai Presiden Palestina juga hadir dalam misa perayaan Natal. Sekali lagi, tidak ada ulama yang mengharamkan atau mengafirkan Mahmoud Abbas.

Semua tahu dan sadar, bahwa Yesus adalah warga Palestina. Ia lahir di tanah Arab, yang memberkati agama-agama yang tumbuh sebelum dan setelah kelahiran Yesus. Faktanya, agama-agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama-agama non-samawi bisa hidup berdampingan dengan damai di Timur-Tengah. Nama Yesus sangat diagung-agungkan dalam kitab-kitab suci mereka. Bahkan, kita umat Islam pun beriman kepada Isa al-Masih sebagai utusan Tuhan.

Yesus menebarkan kasih di Timur-Tengah, dan memberi jalan bagi pertumbuhan Islam. Milad Hanna dalam al-A'midah al-Sab'ah li al-Syakhshiyyah al-Mashriyyah menjelaskan betapa Kristen Koptik menjadi saksi sejarah bagi masuknya Islam ke Mesir. Amr bin 'Ash yang diutus oleh Umar bin Khattab untuk menjadi panglima dan pemimpin pada waktu itu sama sekali tidak menghancurkan gereja dan situs-situs bersejarah umat Yahudi. Buktinya, di Fustat, kota lama Mesir, kita bisa melihat gereja dan sinagog tua yang sampai sekarang masih dipertahankan sebagai saksi sejarah, betapa agama-agama samawi bisa hidup berdampingan dengan damai. Nama Mesir dalam bahasa Inggris, Egypt, merujuk pada Kristen Koptik yang dalam bahasa Arabnya dikenal al-Qibthiyyah.

Maka dari itu, menurut para sejarawan, tidak tepat jika memahami Arab adalah Islam. Arab adalah entitas kebudayaan dan agama-agama. Yahudi, Kristen, dan Islam adalah agama-agama yang lahir di Arab. Yesus adalah orang Arab. Dan kita dengan mudah mendengarkan orang-orang Kristen Arab menyebut kata: shalat, dzikir, subhanallah, astaghfirullah, alhamdulillah, dan lain-lain.

Natal tahun ini terasa sangat istimewa bagi warga Timur-Tengah, karena mereka bisa melaluinya dengan suka cita, terbebas dari ancaman terorisme, khususnya ISIS dan al-Qaeda yang sudah melemah pengaruhnya. Ancaman terorisme menjadi momok serius bagi warga Kristiani di Timur-Tengah dalam beberapa tahun terakhir, karena mereka tidak bisa merayakan Natal secara terbuka. Situs-situs bersejarah Kristen di Suriah dan Irak dihancurkan oleh ISIS, termasuk gereja Kristen awal yang didirikan oleh murid-murid Yesus.

Di Tepi Barat, Bethlehem tahun ini menjadi tahun kegembiraan, karena situasinya lumayan kondusif, meski situasi politik masih belum mendukung bagi kebebasan beribadah akibat konflik dengan Israel yang makin tidak jelas juntrungannya. Tahun 2019 ada sekitar 1,9 juta wisatawan yang berkunjung ke Bethlehem, termasuk mereka yang ikut merayakan Natal di kota kelahiran Yesus.

Di Jalur Gaza, yang selama ini dikenal sebagai kota paling panas akibat gempuran rudal-rudal Israel, warga pun turut merayakan Natal meski dalam bayang-bayang Israel. Pohon Natal menjadi bukti warga ingin kasih Yesus hadir di tanah yang tak pernah damai itu, karena meyakini Yesus tidak akan meninggalkan Gaza dalam suasana konflik panjang.

Memang, perayaan Natal di tanah Palestina tidak semeriah di beberapa kawasan Timur-Tengah lainnya, karena Israel masih memberlakukan pengamanan ketat bagi warga Kristen. Di Jerusalem, Israel memberikan izin perayaan Natal pada detik-detik akhir karena khawatir dengan penumpukan massa. Suasana inilah yang menyebabkan warga Kristen di Palestina selalu penuh waswas setiap menjelang perayaan Natal.

Maka dari itu, hambatan perayaan Natal di Palestina bukan kaum radikal dan fatwa yang aneh-aneh itu, melainkan Israel yang setiap saat sangat mengganggu aktivitas keagamaan yang dapat mengumpulkan umat dalam jumlah besar, termasuk umat Kristiani di Jerusalem, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.

Sedangkan perayaan Natal di beberapa kawasan lainnya di Timur-Tengah cenderung meriah. Libanon menjadi satu wilayah yang paling gegap-gempita. Maklum, umat Kristiani merupakan warga mayoritas. Pohon-pohon Natal didirikan di depan masjid. Bahkan, mereka mempunyai tradisi jamuan makan bersama di alun-alun kota. Di mana semua umat agama-agama tumpah ruah menikmati makanan bersama sebagai rahmat Tuhan, di hari kelahiran Yesus.

Di Libanon, Natal menjadi momen kasih Yesus hadir di tengah-tengah umat, apapun agama mereka. Saya berkhayal momen perayaan Natal seperti di Libanon ini juga bisa dilaksanakan di Tanah Air, di mana Natal menjadi ekspresi kasih yang membangun persaudaraan dan persahabatan di antara sesama warga.

Perayaan Natal di Libanon tahun ini mempunyai makna empiris-profetis. Di tengah suasana politik yang gonjang-ganjing, Natal menjadi momen membangun kesadaran, bahwa politik pada hakikatnya mempersatukan dan mengedepankan kepentingan bersama. Mereka pun hanyut dalam suasana Natal, libur sejenak dalam hiruk-pikuk politik dan demonstrasi yang menghiasi ruang publik Libanon dalam dua bulan terakhir.

Di Mesir, Irak, dan Iran, pun suasana Natal penuh suka cita. Ali Khomenei, Pemimpin Tertinggi Iran, mengucapkan selamat Natal langsung kepada umat Kristiani Iran dengan mengundang dan memberikan jamuan khusus kepada mereka. Imam Besar al-Azhar Mesir, Syaikh Ahmed Tayyeb mengucapkan Natal secara langsung kepada Paus Fransiskus, Vatikan dan kepada seluruh umat Kristiani. Kita melihat Mohammad Salah, bomber Liverpool membuat pohon Natal di rumahnya, sebagai bukti suka cita Natal, yang tidak hanya dirayakan oleh umat Kristiani, tetapi juga dirayakan oleh umat Islam.

Dengan demikian, perayaan Natal di Timur-Tengah membuktikan betapa hubungan antara Islam dan Kristen begitu erat. Mereka tidak hanya mengucapkan selamat Natal, melainkan turut serta merayakan Natal. Sebab merayakan Natal tidak meruntuhkan keyakinan, melainkan justru menjadikan pemahaman kita pada kasih Tuhan sangat kokoh, dan semakin kuat. []

DETIK, 26 Desember 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

(Ngaji of the Day) Hukum Shalat Gerhana Bersama Keluarga di Rumah


Hukum Shalat Gerhana Bersama Keluarga di Rumah

Shalat sunnah gerhana termasuk salah satu shalat yang dianjurkan untuk dilakukan secara berjamaah di masjid sebagaimana shalat istisqa, dan shalat sejenis lainnya. Shalat sunnah gerhana yang dilakukan berjamaah di masjid mengandung keutamaan tersendiri di samping ada khutbah gerhana setelah shalat.

والسنة أن تصلّى في الجامع موضع صلاة الجمعة وينادى لها الصلاة جامعة فيصلى بهم الإمام ركعتين

Artinya, “Shalat sunnah gerhana dianjurkan dilaksanakan di masjid Jami tempat shalat Jumat dan diseru oleh bilal atau muazin dengan panggilan ‘as-shalatu jami‘ah’. Lalu jamaah masjid itu melakukan shalat berjamaah dua rakaat bersama imam,” (Lihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghuniyah, [Tanpa catatan kota, Darul Kutub Al-Islamiyyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 129).

Sebagaimana shalat istisqa (shalat minta air hujan), shalat sunnah gerhana adalah shalat sunnah yang dianjurkan dengan khutbah gerhana setelah shalat sebagaimana sunnah Rasulullah SAW. Syekh Taqiyuddin Al-Hishni dari Mazhab Syafi’i mengutip riwayat kesunnahan khutbah gerhana dari Imam Muslim.

ويسن أن يخطب بعد الصلاة خطبتين كخطبتي الجمعة لفعله صلى الله عليه وسلم رواه مسلم وفيه (قام فخطب فأثنى على الله تعالى) إلى أن قال (يا أمة محمد هل من أحد أغير من الله أن يرى عبده أو أمته يزنيان يا أمة محمد والله لو تعلمون ما أعلم لبكيتم كثيرا ولضحكتم قليلا ألا هل بلغت

Artinya, “Dianjurkan menyampaikan dua khutbah gerhana seperti khutbah Jumat setelah shalat sunnah gerhana sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Muslim. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW berdiri lalu berkhutbah, memuji Allah SWT (sampai gilirannya beliau mengatakan) ‘Wahai ummat Muhammad, apakah ada yang lebih cemburu daripada Allah ketika melihat hamba laki-laki dan hamba perempuan-Nya berzina? Wahai ummat Muhammad, demi Allah, kalau sekiranya kalian mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian lebih banyak menangis dan lebih sedikit tertawa. Ketahuilah, sudahkah kusampaikan?’” (Lihat Taqiyyiddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 128).

Kendati demikian, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menyebutkan kebolehan orang yang ingin melakukan shalat sunnah gerhana sendiri atau berjamaah bersama keluarga  di rumahnya. Tetapi Syekh Abdul Qadir menjelaskan bahwa shalat sunnah gerhana yang lebih utama dilakukan di masjid.

ومن أراد أن يصليها وحده في بيته أو مع أهله جاز. والأولى ما ذكرنا

Artinya, “Tetapi orang yang ingin melakukan shalat sunnah sendiri sendiri atau bersama keluarganya di rumahnya, boleh. Tetapi yang lebih utama adalah (shalat sunnah gerhana di masjid) sebagaimana telah kami utarakan,” (Lihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghuniyah, [Tanpa catatan kota, Darul Kutub Al-Islamiyyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 130).

Mereka yang shalat sendiri di rumah tentu saja tidak perlu berkhutbah. Syekh Taqiyyiddin Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar menyebutkan masalah ini sebagai berikut:

ومن صلى منفردا لم يخطب

Artinya, “Orang yang shalat sunnah gerhana bulan sendiri (tidak berjamaah) tidak perlu berkhutbah,” (Lihat Taqiyyiddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 128).

Meskipun tanpa khutbah, kami menyarankan mereka yang mengerjakan shalat sunnah gerhana di rumah baik sendiri maupun berjamaah bersama keluarga untuk merenungkan (tafakur atau muhasabah) pesan Rasulullah SAW dalam khutbah gerhana yang disampaikan di depan para sahabatnya.

Hanya saja kalau tanpa ada uzur, kami menyarankan masyarakat mendatangi masjid yang menyelenggarakan shalat sunnah gerhana berjamaah. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Fadli Zon: Ancaman Resesi dan Rasionalisasi Agenda Pembangunan


Ancaman Resesi dan Rasionalisasi Agenda Pembangunan
Oleh: Fadli Zon

SETELAH tahun lalu bisa tumbuh 3,6%, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan hanya akan menyentuh angka 3,0%. Hal ini terjadi karena lesunya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, yang diproyeksikan hanya akan tumbuh sekitar 1,7% tahun ini dan tahun depan.

Di sisi lain, kondisi untuk negara-negara berkembang juga tak jauh berbeda. Pertumbuhan ekonomi negara berkembang, menurut dana moneter internasional (IMF), tahun ini akan terpangkas ke angka 3,9%, sesudah bisa tumbuh 4,5% pada 2018. Membaca proyeksi tersebut, tentunya sulit menyangkal bahwa resesi ekonomi global tengah menghadang di depan mata.

Gelombang resesi tersebut pasti akan berimbas pada perekonomian Indonesia. Kita tahu, karena hanya ditopang oleh konsumsi, dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus mengalami stagnansi di kisaran 5%. Di tengah turunnya harga komoditas, ekspor masih belum menolong banyak. Apalagi di tengah situasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Perlambatan juga terjadi di bidang investasi. Tahun ini investasi di negeri kita mengalami perlambatan signifikan.

Pada kuartal III/2019, investasi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,21%, padahal pada kuartal sebelumnya masih tumbuh 5,01%. Meski demikian, gelombang resesi memang seolah belum terasa. Hal ini terjadi salah satunya karena saat ini kita masih menikmati "stabilitas semu" nilai tukar rupiah. Saya sebut sebagai stabilitas semu karena stabilitas rupiah yang terjadi saat ini sebenarnya bertumpu pada derasnya hot money atau aliran dana-dana jangka pendek, bukan oleh kuatnya fundamental ekonomi.

Investor masih mengalirkan duitnya ke sini karena tingkat bunga di negeri kita masih lebih tinggi jika dibanding negara-negara lain. Namun, derasnya arus modal yang distimulasi selisih suku bunga lebar ini bisa kapan saja berhenti, yang membuat ekonomi kita jadi rentan. Krisis bisa datang tiba-tiba. Pemerintah seharusnya waspada. Target-target pembangunan yang tak masuk akal sebaiknya disesuaikan kembali dengan situasi ekonomi dan kemampuan keuangan pemerintah. Sebab, tanpa target dan orientasi yang jelas, kegiatan pembangunan hanya akan menguapkan anggaran belaka, tapi tak akan memberikan efek pengganda yang berarti.

Saya tak terkejut, misalnya mendapati kenyataan perguliran dana desa dalam empat tahun terakhir ternyata tidak berimbas banyak terhadap pengurangan angka kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan. Sebelum ada dana desa, pemerintah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan rata-rata sebesar 3,1% per tahun. Namun, sesudah ada dana desa, penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan dalam empat tahun terakhir ternyata hanya sebesar 2,7% per tahun. Penurunan tingkat kesejahteraan di desa juga bisa dilihat dari penurunan tingkat upah buruh.

Pada September 2019, tingkat upah buruh petani riil adalah sebesar Rp38.278 per hari. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka pada 2013, yang mencapai Rp39.618 per hari. Ini tentu saja ironis. Sesudah enam tahun, tingkat upah buruh di perdesaan justru mengalami penurunan. Sebagaimana sudah sering saya sampaikan, ini semua terjadi karena seluruh sumber daya, termasuk dana desa, dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, bukan membangun sektor produksi yang berhubungan langsung dengan daya beli masyarakat.

Dari pengelolaan dana desa kita melihat potret nyata kegagalan pemerintah dalam menentukan prioritas pembangunan. Tak semestinya kepentingan jangka pendek, yaitu memperbaiki daya beli untuk menghidupkan efek pengganda, diabaikan demi kepentingan jangka panjang berupa pembangunan infrastruktur fisik. Pemerintah harus menyadari kemampuan keuangan mereka sebenarnya terbatas. Apalagi, realisasi penerimaan pajak terus mengalami penurunan. Hal ini tentu akan berdampak pada pelebaran defisit dan menurunnya kemampuan pemerintah dalam menstimulasi perekonomian.

Sebagai gambaran, saat ini defisit anggaran terhadap PDB sudah mencapai 2,3%, padahal target defisit APBN 2019 hanya 1,84% terhadap PDB. Jika pemerintah tak bisa merasionalkan agenda prioritas pembangunan, risikonya adalah jumlah utang kita akan terus membengkak. Padahal, saat ini pembayaran bunga utang telah memberikan tekanan yang besar bagi APBN kita. Porsinya juga terus-menerus meningkat.

Tahun lalu, porsi pembayaran bunga utang ada di angka 16,41%. Tahun ini, angkanya meningkat menjadi 16,88%. Peningkatan porsi pembayaran bunga utang ini telah membuat ruang gerak pemerintah kian terbatas. Utang bisa dianggap baik jika digunakan untuk menstimulasi kegiatan perekonomian. Namun jika utang dilakukan untuk membayar utang, maka itu jelas merusak neraca anggaran. Itu sebabnya pemerintah harus segera memperbaiki tata kelola utang. Kalau kita lihat data, per 30 November 2019, jumlah utang pemerintah mencapai Rp4.814 triliun. Jika dibandingkan posisi utang pada akhir 2014, dalam lima tahun terakhir utang kita bertambah sebanyak Rp2.205 triliun.

Rasio utang terhadap PDB juga terus meningkat. Lima tahun lalu posisinya masih 24,74%. Kini, posisinya sudah berada di angka 30,03%. Sebagai catatan, selama 10 tahun berkuasa, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya menambah utang Rp1.399 triliun, yang terbagi menjadi utang periode pertama (2004-2009) sebesar Rp291 triliun, dan utang periode kedua (2009-2014) sebesar Rp1.108 triliun.

Dan meskipun jumlah utangnya meningkat, pemerintahan Presiden SBY berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari semula 56,5% (2004) menjadi tinggal 24,7% (2014). Tekanan utang terhadap APBN bisa dilihat dari terus turunnya proporsi belanja modal pemerintah yang terjadi sejak 2016. Pada 2018, proporsi belanja modal masih berada di angka 14,02%. Namun, tahun ini angkanya turun tinggal 11,59% saja. Penurunan ini menunjukkan kemampuan pemerintah dalam menstimulasi pembangunan terus-menerus menurun.

Menghadapi gelombang resesi global, mau tidak mau pemerintah harus merasionalisasi ulang agenda-agenda pembangunan tahun depan. Agenda-agenda tidak masuk akal yang cenderung membebani APBN atau merugikan keuangan BUMN sebaiknya dievaluasi kembali. []

KORAN SINDO, 28 Desember 2019
Fadli Zon | Anggota DPR RI, Juru Bicara Rakyat, Alumnus London School of Economics (LSE) Inggris