Orang Berani Ceramah tanpa
Ilmu, Bagaimana Kita Harus Bersikap?
Beberapa hari terakhir ini, masyarakat Muslim
Indonesia dihebohkan dengan ceramah seseorang yang dianggap sebagai ustadz
dengan isi ceramah penuh caci maki, melabeli orang yang berbeda pendapat dengan
vonis “sesat”, serta serampangan dalam mengutip ayat: salah, di luar konteks,
dan keliru menerjemahkannya.
Bagaimana pandangan ulama-ulama terdahulu
memandang hal tersebut?
Ulama fiqih kenamaan bermazhab Syafi’i, Ibnu
Hajar Al-Haitami (w. 974) sebagaimana dituliskan dalam kitabnya Al-Fatawa
al-Haditsiyyah (masalah nomor 241), memuat diskusi menarik, sebagaimana
terjemahan penulis berikut ini:
Ibnu Hajar ditanya tentang orang yang mengisi
ceramah kepada masyarakat Muslim dengan menyertakan kutipan tafsir Al-Qur'an
dan hadits sedangkan ia sendiri tidak menguasai ilmu sharaf (morfologi Arab),
i'rab dari disiplin ilmu nahwu (sintaksis), ilmu ma’ani dan ilmu bayân (sastra
Arab). Apakah orang yang mempunyai profil demikian boleh mengisi ceramah?
Apakah dia dilarang ceramah sama sekali kecuali atas izin pemerintah? Apabila
pemerintah melarang (lalu dilanggar), apakah mereka boleh dihukum? Jika
dihukum, seberapa besar batasannya?
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjawab, “Jika ia
ceramah menggunakan ayat yang bersinggungan dengan anjuran melakukan kebaikan
(at-targhîb), menyarankan untuk meninggalkan kejahatan (at-tarhîb) atau
sejenisnya serta menggunakan hadits sesuai konteks atas apa yang ia bahas
seraya mengutip tafsir-tafsir yang disampaikan para ulama yang berkompeten,
maka bagi orang yang tidak paham nahwu, sharaf, atau disiplin ilmu lain
sebagaimana di atas dipersilakan, tidak ada masalah.
Ibnu Hajar memberi alasan, karena dai/ustadz
tersebut hanya mengutip perkataan ulama saja, maka tidak ada syarat lain
kecuali hanya satu syarat yaitu dai/ustadz tersebut harus ‘adâlah/adil (ia
bukan ahli maksiat yang melakukan dosa besar atau melakukan dosa kecil tapi
terus-menerus sedangkan ia belum bertobat). Yang penting marwahnya terjaga, ia
boleh berceramah.
Namun jika yang disampaikan oleh dai/ustadz
tersebut berkaitan dengan olah pikir, namun ia meneliti sendiri tanpa basis
ilmu yang jelas dan memadai, maka siapa pun juga baik itu ulama, pemerintah
atau siapa pun orang yang mampu mencegah, harus bersama-sama melarang
dai/ustadz tersebut untuk tampil di muka publik.
Apabila masyarakat tidak bisa menghalau dia
berorasi, harusnya masyarakat melaporkan dai/ustadz tersebut kepada pihak berwajib
supaya dihukum dengan hukuman berat supaya dia mengulangi perbuatannya dan
orang-orang bodoh yang tidak mempunyai kapasitas ilmu cukup agar tidak meniru
dai/ustadz tersebut.
Hal ini sangat penting disampaikan supaya
tidak terjadi mafsadah (kerusakan) parah yang ditimbulkan dai/ustadz
tersebut.
Berikut sedikit cuplikan asli perkataan Ibnu
Hajar Al-Haitami:
وَأما
إِذا كَانَ يتَصَرَّف فِيهِ بِرَأْيهِ أَو فهمه وَلَا أَهْلِيَّة فِيهِ لذَلِك
بِأَن لم يُتْقن الْعُلُوم الْمُتَعَلّقَة بذلك فَإِنَّهُ يجب على أَئِمَّة
الْمُسلمين وولاتهم وكلُّ من لَهُ قدرَة منعَه من ذَلِك وزجرَه عَن الْخَوْض
فِيهِ، فإنْ لم يمْتَنع رفع إِلَى بعض قُضَاة الْمُسلمين ليعزِّره التَّعْزِير
الشَّديد الْبَالِغ الزاجر لَهُ ولأمثاله من الجهَّال عَن الْخَوْض فِي مثل هَذِه
الْأُمُور الصعبة لما يَتَرَتَّب على ذَلِك من الْمَفَاسِد والقبائح الْكَثِيرَة
والشنيعة
Artinya: “Apabila dai/ustadz menyampaikan
ceramah bukan berdasar kutipan tafsir ulama, namun semata-mata menggunakan olah
pikir atau analisisnya pribadi, sedangkan ia bukan pakar di bidang itu, bisa
jadi karena ia tidak menguasai keilmuan yang berkaitan atas ceramah yang ia
sampaikan, maka bagi para ulama, pemerintah dan semua orang yang mampu untuk
menghalau dai/ustadz tersebut supaya ia tidak menyebarkan kesesatan di
situ.
Apabila tidak berhasil, maka perlu dilaporkan
kepada pihak berwajib supaya dihukum (ta’zir) dengan hukuman berat yang bisa
membuat jera dai/ustadz tersebut serta orang-orang bodoh agar tidak menyesatkan
pada permasalahan yang rumit ini. Sebab efek kerusakan (mafsadah) dan
keburukan-keburukan yang sangat banyak bisa timbul gara-gara mereka. (Ibnu
Hajar Al-Haitami, Al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, [Dârul Fikr], halaman 162). []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar