Ketika Murid-murid Nabi Isa Hendak Berjalan
di Atas Air
Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat riwayat murid-murid Nabi Isa yang hendak meniru gurunya berjalan di atas air. Berikut riwayatnya:
حدثنا
عبد الله حدثنا أبي حدثنا بهز حدثنا أبو هلال حدثنا بكر بن عبد الله قال: فقَدَ
الحواريون نبيهم عليه السلام فخرجوا يطلبونه قال فوجدوه يمشي علي الماء فقال
بعضهم: يا نبي الله أنمشي إليك, قال: نعم, قال فوضع رجله ثم ذهب يضع الأخري
فانغمس, فقال: هات يدك يا قصير الإيمان لو أن لابن آدم مثقال حبة أو ذرة من اليقين
إذا لمشي علي الماء
Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Bahj
bercerita, Abu Hilal bercerita, Bakr bin Abdullah bercerita kepada kita, ia
berkata: (Suatu ketika) para hawari (teman atau murid Nabi Isa) tidak menemukan
nabinya. Mereka keluar untuk mencarinya. Mereka menemukannya tengah berjalan di
atas air. Sebagian dari mereka berkata: “Ya Nabi Allah, apakah kami (harus)
berjalan (di atas air) ke arahmu?” Nabi Isa menjawab: “Iya.” Kemudian sebagian
hawari itu meletakkan (satu) kakinya (di air) lalu meletakkan kaki lainnya,
maka tenggelam lah kaki (mereka). Nabi Isa berkata (lantang): “Kemarikan
tanganmu, wahai orang yang pendek iman! Andai saja anak Adam memiliki keyakinan
sebesar biji atau atom, dia pasti (bisa) berjalan di atas air.” (Imam Ahmad bin
Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 74)
****
Keyakinan memang sukar diukur dari luar.
Tidak ada alat yang memungkinkan kita dapat mengukur keyakinan orang lain
dengan tepat. Kita hanya bisa memprediksi atau menilainya, tapi tidak mungkin
bisa memastikannya. Orang yang paling mengetahui keyakinan adalah orang itu
sendiri. Bukan ayah, ibu dan teman-temannya, tapi orang itu sendiri.
Dalam kisah di atas, Nabi Isa ‘alahissalam
mengkritik murid-muridnya karena kaki mereka masih tenggelam di dalam air
ketika hendak mendatanginya. Ia menyebut mereka, “yâ qashîrul îmân” (wahai
orang yang pendek imannya). Penyebutan Nabi Isa ini bukan tanpa alasan. Ada
pelajaran besar dari penyebutan tersebut.
Jika diuraikan kira-kira seperti ini. Nabi
Isa meyakini betul bahwa kebaikan Allah tidak bisa diukur dengan bahasa pujian
tertinggi sekalipun. Misal diucapkan “Yang Maha-Maha-Maha-Maha-Maha” hingga
berjuta-juta triliun masih jauh dari kata mendekati. Kebaikan-Nya tidak bisa
diistilahkan; kasih sayang-Nya tidak bisa dibahasakan. Allah melebihi segala
ukuran yang ada di pikiran dan bahasa manusia.
Dengan kebaikan dan kasih sayang yang teramat
besar tersebut, Allah akan mengabulkan setiap keinginan hamba-Nya selama mereka
yakin dan pasrah sepenuhnya. Kita tidak sedang bicara “yakin” yang tampak dari
luar, atau “yakin” yang sekedar basa-basi karena kita mengaku orang beriman,
tapi “yakin” yang murni, yang di dalamnya tidak ada keraguan sedikit pun.
Contoh paling sederhana adalah kisah di atas.
Ketika murid atau sahabat Nabi Isa mencoba berjalan di atas air, kaki mereka
tenggelam. Mereka tidak bisa menapaki air seperti menapaki bumi. Melihat itu,
Nabi Isa tahu di hati mereka masih ada keraguan. Mereka tidak yakin bahwa
mereka bisa berjalan di atas air. Padahal dengan izin Allah, tidak ada yang
tidak mungkin.
Yang perlu mereka lakukan hanyalah meminta
dengan penuh keyakinan. Tak masalah jika keyakinannya hanya sebesar biji atau
atom yang sangat kecil. Selama keyakinan itu murni ketika mereka memintanya,
dengan izin Allah tidak ada yang mustahil. Rasulullah pernah bersabda (HR. Imam
al-Tirmidzi):
لَا
يَرُدُّ الْقَضَاءُ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ إِلَّا
الْبِرُّ
“Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali
doa, dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali perbuatan baik.” (Imam Ibnu
Mulaqqin al-Anshari al-Syafi’i, al-Badr al-Munîr fî Takhrîj al-Ahâdîts wa
al-Âtsâr al-Wâqi’ah fî al-Syarh al-Kabîr, Riyadh: Dar al-Hijrah, 2004, juz 9,
h. 174)
Ini menunjukkan bahwa dengan doa
(permintaan/permohonan) seseorang dapat merubah takdirnya. Allah memberikan
peluang besar pada manusia untuk meminta segala sesuatu. Selama di hatinya
bersemayam keyakinan murni, doanya akan dikabulkan.
Jika kita bicara jujur, kita pasti mengenali
ketidak-yakinan kita ketika berdoa. Misalnya ketika kita minta diberikan mobil
saat ini juga, atau meminta kemampuan terbang, meskipun lidah dan hati kita
mengucapkannya, lubuk hati kita yang terdalam tidak yakin doa itu akan
terkabul. Tanpa sadar hati kita berujar, “Apa iya, ya? Tidak mungkin ah,” dan
ujaran lainnya. Artinya kita sedang meminta sesuatu yang kita sendiri tak yakin
dengan permintaan itu, sedangkan Allah Mahatahu apa yang di langit dan apa yang
di bumi; apa yang di lidah dan apa yang di hati. Gerak-gerik terkecil di hati
kita pun, Allah mengetahuinya.
Oleh karena itu, selama hati kita diselimuti
keraguan, kita tak akan pernah mampu mencapai apa yang kita minta sendiri.
Sebab itu Nabi Isa mengatakan: “Andai saja anak Adam memiliki keyakinan sebesar
biji atau atom, dia pasti (bisa) berjalan di atas air.”
Ya, Nabi Isa memang berkata seperti itu.
Mungkin ada sebagian orang yang tidak mempercayainya, silahkan. Yang jelas,
jika menghidupkan orang mati saja bisa dilakukan (dengan izin Allah), apalagi
sekedar membuat murid-muridnya berjalan di atas air. Lagi pula, keyakinan Nabi
Isa kepada Allah tidak lagi menyisakan sedikit pun keraguan di hatinya.
Pertanyaannya, pernahkah sekali saja kita
yakin bahwa Allah pasti mengabulkan doa kita? Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar